DI TENGAH derasnya arus informasi dan perubahan gaya hidup, akhlak para siswa hari ini menghadapi tantangan yang jauh lebih berat daripada generasi sebelumnya. Mereka tumbuh di dunia yang cepat, sibuk, dan sering kali bising. Tanpa pegangan nilai yang kuat, seorang anak bisa mudah terseret arus, kehilangan arah, bahkan tanpa sadar menjauh dari kebaikan. Karena itu, memahami penyakit akhlak yang banyak muncul di kalangan siswa menjadi langkah penting untuk membantu mereka kembali ke jalan yang terang.
Namun kita perlu mengingat, siswa zaman sekarang bukanlah generasi yang lemah atau rusak. Mereka hanya generasi yang menghadapi “ medan tempur moral ” yang berbeda. Mereka bukan butuh dimarahi, tetapi dibimbing. Bukan butuh dihina, tetapi dipeluk. Mereka butuh kehadiran kita—orang tua, guru, dan masyarakat—untuk menjadi cahaya saat mereka bingung, teladan saat mereka ragu, dan tempat pulang saat mereka tersesat. Berikut sembilan penyakit akhlak yang kini banyak terjadi, beserta penjelasan yang diharapkan dapat membuka mata dan hati kita semua.
- Mengabaikan Adab kepada Guru
Banyak siswa memandang guru sekadar pemberi materi atau pengawas kelas. Padahal, dalam tradisi pendidikan, guru adalah sosok yang mengantar murid menuju cahaya ilmu. Ketika siswa mulai meninggikan suara, menatap sinis, atau menentang aturan guru, itu bukan hanya tanda hilangnya sopan santun—tetapi runtuhnya pintu keberkahan ilmu. Ilmu tidak hanya dipelajari, tetapi diserap melalui kerendahan hati dan rasa hormat.
Jika adab kepada guru hilang, maka proses pendidikan berubah menjadi sekadar rutinitas kosong. Sebab keberhasilan seorang pelajar tidak hanya ditentukan kecerdasannya, tetapi juga bagaimana ia memuliakan orang yang mengajarkannya. Adab adalah tangga, dan ketika tangga itu rusak, mustahil seseorang bisa naik menuju puncak kemuliaan.
Baca Juga: Anak Berkembang dari Orang Tua yang Berkembang
- Kurang Empati dan Tidak Peka Sosial
Ketika siswa hidup di dalam dunianya sendiri—sibuk dengan ponsel, game, dan media sosial—mereka perlahan kehilangan kemampuan membaca perasaan orang lain. Teman yang sedih dianggap biasa, teman yang kecewa tidak disadari, dan teman yang butuh bantuan sering terabaikan. Tanpa empati, hubungan sosial menjadi kering, hambar, dan mudah menimbulkan konflik.
Padahal empati adalah pintu bagi lahirnya persaudaraan. Generasi muda yang tidak belajar merasakan penderitaan orang lain cenderung tumbuh menjadi pribadi keras, egois, dan sulit bekerja sama. Maka membangunkan empati pada siswa adalah investasi besar untuk masa depan peradaban yang lebih lembut dan manusiawi.
- Ketergantungan Berlebihan pada Gadget
Gadget awalnya diciptakan untuk mempermudah hidup, tetapi bagi banyak siswa, gadget telah menjadi dunianya sendiri. Mereka bisa begitu tenggelam hingga lupa waktu, lupa belajar, bahkan lupa berinteraksi dengan manusia di sekelilingnya. Ketika gadget menjadi pusat perhatian, nilai-nilai penting seperti disiplin, fokus, dan sopan santun perlahan memudar.
Ketergantungan gadget juga membuat siswa mudah goyah secara emosional. Notifikasi kecil bisa merusak suasana hati, komentar negatif bisa meruntuhkan percaya diri, dan perbandingan sosial di media sosial bisa membuat mereka merasa kurang. Jika tidak dikendalikan, gadget akan menjadi pintu masuk berbagai penyakit akhlak lainnya.
Baca Juga: Al–Azhar Mesir Dukung Prodi Bahasa Indonesia dan Indonesia Center
- Hilangnya Rasa Malu terhadap Perbuatan Salah
Rasa malu adalah benteng terakhir akhlak. Ketika benteng ini runtuh, seseorang tidak lagi merasa bersalah melakukan kesalahan. Ia bisa menyontek sambil tertawa, membantah guru tanpa segan, atau membuat konten yang merendahkan orang lain tanpa sedikit pun rasa bersalah. Inilah tanda bahaya yang perlu segera disadarkan.
Siswa yang kehilangan rasa malu cenderung mencari sensasi, bukan kebenaran. Mereka hidup untuk tepuk tangan, bukan untuk kebaikan. Jika ini dibiarkan, kepribadian mereka tumbuh tanpa filter moral, dan itu akan berbahaya bagi masa depan mereka sendiri. Menghidupkan kembali rasa malu adalah mengembalikan kesadaran bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi moral.
- Mudah Mengeluh dan Tidak Tahan Tekanan
Banyak siswa hari ini tumbuh dalam kenyamanan yang berlimpah. Sedikit tugas dianggap beban berat, sedikit masalah menjadi alasan untuk menyerah. Mereka lupa bahwa setiap orang hebat lahir dari kemampuan menahan tekanan dan mengubah kesulitan menjadi kekuatan. Menghadapi sedikit kesulitan dengan keluhan hanya melemahkan hati mereka sendiri.
Jika siswa tidak dibiasakan menghadapi tekanan, mereka akan kesulitan ketika dewasa nanti. Dunia nyata penuh tantangan, dan hanya mereka yang berani berjuang yang mampu bertahan. Karena itu, mengajari siswa untuk sabar, bertahan, dan tidak mudah mengeluh adalah bekal hidup yang jauh lebih berharga daripada sekadar nilai tinggi.
Baca Juga: 7 Cara Membentuk Anak Jadi Saleh di Zaman Rusak
- Rendahnya Rasa Syukur
Di era kemudahan ini, banyak siswa lupa menghargai nikmat kecil yang mereka miliki: bangku sekolah, buku, seragam, guru yang sabar, atau orang tua yang bekerja keras. Tanpa rasa syukur, hati menjadi sempit dan gelisah. Mereka selalu merasa kurang, selalu iri, dan selalu membandingkan diri dengan orang lain.
Rasa syukur membawa keluasan hati. Generasi yang bersyukur tumbuh menjadi pribadi yang kuat, optimis, dan tidak mudah putus asa. Membangun syukur pada siswa berarti mengajarkan mereka untuk melihat kebaikan yang sering tidak disadari, agar hati mereka senantiasa lembut dan penuh cahaya.
- Suka Menunda dan Tidak Disiplin
Menunda pekerjaan mungkin terlihat sepele, tetapi ia adalah akar dari kegagalan besar dalam hidup. Siswa yang suka menunda tugas, malas belajar, atau sering melanggar jadwal, perlahan membentuk kebiasaan buruk yang menggerogoti masa depan. Disiplin adalah jembatan antara impian dan kenyataan, dan ketika jembatan itu rapuh, langkah hidup menjadi goyah.
Jika kebiasaan menunda tidak diatasi sejak dini, siswa akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak bisa diandalkan. Mereka akan mudah kehilangan kesempatan, sulit mencapai target, dan terus terjebak dalam penyesalan. Mengajarkan disiplin adalah mengajarkan masa depan, bukan sekadar aturan.
Baca Juga: Gelombang Sunyi di Balik Layar, Dilema Medsos pada Anak dan Seruan Kembali kepada Syariat
- Kebiasaan Berbohong
Kebohongan kecil jika dibiarkan akan tumbuh menjadi kebohongan besar. Siswa yang terbiasa berbohong demi menghindari teguran atau menutupi kesalahan akan kehilangan integritasnya sendiri. Mereka bahkan bisa percaya pada kebohongan mereka sendiri. Hidup dalam kepalsuan membuat hati gelap dan sulit menerima kebenaran.
Ketika siswa jujur, mereka sedang membangun pondasi kehidupan yang kokoh. Kejujuran membuat seseorang dipercaya, dihormati, dan disegani. Mengajar mereka untuk berkata benar meski pahit adalah hadiah karakter yang akan mereka bawa seumur hidup.
- Mengikuti Tren Tanpa Pertimbangan Moral
Tidak semua yang viral itu benar, dan tidak semua yang populer itu baik. Namun banyak siswa mengikuti tren tanpa pertimbangan moral: gaya berbicara kasar, konten tak pantas, atau sikap meniru selebritas tanpa filter nilai. Mereka mengikuti arus, padahal arus itu sering membawa ke arah yang keliru.
Siswa harus diajari keberanian menjadi diri sendiri. Tren datang dan pergi, tetapi akhlak adalah bekal seumur hidup. Ketika mereka berani berkata “tidak” pada sesuatu yang salah, saat itulah karakter mereka tumbuh. Kekuatan bukanlah mengikuti yang sedang ramai, tetapi berdiri tegak meski orang lain memilih jalan berbeda.
Baca Juga: Saat Lembaga Pendidikan Hanya Jadi Lumbung Cuan
Semoga penjelasan ini membantu membuka pemahaman yang lebih dalam, lebih lembut, dan lebih menyentuh tentang keadaan akhlak siswa hari ini—agar kita bersama-sama bisa membimbing mereka menuju akhlak yang lebih mulia.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Dua Santri Shuffah Al-Jama’ah Ikuti International Student Exchange di Thailand
















Mina Indonesia
Mina Arabic