Isu Palestina bukan sekadar konflik geopolitik, tetapi tragedi kemanusiaan yang terus berlangsung di depan mata dunia. Ribuan nyawa tak berdosa melayang, rumah-rumah dihancurkan, dan anak-anak tumbuh dalam bayang-bayang peperangan tanpa tahu bagaimana rasanya hidup dalam damai. Namun, yang lebih menyakitkan adalah bagaimana penderitaan mereka sering kali diabaikan atau bahkan dibelokkan oleh media yang seharusnya menjadi suara bagi keadilan. Dalam narasi yang mereka bangun, para korban kerap disalahkan, sementara penindas digambarkan sebagai pihak yang terpaksa “membela diri.”
Di era informasi yang serba cepat, media memiliki kekuatan luar biasa untuk membentuk opini publik. Sayangnya, banyak media Barat justru memilih untuk menampilkan realitas Palestina dengan bias yang menguntungkan pihak penjajah. Kata-kata disusun sedemikian rupa agar publik lebih bersimpati kepada Israel, sementara kesengsaraan rakyat Palestina disamarkan dengan istilah-istilah yang melemahkan makna penderitaan mereka. Inilah yang membuat dunia tetap buta terhadap kejahatan yang terjadi, sementara harapan rakyat Palestina akan keadilan semakin terkubur dalam narasi yang menyesatkan.
Pertama, Pemilihan Kata yang Manipulatif. Media Barat sering menggunakan istilah yang menyesatkan dalam pemberitaan tentang Palestina. Misalnya, serangan terhadap warga sipil Palestina disebut sebagai “konflik” atau “bentrokan” seolah-olah ada kesetaraan kekuatan, padahal yang terjadi adalah agresi dari pihak yang jauh lebih kuat secara militer. Sementara itu, tindakan perlawanan rakyat Palestina sering disebut sebagai “terorisme,” menciptakan citra negatif bagi perjuangan mereka.
Kedua, Pengaburan Fakta dan Konteks Historis. Laporan-laporan media sering kali menghilangkan konteks sejarah penting, seperti pendudukan ilegal, pembersihan etnis, dan blokade berkepanjangan. Sebaliknya, mereka menampilkan situasi seolah-olah Palestina dan Israel memiliki posisi yang sama dalam konflik, tanpa menyoroti akar masalah seperti penjajahan dan pelanggaran hukum internasional yang dilakukan oleh Israel.
Baca Juga: Sejarah Yahudi adalah Sejarah Kekalahan
Ketiga, Penggiringan Opini melalui Pemilihan Narasumber. Media Barat lebih sering memberi panggung kepada pejabat Israel atau analis yang pro-Israel dibandingkan dengan tokoh Palestina atau pakar independen. Dengan demikian, opini yang terbentuk lebih condong membenarkan tindakan Israel, sementara suara rakyat Palestina sering diabaikan atau hanya dijadikan latar belakang tanpa perspektif yang berimbang.
Keempat, Minimisasi Korban Palestina dalam Laporan Berita. Dalam melaporkan korban jiwa, media Barat cenderung menggunakan bahasa yang mengurangi dampak penderitaan warga Palestina. Ketika warga Palestina terbunuh, sering kali disebut sebagai “tewas dalam bentrokan” tanpa menyebut siapa yang bertanggung jawab. Sementara itu, jika ada warga Israel yang menjadi korban, media dengan cepat menyorotnya secara personal dengan detail emosional, sehingga pembaca lebih bersimpati kepada mereka.
Kelima, Penggambaran Israel sebagai Pihak yang “Membela Diri”. Narasi yang paling sering muncul adalah bahwa Israel hanya “merespons” atau “membela diri” dari serangan Palestina, meskipun pada kenyataannya Israel sering kali adalah pihak yang pertama kali memulai agresi. Penggunaan istilah seperti “Israel merespons serangan roket” menutupi fakta bahwa Palestina telah lama mengalami pendudukan dan serangan brutal sebelum perlawanan bersenjata muncul.
Keenam, Penyensoran atau Pengaburan Kejahatan Israel. Banyak laporan media Barat yang mengabaikan kejahatan perang yang dilakukan Israel, seperti pembunuhan jurnalis, penghancuran rumah warga sipil, dan serangan terhadap fasilitas kesehatan. Bahkan jika dilaporkan, sering kali disajikan dengan bahasa yang pasif seperti “gedung ambruk akibat serangan,” tanpa menyebut siapa pelaku penyerangan.
Baca Juga: Jelajah Bumi Para Nabi
Ketujuh, Fokus Berlebihan pada Perlawanan Palestina. Daripada menyoroti penderitaan rakyat Palestina akibat blokade, pembunuhan, dan pengusiran, media Barat lebih sering menampilkan berita tentang kelompok perlawanan seperti Hamas, dan menggambarkan mereka sebagai satu-satunya wajah Palestina. Hal ini menciptakan persepsi bahwa seluruh rakyat Palestina adalah ekstremis, padahal perlawanan yang mereka lakukan adalah respons terhadap penjajahan yang terus berlanjut.
Kedelapan, Penggunaan Gambar yang Mempengaruhi Emosi Publik. Media Barat sering menampilkan gambar yang dapat memanipulasi emosi pembaca. Foto anak-anak Israel yang ketakutan akibat sirene serangan roket lebih sering digunakan dibandingkan dengan foto anak-anak Palestina yang terbunuh atau terluka akibat serangan udara Israel. Ini bertujuan untuk menciptakan kesan bahwa Israel adalah korban, sementara penderitaan rakyat Palestina diabaikan atau dianggap sebagai konsekuensi yang tidak terhindarkan.
Kesembilan, Menjadikan Isu Palestina sebagai Masalah Internal atau Agama. Beberapa media Barat berusaha membingkai isu Palestina sebagai konflik internal antara faksi-faksi politik Palestina atau sekadar konflik agama antara Muslim dan Yahudi. Hal ini mengaburkan fakta bahwa inti permasalahan adalah penjajahan, apartheid, dan pelanggaran hak asasi manusia oleh Israel. Dengan cara ini, opini publik global menjadi kurang peduli terhadap realitas ketidakadilan yang dialami Palestina.
Media Barat memiliki peran besar dalam membentuk opini dunia tentang Palestina, dan strategi-strategi bias ini telah memperkuat narasi yang menguntungkan Israel sekaligus melemahkan perjuangan Palestina. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk mencari sumber berita yang lebih objektif dan kritis dalam memahami realitas yang terjadi di Palestina.[]
Baca Juga: Menjaga Diri dari Godaan Duniawi di Akhir Ramadhan
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Bulan Ramadhan Ibarat Permainan Ular Tangga, Dimana Posisi Kita?