Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Zionis Tak Lebih dari Teroris Berseragam Militer

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - Kamis, 17 April 2025 - 10:41 WIB

Kamis, 17 April 2025 - 10:41 WIB

21 Views

Zionis Israel, Bangsa Tanpa Akar, Hidup dari Rampasan (foto: ig)

TERORISME secara umum dipahami sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan secara sengaja untuk menimbulkan ketakutan, intimidasi, dan korban sipil demi tujuan politik. Ketika tindakan tersebut dilakukan oleh individu atau kelompok tanpa status negara, mereka disebut teroris. Namun, saat tindakan serupa dilakukan oleh negara melalui aparat resmi seperti militer, dunia kerap bungkam. Inilah yang dilakukan oleh rezim Zionis Israel: kekerasan yang dilegalkan atas nama “keamanan”.

Zionisme bukan hanya gerakan untuk pendirian negara Israel, melainkan ideologi kolonialisme modern yang menghalalkan penjajahan, pengusiran, dan pemusnahan etnis Palestina. Gerakan ini sejak awal menjadikan Tanah Palestina sebagai sasaran untuk kolonisasi, bukan tempat tinggal berdampingan. Konsep “Tanah tanpa rakyat untuk rakyat tanpa tanah” adalah narasi palsu yang menghapus eksistensi bangsa Palestina.

Sejak berdirinya Israel tahun 1948, lebih dari 750.000 warga Palestina diusir dari tanah mereka. Peristiwa ini dikenal sebagai Nakba (malapetaka), dan menjadi awal dari kejahatan sistematis. Militer Israel membombardir desa-desa Palestina, menghancurkan lebih dari 500 komunitas, dan membantai warga sipil. Ini bukan sekadar konflik, melainkan pembersihan etnis.

Salah satu bukti nyata kekejaman militer Zionis adalah tragedi Sabra dan Shatila. Selama tiga hari, ribuan warga sipil Palestina dibantai di kamp pengungsian Lebanon oleh milisi Kristen Falangis dengan dukungan dan perlindungan militer Israel. Ariel Sharon, yang saat itu menjabat Menteri Pertahanan Israel, terbukti bertanggung jawab, namun tidak pernah diadili secara internasional.

Baca Juga: Amerika, Pahlawan Palsu, Pelindung Penjajah Nyata

Gaza, rumah bagi lebih dari dua juta warga Palestina, dijuluki sebagai “penjara terbuka terbesar di dunia.” Israel memblokade wilayah ini sejak 2007, membatasi pasokan listrik, air, obat-obatan, dan makanan. Anak-anak tumbuh dalam kondisi kekurangan gizi, trauma, dan tak punya masa depan yang layak. Ini adalah bentuk penyiksaan kolektif terhadap seluruh populasi sipil.

Israel secara rutin membombardir Gaza dengan dalih memburu “teroris.” Namun kenyataannya, yang terbunuh justru mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Amnesty International, Human Rights Watch, dan PBB telah mencatat ratusan pelanggaran hukum perang oleh Israel. Penggunaan fosfor putih dan bom presisi di area pemukiman adalah kejahatan perang yang terang-terangan.

Tak hanya warga sipil, jurnalis dan aktivis kemanusiaan juga menjadi target. Shireen Abu Akleh, jurnalis Al-Jazeera, ditembak mati oleh sniper Israel saat meliput di Tepi Barat pada 2022. Kamera dan rompi “PRESS” yang ia kenakan tak menyelamatkannya. Fakta ini membuktikan bahwa Israel menganggap semua suara yang mengungkap kebenaran sebagai ancaman.

Israel secara konsisten melanggar Konvensi Jenewa, hukum humaniter internasional, dan resolusi PBB. Namun, karena dukungan mutlak dari Amerika Serikat dan negara Barat, sanksi tak pernah dijatuhkan. Bahkan Dewan Keamanan PBB pun lumpuh ketika menyangkut kepentingan Israel. Dunia internasional tampak buta dan bisu atas penderitaan Palestina.

Baca Juga: Piagam Jaminan Keamanan Umar bin Khattab untuk Martabat Manusia

Zionisme kerap menyamar sebagai gerakan pertahanan diri atau diplomasi damai. Namun, setiap upaya “gencatan senjata” hanya digunakan untuk memperkuat kekuatan militer, membangun lebih banyak pemukiman ilegal, dan memecah belah solidaritas Palestina. Mereka menggunakan diplomasi sebagai alat taktis, bukan komitmen terhadap keadilan.

Israel adalah salah satu negara dengan wajib militer bagi pemuda-pemudi. Namun ironisnya, anak-anak muda ini didoktrin untuk membenci dan membunuh warga Palestina. Mereka dilatih sejak dini untuk menjadi pelaku kekerasan terorganisir. Sementara di sisi lain, anak-anak Palestina harus belajar bertahan hidup dari bom dan serangan udara.

Melalui strategi hasbara, Israel menyebarkan narasi palsu di media internasional, menuduh pejuang Palestina sebagai teroris. Padahal, mereka sedang mempertahankan tanah dan hidup mereka. Narasi ini memperdaya banyak media dunia, membuat korban terlihat seperti penjahat dan penjajah seolah korban.

Barat, khususnya Amerika Serikat, memberikan miliaran dolar setiap tahun kepada militer Israel. Dukungan ini bukan hanya finansial, tapi juga politik dan diplomatik. Standar ganda terlihat nyata: ketika Ukraina diserang, seluruh dunia bersimpati. Tapi ketika Palestina dibantai, dunia malah menyalahkan korban.

Baca Juga: Haji, Jalan Lebar Transformasi Menuju Indonesia Emas 2045

Adalah hak setiap bangsa yang dijajah untuk melawan. Hal ini dijamin dalam Piagam PBB. Maka, perjuangan Palestina adalah bentuk perlawanan sah terhadap kolonialisme, bukan terorisme. Justru militer Israel-lah yang mempraktikkan terorisme secara terstruktur dan dilegalkan negara.

Sudah saatnya umat Islam dan seluruh masyarakat dunia yang peduli pada keadilan membuka mata. Terorisme bukan hanya soal kelompok bersenjata non-negara. Ketika negara dengan kekuatan militer dan teknologi tinggi menindas rakyat yang tak bersenjata, itulah puncak dari terorisme modern.

Jika terorisme diartikan sebagai kekerasan sistematis terhadap warga sipil demi tujuan politik, maka tidak ada entitas yang lebih mencerminkan definisi itu selain Zionisme. Mereka hanya berbeda dalam seragam—bukan berjubah hitam atau topeng—tetapi berbaju militer dan didukung negara-negara besar. Dunia harus berhenti menutup mata dan menyebut mereka apa adanya: teroris berseragam militer.[]

(Mi’raj News Agency )

Baca Juga: Kemiskinan Menjamur di Negeri yang Konon Kaya

Rekomendasi untuk Anda