Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Zionisme dan Konflik Palestina, Sebuah Analisis Ilmiah dan Historis

Bahron Ansori - Jumat, 7 Maret 2025 - 15:37 WIB

Jumat, 7 Maret 2025 - 15:37 WIB

22 Views

Ilustrasi bendera Israel dengan BIntang David persegi enam yang dominan di latar kain berwarna putih. Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel karena praktik politik zionismenya. Negara-negara Asia Tengah dan Timur Tengah termasuk negara-negara pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia. (Foto: Reuters/Ammar Awad)

ZIONISME adalah gerakan politik yang muncul pada akhir abad ke-19 dengan tujuan utama mendirikan negara Yahudi di tanah Palestina. Gerakan ini dipelopori oleh Theodor Herzl melalui bukunya Der Judenstaat (1896), yang menyerukan pembentukan negara Yahudi sebagai solusi terhadap antisemitisme di Eropa. Dalam perkembangannya, Zionisme bukan hanya sekadar gerakan nasionalisme Yahudi, tetapi juga menjadi kekuatan kolonial yang berusaha menguasai Palestina dengan berbagai cara.

Sebelum kedatangan Zionisme, Palestina merupakan wilayah dengan populasi mayoritas Muslim, bersama dengan komunitas Kristen dan Yahudi yang hidup berdampingan secara damai. Di bawah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah, Palestina memiliki sistem pemerintahan yang stabil dengan penduduk yang beragam. Namun, kolonisasi Zionis mulai mengubah demografi dan tatanan sosial di kawasan tersebut.

Pada awal abad ke-20, gelombang imigrasi Yahudi ke Palestina meningkat pesat, terutama setelah Deklarasi Balfour tahun 1917, di mana pemerintah Inggris menyatakan dukungannya terhadap pembentukan “tanah air bagi bangsa Yahudi” di Palestina. Imigrasi ini memicu ketegangan dengan penduduk asli Palestina yang merasa tanah mereka mulai diambil alih oleh pendatang baru.

Deklarasi Balfour merupakan dokumen kontroversial yang menunjukkan dukungan Inggris terhadap Zionisme, meskipun Palestina saat itu dihuni oleh mayoritas Arab. Inggris, yang menguasai Palestina setelah Perang Dunia I melalui Mandat Palestina, secara aktif memfasilitasi imigrasi Yahudi, yang menyebabkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat Arab dan meningkatkan ketegangan sosial.

Baca Juga: Urgensi Boikot Ekonomi Zionis Israel

Pada tahun 1920-an dan 1930-an, terjadi berbagai pemberontakan oleh penduduk Palestina yang menolak kolonisasi Zionis dan kebijakan Inggris yang berpihak pada kaum imigran Yahudi. Puncaknya adalah Pemberontakan Arab Palestina 1936-1939, di mana rakyat Palestina melakukan perlawanan terhadap Inggris dan kelompok Zionis. Namun, pemberontakan ini ditumpas dengan keras, dan banyak pemimpin Palestina yang ditangkap atau diasingkan.

Pada tahun 1947, PBB mengusulkan rencana pembagian Palestina menjadi dua negara, dengan 55% wilayah diberikan kepada Yahudi meskipun mereka hanya sekitar 30% dari populasi. Rencana ini ditolak oleh Palestina dan negara-negara Arab. Pada 1948, setelah Inggris menarik diri, Israel mendeklarasikan kemerdekaannya. Akibatnya, terjadi perang Arab-Israel pertama, di mana sekitar 750.000 warga Palestina terusir dari tanah mereka dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba (malapetaka).

Setelah perang 1948, Israel menguasai lebih dari 77% wilayah Palestina. Sisa wilayah, yaitu Tepi Barat dan Jalur Gaza, jatuh ke tangan Yordania dan Mesir. Namun, pada Perang Enam Hari 1967, Israel merebut seluruh Palestina, termasuk Yerusalem Timur, dan mendudukinya hingga saat ini. Pendudukan ini menjadi sumber utama konflik yang berkepanjangan.

Setelah 1967, Israel mulai membangun permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, yang melanggar hukum internasional. Permukiman ini tidak hanya merampas tanah Palestina, tetapi juga menciptakan kondisi apartheid dengan infrastruktur yang hanya menguntungkan pemukim Yahudi sementara warga Palestina kehilangan hak-hak mereka.

Baca Juga: Zionis Israel Bukan Bangsa, Tapi Virus Peradaban!

Sebagai respons terhadap pendudukan Israel, rakyat Palestina melancarkan dua kali Intifada (pemberontakan), yaitu pada tahun 1987-1993 dan 2000-2005. Intifada pertama bersifat spontan dan melibatkan aksi protes serta lemparan batu oleh warga sipil Palestina terhadap tentara Israel. Intifada kedua lebih berdarah, dengan serangan bom bunuh diri dari kelompok Palestina dan serangan brutal Israel yang menewaskan ribuan warga sipil.

Setelah Hamas memenangkan pemilu Palestina pada 2006, Israel dan sekutunya memberlakukan blokade terhadap Jalur Gaza. Blokade ini menyebabkan Gaza menjadi “penjara terbuka” dengan krisis kemanusiaan yang parah, termasuk kelangkaan makanan, obat-obatan, dan listrik. Israel juga melakukan serangan militer berulang kali terhadap Gaza, menyebabkan ribuan korban jiwa.

Amerika Serikat merupakan pendukung utama Israel, memberikan miliaran dolar bantuan militer setiap tahun. Dukungan ini memungkinkan Israel untuk terus memperluas permukimannya, menindas rakyat Palestina, dan menghindari sanksi internasional atas pelanggaran hak asasi manusia.

Yerusalem menjadi titik konflik utama karena statusnya yang dianggap suci oleh Islam, Kristen, dan Yahudi. Israel mengklaim Yerusalem sebagai ibu kotanya, sementara Palestina menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara masa depan mereka. Tindakan Israel yang terus mengubah demografi Yerusalem melalui pengusiran warga Palestina memperburuk ketegangan di wilayah tersebut.

Baca Juga: Palestina Adalah Negeri Para Nabi, Bukan Tempat Para Penjajah

Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa negara Arab seperti UEA, Bahrain, Maroko, dan Sudan menormalisasi hubungan dengan Israel melalui Abraham Accords. Langkah ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina, karena memperkuat posisi Israel tanpa adanya penyelesaian adil bagi rakyat Palestina.

Meskipun terus menghadapi represi Israel, rakyat Palestina tetap berjuang melalui berbagai cara, baik melalui perlawanan bersenjata, aksi protes damai, maupun diplomasi internasional. Organisasi seperti Hamas dan Fatah memiliki pendekatan berbeda dalam melawan Israel, sementara Palestina juga terus mencari dukungan di PBB dan forum internasional lainnya.

Saat ini, berbagai organisasi hak asasi manusia, termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch, telah menyatakan bahwa Israel menerapkan sistem apartheid terhadap rakyat Palestina. Diskriminasi sistematis, pembatasan pergerakan, perampasan tanah, dan kekerasan terhadap warga sipil Palestina merupakan bukti nyata dari kebijakan Zionisme yang menindas.

Zionisme, yang awalnya diklaim sebagai gerakan nasionalisme Yahudi, telah berkembang menjadi proyek kolonial yang merampas hak-hak rakyat Palestina. Sejarah menunjukkan bahwa konflik ini bukan sekadar konflik agama atau etnis, tetapi lebih kepada kolonisasi dan penindasan terhadap rakyat asli Palestina. Hingga kini, konflik belum menemukan solusi yang adil, dan rakyat Palestina terus berjuang untuk mendapatkan hak mereka atas tanah air mereka.

Baca Juga: Jama’ah sebagai Benteng Keimanan dan Ukhuwah

Konflik Palestina bukan sekadar masalah regional, tetapi juga ujian bagi dunia dalam menegakkan keadilan dan hak asasi manusia. Jika komunitas internasional tidak segera bertindak, penderitaan rakyat Palestina akan terus berlanjut dan stabilitas kawasan akan semakin terancam.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Al Aqsa Tak Pernah Sendiri, Umat Sedang Bergerak

Rekomendasi untuk Anda