Oleh Faris Alfadhat, Kandidat PhD di Asia Research Centre, Murdoch University, Australia. Pengamat dan Pengajar Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Merupakan Presiden The Association of Indonesian Postgraduate Students and Scholars in Australia (AIPSSA) periode 2016.
Jika ada satu hal yang perlu mendapat catatan serius dalam politik internasional, yang terus berulang dalam beberapa tahun terakhir termasuk sepanjang tahun 2015 ini, itu adalah: merebaknya kebencian! Sikap yang sesungguhnya dibentuk dari, sekaligus hadir, dalam aksi-aksi teror dan brutal.
Kita patut gusar bila melihat eskalasi kekerasan serta angka korban berjatuhan. Sepanjang bulan Oktober–November tahun ini saja, misalnya, terdapat sekitar 700 korban meninggal dan lebih dari 1.900 luka-luka. Jumlah ini termasuk dari tragedi Paris beberapa waktu lalu, serta aksi teror lainnya yang terjadi di Irak, Nigeria, Turki, Pakistan, Banglades, hingga Australia. Data dari Global Terrorism Index 2015 menunjukkan dalam 15 tahun terakhir jumlah korban yang meninggal meningkat signifikan. Dari sekitar 3.000 orang di tahun 2000 menjadi lebih dari 32.000 di tahun 2014.
Sejatinya tidak ada alasan lagi untuk mengutuk doktrin agama sebagai sumber petaka. Umat Islam, yang dalam hal ini banyak dituding, dengan tegas mengecam tindakan teror dalam bentuk apapun dan menolak keterkaitannya dengan nubuat Tuhan. Hal ini ditunjukkan, misalnya, oleh komunitas muslim di Roma, Italia, dalam aksi mereka baru-baru ini. Survei yang dilakukan Pew Research Center, lembaga think-tank yang berbasis di Washington, Amerika Serikat, pada pertengahan 2015 lalu terhadap 10 negara berpenduduk muslim, termasuk Indonesia, juga menunjukkan hasil yang sama.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Dalam satu dekade terakhir, kita melihat transformasi pelaku teror yang tidak semata didominasi oleh kelompok ekstrimis yang terorganisir. Teror juga bisa hadir dari aksi-aksi sporadis. Di tahun 2011, kita menyaksikan teror bom dan letusan mesiu jatuh di tanah Norwegia dan menewaskan 77 orang. Aksi ini dilakukan oleh seorang individu bernama Anders Behring Breivik (32). Meskipun Breivik menyebut dirinya seorang fundamentalis Kristen, namun kita mafhum bahwa aksinya sangat terkait dengan konteks kekecewaan atas kebijakan-kebijakan politik yang ada di Norwegia dan Uni Eropa secara luas.
Meski demikian, sentimen-sentimen sumir terhadap agama tertentu (baca: Islam) terus saja menyeruak di pelbagai belahan dunia. Di Newcastle, Inggris, baru-baru ini, seorang perempuan muslim bernama Ruhi Rahman (23) mendapat pelecehan di sebuah kereta sebagai rentetan atas kebencian rasial yang merebak. Di tanah air, kita pun mulai mendengar samar-samar ‘ketakutan’ dari beberapa kalangan untuk bepergian ke luar negeri.
Karena itu, pertanyaan terus saja muncul ke permukaan, terutama sejauh mana agama dan benih-benih kekerasan beririsan. Meskipun keduanya tak berkelindan satu sama lain, namun agama atau semangat ultrafundamentalis dalam bentuk apa pun sengaja dipelihara oleh beberapa kalangan, karena ia bekerja efektif untuk mengorganisasikan kepentingan yang lain, yakni sumber daya dan sumber kuasa.
Hal ini bisa dilacak, misalnya, dari kontestasi atas sumber-sumber kapital: baik yang dilakukan oleh negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China, ataupun aksi dari kelompok-kelompok ekstrimis semacam Islamic State (ISIS/Daesh) di Suriah dan Boko Haram di Nigeria.
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Bagi AS, kelompok-kelompok bersenjata diperlukan untuk tujuan politik dan ekonomi. Terkait kasus ISIS, misalnya, banyak catatan yang menunjukkan ‘Negeri Paman Sam’ punya saham dalam membesarkan kelompok tersebut, terutama terkait upaya menggulingkan rezim politik yang dianggap tidak ‘pro-Barat’ seperti Bashar al-Assad di Suriah.
Kita pun teringat bagaimana AS pernah punya catatan serupa dalam mendukung Osama Bin Laden dan kelompoknya untuk tujuan-tujuan politik. Sebuah harian Inggris, The Independent, dalam satu tulisannya pada 6 Desember 1993 bahkan memuji Bin Laden sebagai pahlawan karena ikut berperang melawan Uni Soviet di Afganistan.
Di sisi yang lain, eksistensi dari kelompok teror tersebut seolah menjadi alasan kuat bagi negara-negara seperti Rusia dan China dalam mendukung rezim otoriter seperti yang ada di Suriah, tanpa melihat korban kemanusiaan yang terus tumbang. Padahal, argumen tersebut digunakan untuk menutupi keberlangsungan kerjasama persenjataan kedua negara yang sudah terjalin lama, begitu juga perdagangan minyak dengan negara-negara yang ada di kawasan tersebut.
Sementara itu, dari sudut pandang kelompok ultrafundamentalis seperti ISIS, ide utopis mengenai ‘Negara Islam’ tak lebih sebagai identitas artifisial. Di balik itu, ada upaya yang lebih masif untuk mengontrol sumber-sumber kapital baru. Saat ini, misalnya, organisasi yang sebelumnya lebih banyak mengandalkan bantuan donatur tersebut mampu mengumpulkan sekitar 4.22 juta dolar AS setiap harinya, terutama dari penguasaan atas 60 persen ladang minyak di bagian timur Suriah dan Irak. Begitu juga pendapatan lain yang dihasilkan dari penyelundupan, penjarahan, serta perdagangan manusia dan perbudakan.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Lydia Wilson, anggota penelti dari Centre for the Resolution of Intractable Conflict, University of Oxford, dalam wawancaranya dengan beberapa tahanan yang ikut melakukan teror bersama ISIS, menjumpai fakta bahwa tak ada jejak wahyu Tuhan dalam aksi mereka. Justru kompetisi ekonomilah yang terasa dominan (The Nation, 21/10/2015). Dalam hal ini, ISIS tampaknya dipandang sebagai satu akses terhadap konsep ‘kesejahteraan’.
Dengan demikian, hal ini sekaligus menolak pendapat ilmuan politik seperti Francis Fukuyama, yang dalam buku terbarunya, Political Order and Political Decay (2014), berkeyakinan bahwa menguatnya kelompok-kelompok teroris sebagai akibat kegagalan bekerjanya istitusi negara dalam formatnya yang ideal, khususnya dalam memberikan kebutuhan dasar serta keamanan.
Aksi teror, yang besar kemungkinan akan terus terjadi di tahun-tahun mendatang, sejatinya tidak bisa dinilai sepenuhnya dari sudut pandang pengelolaan institusi ataupun absennya sistem dimokrasi liberal, melainkan lebih pada persoalan bagaimana kekayaan dan kekuasaan itu diperebutkan, oleh siapa, dan diperuntukkan kepada siapa!
Hal ini yang patut difahami oleh negara seperti Indonesia, begitu juga bangsa lainnya di Asia Tenggara, yang dalam beberapa tahun terakhir memberikan banyak perhatian pada pembangunan ekonomi dan kerjasama kawasan. Kegagalan dalam memahami relasi-relasi kuasa di balik merebaknya politik ultrafundamentalis akan menjebak kita sekali lagi pada propaganda global yang serupa pasca tragedi 9/11.(P022/R02)
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)