Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah 42 Tahun Sabra Shatila, Energi Perlawanan Semakin Kuat

Ali Farkhan Tsani Editor : Bahron Ansori - Senin, 16 September 2024 - 09:50 WIB

Senin, 16 September 2024 - 09:50 WIB

49 Views

Kamp Sabra Shatila (Sama News)

Oleh Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds Internasional

Sejarah menunjukkan, 16-18 September 1982 menjadi catatan gelap peristiwa pembantaian berdarah oleh pasukan pendudukan Zionis Israel terhadap warga sipil di Kamp Pengungsi Sabra-Shatila Beirut Barat, Lebanon.

Sabra merupakan nama sebuah pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut Barat, Lebanon, bersebelahan dengan kawasan Kamp Pengungsi Shatila.

Shatila merupakan nama kawasan pengungsi yang dikelola oleh Badan PBB untuk Pengungsi Palestina UNRWA (The United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East).

Baca Juga: Satu Tahun Badai Al-Aqsa, Membuka Mata Dunia

Saat itu, dimulai 16 September 1982, pasukan bersenjata Zionis yang tak berperikemanusiaan, di bawah komando Menteri Pertahanan Ariel Sharon, membantai sekitar 3.500-8.000 warga sipil tak berdosa.

Pembantaian berlangsung selama tiga hari berturut-turut, mulai tanggal 16 hingga 18 September 1982. Warga sipil terdiri dari bayi, anak-anak, wanita, dan orang tua dibantai dan dibunuh secara brutal.

Ribuan warga, bukan hanya mereka yang berkebangsaan Palestina, melainkan juga ada warga Lebanon, Suriah, Iran, Bangladesh, Turkiye, Irak, Mesir, Aljazair, dan Pakistan ikut menjadi korban kebiadaban pasukan Zionis.

“Si Tukang Jagal” Ariel Sharon, Menteri Pertahanan Israel saat itu, dan kepala stafnya Rafael Etan, beserta pasukan bersenjata lengkap mengepung Kamp Pengungsi Sabra-Shatilla.

Baca Juga: Satu Tahun Taufanul Aqsa

Mereka bersama milisi Angkatan Lebanon Kristen di bawah komando Elie Hobeika menyerang, membunuh, dan membantai ribuan pengungsi yang tidak bersalah dan tak bersenjata apa pun di kawasan kamp pengungsian.

Wartawan Inggris Robert Fisk, yang mengunjungi Kamp Shatila pada Sabtu pagi, 18 September 1982 kala itu, menggambarkannya sebagai “tindakan terorisme paling mengerikan dalam sejarah Timur Tengah modern.”

Sementara wartawan lainnya, Amnon Kapliuk menggambarkannya dalam investigasinya sebagai “pembantaian paling kejam dan mengerikan sejak Perang Dunia II.”

Begitulah, Pembantaian Sabra-Shatila yang merupakan salah satu pembantaian paling mengerikan dan menjadi trauma kolektif, yang dampaknya masih terpatri dalam ingatan masyarakat Lebanon dan Palestina hingga sekarang.

Baca Juga: Memetik Buah Manis Syukur dalam Kehidupan Muslim

Namun demikian, meskipun lebih dari empat dekade telah berlalu sejak pembantaian yang terjadi selama pengepungan tentara Zionis Israel di Beirut setelah invasi mereka ke Lebanon, belum ada seorang pun yang dimintai pertanggungjawaban di hadapan pengadilan internasional.

Komite Investigasi Israel yang dibentuk setelah pembantaian tersebut menyatakan bahwa para petinggi militer Israel, yang bertanggung jawab atas keselamatan warga sipil di wilayah pendudukan, mengabaikan kemungkinan terjadinya pembantaian tersebut, mengingat ketegangan yang terjadi di Lebanon.

Catatan menyebutkan, pada Selasa malam, 14 September, Presiden Lebanon, Bachir Gemayel, anggota senior sayap kanan Kristen Partai Kataeb (Phalange), terbunuh dalam serangan bom yang menargetkan markas besar Partai Phalange di Beirut Timur.

Pasukan pendudukan Zionis Israel berbaris saat fajar keesokan harinya dan melakukan pengepungan terhadap wilayah Sabra dan Shatila dengan dalih “menerapkan keamanan dan ketertiban di kamp Palestina.”

Baca Juga: Amalan yang Paling Banyak Membuat Masuk Surga

Sejumlah penduduk di wilayah tersebut mencoba mendatangi pasukan pendudukan Zionis Israel, mencoba meyakinkan mereka bahwa tidak ada senjata di tangan penduduk kamp pengungsi, ​​​​dan keinginan warga kamp untuk kembali ke kehidupan normal. Namun, suara itu tidak didengar. Sekitar 3.500-8.000 warga sipil tak berdosa pun dibantai secara brutal oleh pasukan Zionis.

Warga yang selamat dari pembantaian tersebut, mengatakan bahwa pengepungan pasukan Zionis Israel dilakukan untuk membuka jalan bagi kekuatan Partai Phalange Lebanon untuk melakukan pembantaian tersebut.

Hal ini pun sebenarnya dibenarkan oleh sejumlah besar pakar dan jurnalis asing yang mengunjungi daerah tersebut tidak lama setelah pembantaian tersebut, dan melihat lokasi tempat tentara pendudukan Zionis Israel berada.

Meskipun ada kecaman global atas pembantaian tersebut, tidak satu pun dari mereka yang bertanggung jawab ditangkap, diadili, atau dihukum, terutama sejak sekelompok orang yang selamat mengajukan gugatan terhadap Menteri Pertahanan Israel pada saat itu, Ariel Sharon, di Belgia. Namun, pengadilan menolak untuk mempertimbangkan kasus tersebut pada bulan September 2003.

Baca Juga: Kekuatan Iman, Sumber Ketenangan dalam Hidup Sehari-hari

Ariel Sharon memang selamat dari pengadilan mana pun, tetapi akhir usianya sangat mengerikan. Sharon mati tahun 2014 usai mengalami koma selama 8 tahun akibat stroke parah yang membuatnya berada dalam kondisi vegetatif. Sharon juga menderita kegagalan beberapa organ tubuhnya.

Sharon dirawat di Sheba Medical Centre dekat Tel Aviv, sejak Mei 2006 hingga matinya tahun 2014.

Energi Perlawanan

Dalam peringatan 42 tahun pembantaian Sabra dan Shatila di dekat Kamp Shatila, selatan Beirut, Ahad, 15 September 2024, Yasser Ali, anggota Sekretariat Jenderal Konferensi Populer untuk Palestina di Luar Negeri, mengatakan sebagai pengungsi Palestina, akan terus mengerahkan seluruh energi untuk perjuangan meraih kemerdekaan Palestina, baik di Jalur Gaza maupun di Tepi Barat, dengan segala cara dan kemampuan yang ada.

Baca Juga: Meraih Syafaat Melalui Shalawat

Rekannya, Sami Hammoud, Direktur Organisasi Hak untuk Kembali menekankan, energi perlawanan itu kini dikuatkan oleh dukungan masyarakat internasional.

Dukungan bukan hanya oleh mayoritas umat Islam di berbagai belahan dunia, termasuk juga oleh para aktivis kemanusiaan lintas agama, lintas negara, lintas profesi dan lintas generasi.

Dukungan resmi negara-negara di dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) per Mei 2024 sudah mencapai 146 negara dari 193 anggota PBB. Termasuk di dalamnya beberapa negara Eropa, seperti Rusia, Irlandia, Spanyol, Norwegia, Swedia, Ukraina, dan Vatikan.

Negara-negara di kawasan Amerika Latin pun ikut mengakui keberadaan Palestina, sebut saja: Argentina, Brasil, Chile, Kuba, Ekuador, Meksiko, dan Kolombia.

Baca Juga: Perjuangan Palestina di PBB, Mungkinkah Berhasil?

Palestina pun di PBB untuk pertama kalinya secara resmi memiliki kursi mulai sesi ke-79 Majelis Umum PBB, per September 2024.

Melalui Resolusi PBB nomor ES-10/23, PBB memberikan Palestina hak dan keistimewaan tambahan untuk berpartisipasi di PBB, yang menandai peningkatan statusnya yang penting dalam organisasi internasional tersebut.

Resolusi tersebut diadopsi dengan 143 negara anggota yang memberikan suara mendukung. AS termasuk di antara sembilan negara yang menentangnya, sementara 25 negara lainnya abstain.

Palestina mengajukan permohonan keanggotaan penuh PBB pada 2011, tetapi tidak menerima dukungan yang diperlukan dari Dewan Keamanan karena veto AS.

Baca Juga: Kekuatan Sabar dalam Menghadapi Ujian Hidup

Selanjutnya, Palestina pada tahun 2012, memperoleh “status pengamat tetap.”

Pemicu Perjuangan

Hassan Al-Sayyida, seorang peneliti dan aktivis Hak Asasi Manusia di Yayasan HAM Palestina Witness yang berbasis di Beirut, menekankan bahwa rakyat Palestina tidak akan melupakan kejahatan Zionis pada aksi Sabra Shatila.

Menurut Al-Sayyida, rakyat dan para pejuang Palestina akan tetap tabah dan tidak akan tunduk pada undang-undang pembatasan pendudukan Zionis.

Baca Juga: Menjaga Masjid Al-Aqsa, Tanggung Jawab Setiap Muslim di Seluruh Dunia

Dia menekankan bahwa para pelaku pembantaian terhadap rakyat Palestina tidak akan bisa lolos dari hukuman, tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan.

Begitulah, tragedi Sabra Shatila telah menjadi hari ketabahan luar biasa bagi rakyat dan bangsa Palestina hingga kini. Sama seperti ketabahan warga di Jalur Gaza saat serangan Zionis Israel berkali-kali menggempurnya dengan puluhan ribu ton bom, dan blokade puluhan tahun. Namun, itu semua tak pernah memadamkan perjuangan warga dan pejuang Palestina.

Ketabahan yang sama ditunjukkan warga di kawasan Kota Al-Quds (Yerusalem) yang mengalami pembatasan shalat di Masjid Al-Aqsha dan Masjid Ibrahimi. Warga Yerusalem, Hebron, Nablus dan kota-kota lainnya di Tepi Barat, semakin intensif mengadakan perlawanan fisik terhadap pasukan Zionis Israel.

Tentu saja itu semua bukan hanya tanggung jawab internal Palestina semata yang harus semakin solid mewujudkan rekonsiliasi nasional mereka. Namun, juga harus menjadi perhatian seluruh umat Islam di dunia dan manusia secara global yang masih memiliki jiwa kemanusiaan.

Baca Juga: Lima Kelemahan Manusia di Dalam Al-Quran

Ini tentu menjadi perjuangan seluruh kaum Muslimin serta manusia pada umumnya, yang mencintai kemanusiaan, perdamaian dan kemerdekaan hak-hak asasi manusia.

Kebenaran pun pasti akan menang, perjuangan kebenaran pasti akan meraih jalan kemerdekaannya, Palestina yang merdeka dan berdaulat di tanah airnya sendiri, dengan Al-Quds sebagai ibu kota abadinya.

Ini semua sudah cukup menjadi energi perlawanan dan pemantik pengadilan atas kekejaman Sabra Shatila, 42 tahun silam.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda