Kisah Mengharukan Perjuangan Seorang Istri dan Ibu Rohingya

Jano Begum. (Foto: Nicholas Kristof/The New York Times)
Jano Begum. (Foto: Nicholas Kristof/The New York Times)

Oleh: Nicholas Kristof, Kolumnis The New York Times

Sejauh manakah Anda akan berusaha mencari dan mengorbankan harta untuk menyelamatkan suami Anda yang disandera? Dan sejauh manakah Anda akan memprioritaskan keselamatan suami ketimbang kesehatan anak?

Dua pilihan sulit itu pernah dihadapi seorang ibu bernama Jano Begum, 22. Jano dan suaminya Robi Alom, 30, merupakan bagian dari etnis minoritas di yang terpaksa hidup di kamp konsentrasi atau perkampungan terisolasi.

Jano, Robi, dan orang Rohingya lainnya diungsikan ke kamp konsentrasi sejak tragedi berdarah pada 2012. Mereka tidak memiliki kewarganegaraan karena pemerintah Myanmar tak mengakui mereka sebagai warga negaranya, sehingga tidak bisa bekerja layak atau mengakses pelayanan kesehatan.

Kondisi itu membuat Robi frustasi. Dia bersikeras ingin bergabung dengan orang Rohingya yang melarikan diri ke Malaysia dengan menggunakan perahu. “Saya tidak mengizinkannya pergi,” ujar Jano mengenang masa lalu.

Atas perselisihan itu, mereka berdebat. Menurut Robi, meninggal di lautan lebih baik ketimbang berada di kamp konsentrasi. Pada Oktober 2014, Robi menghilang. Rekannya memberitahu Jano, dia pergi bersama penyelundup manusia.

Robi tidak berani mengucapkan selamat tinggal kepada istri dan anaknya karena takut mereka akan menghentikan langkahnya. Jano sedih dan kecewa. Tapi, dia memakluminya. “Di sini kami hidup memang bak di penjara,” terangnya.

Sekitar dua setengah bulan kemudian, Jano menerima pesan dari seorang pelaku perdagangan manusia di . Dia diberitahu suaminya ditahan dan meminta uang tebusan senilai USD1200 (sekitar Rp.16 juta).

Jano menjual barangnya dan berusaha meminjam uang dari saudaranya serta menggadaikan kartu rasio makanan miliknya. Saat itu, dia bisa mengumpulkan uang senilai USD500 dan mengirimkannya ke rekening pelaku perdagangan manusia.

Dalam percakapan telepon, pelaku menekan Jano dan meminta uang tebusan lebih. Terkadang, mereka menyiksa Robi dengan menggunakan pentungan sehingga Jano dan keluarganya dapat mendengar dia berteriak kesakitan.

Namun, Jano menegaskan kepada mereka dia tidak memiliki apapun. Dia mungkin bisa mengirimkan uang lagi beberapa dollar. Tapi, dia sepertinya takut anak lelakinya, Muhammad, 5, akan kelaparan. Dan memang sudah kelaparan. Robi pun meninggal di hutan Thailand.

“Saya tidak membayar lebih. Jadi, mereka membunuhnya,” ujar Jano. Setelah terpaku dalam lamunan cukup lama, dia menambahkan. “Saya menyalahkan diri saya sendiri karena saya tidak sanggup menyelamatkannya,”

Jano tidak memberitahu anaknya jika ayahnya meninggal. Sebab, selain masih anak-anak, dia juga tampak stres. Jano bekerja sebagai pencuci pakaian dan meraih upah sekitar 20 sen (Rp.2.700) per hari. Keluarga Jano pun membantu menebus kartu rasionya senilai USD200.

Tragedi yang dialami Jano tidak hanya terjadi karena kejahatan pelaku perdagangan manusia. Tapi juga karena sistem pemerintah Myanmar yang tampak mencoba membersihkan etnis Rohingya. Ini merupakan pencorengan HAM. (T/P020/P2)

Mi’raj Islamic News Agency