Nasib malang bangsa Rohingya tidak hanya melingkar di Myanmar. Ketika kabur ke negeri orang seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia, mereka juga hanya gigit jari. Pasalnya, ketiga negara itu hanya berstatus sebagai negara transit.
Sebagaimana contoh kondisi salah satu keluarga pengungsi Rohingya yang kini tinggal di Malaysia.
Setelah hidup selama tiga generasi di Malaysia, satu keluarga Rohingya tidak diberikan kesempatan pendidikan dan pekerjaan yang sama dengan warga pribumi. Banu Hassan mengatakan kini memiliki enam anak dan empat cucu. Semuanya lahir di Malaysia.
“Jika pemberian kewarganegaraan tidak mungkin, setidaknya biarkan kami sekolah. Kami lahir di Malaysia. Tapi, kami selalu ditolak,” pinta Zahida Ismail, 17, cucu Banu, seperti dilaporkan The Malaysian Insider, dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Baca Juga: Memilih Pemimpin dalam Islam
Anak Banu, Rokiah Mohd Ali, 26, juga mengaku bercita-cita menjadi dokter. Tapi, cita-citanya sudah mandeg di sekolah menengah pertama karena dia tidak mendapatkan akses. Ayah Rokiah selalu memotivasinya hingga dia kini jadi guru di kamp pengungsian.
Menurut Ismail, dia juga bisa bekerja serabutan. Tapi perlindungannya minim. Terkadang, dia ditipu dan tidak diberi upah sepeser pun. “Kami sadar kami pengungsi. Tapi, kami juga bisa berkontribusi terhadap ekonomi Malaysia jika diberi kesempatan,” kata Ismail.
Rohingya disebut sebagai etnis yang tidak memiliki negara, kendati mereka sudah hidup beberapa generasi di negara bagian Rakhine, Myanmar. Mereka tidak memiliki kewarganegaraan dan kartu tanda penduduk (KTP) sehingga hak mereka ditindas.
Periset komunitas Rohingya, Azlinariah Abdullah, menyatakan jumlah bangsa Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar menuju Malaysia mencapai 40.000 terhitung sejak awal 1980-an. Pada Mei, Malaysia menampung sekitar 7.000 pengungsi Rohingya dan Bangladesh.
Baca Juga: Saat Dua Syaikh Palestina Ziarah ke Makam Imaam Muhyiddin Hamidy
“Sekitar 15% pengungsi Rohingya merupakan anak-anak. Remaja Rohingya biasanya bekerja memungut besi tua atau di pabrik. Pengungsi UNHCR sebenarnya tidak boleh bekerja. Tapi, beberapa perusahaan tetap ingin memberdayakan mereka,” kata Azlinariah.
Sejumlah pemerintah lokal di Malaysia juga bersedia mengizinkan bangsa Rohingya membuka bisnis sendiri, baik di bidang makanan ataupun lainnya. “Tapi, sebagian besar dari mereka harus berjuang ekstra untuk mendapatkan pekerjaan yang layak,” tandasnya.
Banu menerangkan, di Malaysia, dia mencari nafkah dari penjualan botol dan kaleng daur ulang. “Saya dan suami saya awalnya pergi ke Thailand pada awal 1980-an. Saat itu, saya berjalan kaki, mengarungi lautan, dan menyusuri hutan,” katanya.
Menurut Banu, suaminya berbeda dengan kebanyakan orang Malaysia, sedangkan dirinya ada kemiripan. “Jadi dia selalu diam di rumah. Saya yang bekerja. Kami hidup dua tahun di Kelantan, dua tahun di Pahang, 20 tahun di Selangor, dan 10 tahun di Klang,” ungkapnya. (T/P020/R05)
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-12] Tinggalkan yang Tidak Bermanfaat
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-11] Ragu-ragu Mundur!