MANUSIA hidup di dunia ini ibarat sedang singgah di warung kopi di pinggir jalan. Kita mampir sebentar, minum kopi, makan gorengan, lalu lanjut perjalanan. Bayangkan kalau kita betah nongkrong di warung sampai lupa tujuan, kira-kira apa yang akan terjadi?
Ya, kita tidak akan sampai ke tempat yang sebenarnya kita tuju. Begitulah dunia ini, hanya tempat singgah sementara, sedangkan tujuan sejati kita adalah akhirat.
Allah ﷻ berfirman dalam Surah Al-Hadid ayat 20:
ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٞ وَلَهۡوٞ وَزِينَةٞ وَتَفَاخُرُۢ بَيۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرٞ فِي ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَوۡلَٰدِۖ كَمَثَلِ غَيۡثٍ أَعۡجَبَ ٱلۡكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصۡفَرّٗا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمٗاۖ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٞ شَدِيدٞ وَمَغۡفِرَةٞ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٞۚ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ
Baca Juga: Syirik Tersembunyi: Musuh Iman yang Tak Terlihat tapi Mematikan
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan, senda gurau, perhiasan, saling berbangga di antara kamu, dan berlomba-lomba memperbanyak harta dan anak. Ibarat hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian ia menjadi kering, lalu kamu melihatnya kuning dan akhirnya hancur. Dan di akhirat ada azab yang keras, ampunan dari Allah, dan keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
Menurut Ibnu Katsir, ayat ini adalah peringatan agar manusia tidak tertipu dengan gemerlap dunia, sebab dunia hanyalah sementara, tidak kekal, dan akan berakhir dengan kehancuran.
Dunia terasa indah dalam pandangan manusia pada awalnya, tetapi kemudian menjadi layu dan sirna, sebagaimana tanaman yang awalnya subur lalu kering dan hancur.
Oleh karena itu, manusia yang berakal hendaknya tidak menjadikan dunia sebagai tujuan, tetapi menjadikannya sebagai sarana untuk kehidupan akhirat.
Baca Juga: Karakteristik Hizbullah
Hal senada ditegaskan pula dalam Surah At-Takatsur:
أَلۡهَىٰكُمُ ٱلتَّكَاثُرُ (١) حَتَّىٰ زُرۡتُمُ ٱلۡمَقَابِرَ (٢)
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.”
Ayat ini adalah kecaman kepada orang-orang yang sibuk memperbanyak harta, anak, dan pengikut, sehingga mereka lalai dari ketaatan kepada Allah. Mereka baru sadar ketika kematian datang dan tidak ada lagi kesempatan untuk beramal.
Baca Juga: Lisanku Terjaga, Hatiku Bahagia: 10 Hikmah Dzikir yang Menyelamatkan
Zuhud menjadi jalan selamat dari sifat lalai ini, karena ia melatih hati agar tidak silau dengan dunia yang fana.
Rasulullah ﷺ pun menegaskan pentingnya zuhud dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
« ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ »
“Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia mencintaimu.”
Baca Juga: Ketika Lobi Yahudi Mulai Rapuh
Hadits ini menunjukkan bahwa cinta Allah dapat diraih dengan sikap zuhud terhadap dunia. Menurut para ulama, zuhud tidak berarti meninggalkan harta sama sekali, tetapi menempatkan dunia hanya sebagai sarana menuju akhirat.
Dengan sikap itu, seorang hamba tidak akan iri dengan apa yang dimiliki orang lain, sehingga ia dicintai oleh manusia.
Lebih jauh lagi, Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
« كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ »
Baca Juga: Jangan Remehkan Kekuatan Doa Orang-orang Lemah
“Hiduplah di dunia seakan-akan engkau orang asing atau seorang musafir.”
Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani, hadits ini memberikan isyarat agar seorang mukmin tidak menjadikan dunia sebagai tujuan. Dunia hanyalah tempat singgah, dan seorang musafir tidak pernah membangun rumah megah di jalan yang hanya ia lalui sebentar.
Ia hanya membawa bekal seperlunya untuk sampai ke tujuan. Begitulah seharusnya seorang mukmin, menjadikan dunia sebagai sarana dan menyiapkan bekal untuk akhirat.
Dengan demikian, baik ayat maupun hadits menegaskan bahwa zuhud adalah sikap hati yang tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Zuhud bukan berarti miskin, bukan berarti malas berusaha, melainkan kesadaran bahwa dunia hanya titipan.
Baca Juga: Ketika Nabi Ibrahim Alaihi Salam di Palestina
Harta boleh di tangan, tetapi hati tetap bergantung kepada Allah. Inilah hakikat zuhud yang dipahami oleh para ulama, dan inilah yang membuat seorang mukmin mampu menjalani hidup dengan tenang, sederhana, dan penuh makna.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, zuhud itu bukan meninggalkan harta, tapi lebih yakin pada apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan kita.
Jadi kalau ada orang bilang, “Saya ini zuhud, makanya nggak punya motor, cuma jalan kaki,” tapi ternyata setiap kali lihat orang naik motor dia iri dan sakit hati, itu bukan zuhud, itu hatinya masih terikat dengan dunia, meskipun tidak punya..
Lihatlah para sahabat Nabi ﷺ. Abdurrahman bin ‘Auf, salah satu sahabat yang paling kaya raya, bisa sedekah dengan jumlah yang fantastis, tetapi beliau tetap rendah hati. Tidak sedikitpun hatinya terikat dengan kekayaan.
Baca Juga: Tabligh Akbar Jawa Tengah 2025, Saatnya Umat Bersatu Hadapi Krisis Global dengan Ukhuwah Islamiyah
Sementara kita, kadang baru punya HP terbaru saja sudah dipamer-pamerkan di status WhatsApp, sampai lupa kalau paket datanya masih ngutang.
Hasan al-Bashri pernah berkata, “Zuhud itu bukan mengharamkan yang halal, tapi lebih percaya pada apa yang ada di sisi Allah.” Artinya, boleh punya harta, boleh punya jabatan, tapi jangan sampai itu membuat kita lupa shalat, lupa bersyukur, dan lupa berbagi.
Bayangkan, kalau orang kaya rajin ke masjid, ringan bersedekah, insya Allah jadi contoh yang baik. Tapi kalau miskin pun tetap sombong, suka meremehkan orang lain, itu bukan zuhud, tapi “sombong.”
Saudaraku, dunia ini memang menggoda. Lihat saja iklan di TV dan media sosial, selalu membuat kita merasa kurang. Baru beli baju, muncul tren baru. Baru ganti HP, keluar versi terbaru. Kalau hati tidak dilatih zuhud, kita akan capek mengejar yang tidak ada habisnya.
Baca Juga: Tertib Itu Sunnah yang Terlupakan
Padahal kata Ibnul Qayyim, zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Jadi, jangan sampai waktu kita habis hanya untuk scroll TikTok berjam-jam, tapi lupa tilawah Qur’an satu halaman saja.
Maka mari kita latih diri dengan zuhud: hidup sederhana, gunakan harta untuk kebaikan, lebih percaya pada janji Allah daripada ilusi dunia, dan jangan mudah silau oleh pujian manusia. Ingat, zuhud bukan berarti kita tidak boleh menikmati rezeki Allah, tapi nikmat itu jangan sampai membuat kita lupa bahwa semua hanya titipan.
Sebuah kalimat indah dari Imam Ali bin Abi Thalib: “Dunia ini berjalan menjauh, dan akhirat berjalan mendekat. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat, jangan jadi anak-anak dunia. Sebab hari ini untuk beramal tanpa hisab, dan besok untuk hisab tanpa amal.” []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Teka-Teki Hudzaifah dan Kecerdasan Ali Bin Abi Thalib