Sittwe, 23 Rabi’ul Akhir 1437/2 Februari 2016 (MINA) – Kyaw Hla Aung, 76, berjalan perlahan di sekitar rumahnya yang terbuat dari kayu dan rotan. Dia merupakan imam muslim Rohingya yang pernah keluar masuk penjara selama beberapa kali.
Rumah baru Aung terjepit di antara perkampungan Rohingya dan kamp Thet Kay Pyin yang menampung sekitar 5.000 pengungsi Rohingya, sedangkan rumahnya yang dulu di Kota Sittwe telah ludes dibakar pada 2012 oleh massa umat Budha.
Aung tetap bertahan di sekitar tempat kelahirannya karena harus menjadi pemimpin Rohingya yang masih berada di sana. Jika dia melarikan diri ke negara lain, baik melalui darat ataupun laut, masyarakat diyakini pasti akan mengikuti jejaknya.
Seperti dilansir Straits Times yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Aung dikaruniai tujuh anak. Salah satu anak Aung menyusup menuju Bangladesh pada 2006 dan sekarang bekerja sebagai penerjemah di lembaga HAM di Thailand.
Baca Juga: Pusat Budaya dan Komunitas Indonesia Diresmikan di Turki
“Saya tidak berharap dia harus kembali ke sini (Myanmar). Di sini tidak ada pekerjaan, tidak ada pendidikan, tidak ada masa depan,” terang Aung. Di Bangkok, anak sulung Aung menolak difoto atau mengungkapkan nama asli karena beberapa alasan.
“Saya memiliki musuh,” kata lelaki berusia 37 tahun itu. Dia mengarungi perjalanan yang panjang, sulit, dan rumit sebelum bisa tiba di Thailand. Dia pernah ditangkap dua kali oleh polisi Myanmar dan penjaga pantai di dekat Tavoy.
Lelaki yang baru mendapatkan paspor Myanmar di Yangon itu pernah pulang ke Myanmar pada 2008 saat menjadi delegasi dalam sebuah konferensi. Dia bertemu ayahnya di Yangon. Tapi dia tidak ingin pergi ke Sittwe. “Saya tidak merindukan Sittwe,” tegasnya.
Sementara itu, seorang muslimah Rohingya, Madam Asiya Khatoum, yang juga kehilangan tempat tinggalnya di Sittwe mempunyai delapan anak. Anak lelakinya yang paling sulung berusia 17 tahun. Dia hilang pada suatu malam pada tahun lalu.
Baca Juga: DPR AS Keluarkan RUU yang Mengancam Organisasi Pro-Palestina
Sekitar dua minggu kemudian, Asiya mengatakan, anaknya menelepon dari kamp pelaku perdagangan manusia di sebuah hutan di Thailand Selatan. Dia mengatakan para pelaku meminta uang tebusan sebesar USD2000 (Rp.27,2 juta).
Asiya menjual semua yang dia miliki, termasuk kartu rasio Program Makanan Dunia, sebelum bisa menyelamatkan anaknya. Berkat upaya dan doa Asiya, sepekan kemudian, anaknya terbebas dan sudah berada di Kuala Lumpur, Malaysia. (T/P020/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Lima Paramedis Tewas oleh Serangan Israel di Lebanon Selatan