Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ABU DZAR AL-GHIFARY, TOKOH REVOLUSIONER DI MASA RASULULLAH

Rendi Setiawan - Ahad, 10 Mei 2015 - 21:31 WIB

Ahad, 10 Mei 2015 - 21:31 WIB

1938 Views

(Foto: Smartmoeslem)
(Foto: Smartmoeslem)

(Foto: Smartmoeslem)

Oleh: Rendy Setiawan, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Abu Dzar Al Ghifari, nama aslinya adalah Jundub bin Janadah berasal dari Bani Ghifar yang tinggal jauh dari kota Makkah,  tetapi ia merupakan kelompok sahabat yang pertama memeluk Islam (As Sabiqunal Awwalun). Ia termasuk orang yang menentang pemujaan berhala pada jaman jahiliah, karena itu ia langsung tertarik ketika mendengar kabar tentang seorang nabi yang mencela berhala dan para pemujanya.

Bani Ghifar adalah qabilah Arab suku badui yang tinggal di pegunungan yang jauh dari peradaban orang-orang kota. Lebih-lebih lagi suku ini terkenal sebagai gerombolan perampok yang senang berperang dan menumpahkan darah serta pemberani. Bani Ghifar terkenal juga sebagai suku yang tahan menghadapi penderitaan dan kekurangan serta kelaparan. Latar belakang tabi’at kesukuan, apakah itu tabiat yang baik ataukah tabi’at yang jelek, semuanya terkumpul pada diri Abu Dzar.

Ia merupakan orang dewasa ke lima atau ke enam yang memeluk Islam. Ketika ia menceritakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa ia berasal dari Ghifar, beliau tersenyum penuh kekaguman.

Baca Juga: Pangeran Diponegoro: Pemimpin Karismatik yang Menginspirasi Perjuangan Nusantara

Bani Ghifar terkenal sebagai perampok yang suka mencegat kafilah dagang di belantara padang pasir. Mereka sangat ahli melakukan perjalanan di malam hari, gelap gulita bukan halangan bagi mereka, karena itu kabilah ini sangat ditakuti oleh kafilah dagang. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam makin takjub ketika mengetahui bahwa Abu Dzar datang sendirian hanya untuk mendengar dan mengikuti risalah Islam yang beliau bawa, yang sebenarnya baru didakwahkan secara sembunyi-sembunyi. Beliau hanya bisa berkata, “Sungguh Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya…”

Mencari Kebenaran

Pada suatu hari tersebar berita di kampung Bani Ghifar, telah muncul di Kota Makkah seorang yang mengaku sebagai utusan Allah yang mendapat berita dari langit. Serta merta berita ini sangat mengganggu penasaran Abu Dzar, sehingga dia mengutus adik kandungnya bernama Unais Al Ghifari untuk mencari berita ke Makkah.

Unais sendiri adalah seorang penyair yang sangat piawai dalam menggubah syair-syair Arab. Berangkatlah Unais ke Makkah untuk mencari tahu apa sesungguhnya yang terjadi di Makkah berkenaan dengan berita kemunculan utusan Allah itu.

Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat

Dan setelah beberapa lama, kembalilah Unais kekampungnya dan melaporkan kepada Abu Dzar tentang yang dilihat dan didengar di Makkah berkenaan dengan berita tersebut.
Ditanyakan oleh Abu Dzar kepada Unais:

“Apa yang telah kamu lakukan ?” tanyanya.

Unais menjelaskan, “Aku sungguh telah menemui seorang pria yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang jelek.”

Abu Dzar bertanya lagi, “Apa yang dikatakan orang-orang tentangnya?”

Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia

Unais menjawab, “Orang-orang mengatakan, dia adalah tukang sya’ir, tukang tenung, dan tukang sihir. Tetapi aku sesungguhnya telah biasa mendengar omongan tukang tenung, dan tidaklah omongannya serupa dengan omongan tukang tenung. Dan aku telah membandingkan omongan darinya dengan omongan para tukang sya’ir, ternyata amat berbeda omongannya dengan bait-bait sya’ir. Demi Allah, sesungguhnya dia adalah orang yang benar ucapannya, dan mereka yang mencercanya adalah dusta.”

Mendengar laporan dari Unais itu, Abu Dzar lebih penasaran lagi untuk bertemu sendiri dengan orang yang berada di Makkah yang mengaku telah mendapatkan berita dari langit itu. Segeralah dia berkemas untuk berangkat menuju Makkah, demi menenangkan suara hatinya itu.

Pergi ke Mekkah

Abu Dzar memutuskan untuk pergi menuju Kota Makkah, ia berjalan sambil terhuyung-huyung, namun sinar matanya bersinar bahagia. Memang, sulitnya perjalanan dan teriknya matahari yang menyengat tubuhnya cukup menyakitkan. Namun tujuan yang hendak dicapainya telah meringankan penderitaan dan meniupkan semangat kegembiraan.

Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia

Ia memasuki kota dengan menyamar seolah-olah hendak melakukan thawaf mengelilingi berhala-berhala di sekitar Ka’bah, atau seolah-olah musafir yang sesat dalam perjalanan, yang memerlukan istirahat dan menambah perbekalan.

Padahal seandainya orang-orang Makkah tahu bahwa kedatangannya itu untuk menjumpai Nabi Muhammad SAW dan mendengarkan keterangan beliau, pastilah mereka akan membunuhnya.

Ia terus melangkah sambil memasang telinga, dan setiap didengarnya orang mengatakan tentang Rasulullah, ia pun mendekat dan menyimak dengan hati-hati. Sehingga dari cerita yang tersebar di sana-sini, diperolehnya petunjuk yang dapat mengarahkannya ke kediaman Nabi Muhammad dan mempertemukannya dengan beliau.

Pada suatu pagi, Abu Dzar Al-Ghifari, pergi ke tempat tersebut. Didapatinya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sedang duduk seorang diri. Ia mendekat kemudian menyapa, “Selamat pagi, wahai kawan sebangsa.”

Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya

“Wa alaikum salam, wahai sahabat,” jawab Rasulullah.

“Bacakanlah kepadaku hasil gubahan Anda!”

“Ia bukan syair hingga dapat digubah, tetapi Al-Qur’an yang mulia,” kata Rasulullah, kemudian membacakan wahyu Allah Ta’ala.

Tak berselang lama, Abu Dzar berseru, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bahwa bersaksi bahwa engkau adalah hamba dan utusan-Nya.”

Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia

“Anda dari mana, kawan sebangsa?” tanya Rasulullah.

“Dari Ghifar,” jawabnya.

Bibir Rasulullah menyunggingkan senyum dan wajahnya diliputi rasa kagum dan takjub. Abu Dzar juga tersenyum, karena ia mengetahui rasa terpendam di balik kekaguman Rasulullah setelah mendengar bahwa orang yang telah mengaku Islam di hadapannya secara terus terang itu adalah seorang laki-laki dari Ghifar.

Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang tidak ada taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka jadi contoh perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam yang kelam dan gelap gulita tak jadi soal bagi mereka. Dan celakalah orang yang kesasar atau jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam.

Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah

Rasulullah pun bersabda, “Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada yang disukainya…”

Benar, Allah menunjuki siapa saja yang Dia kehendaki. Abu Dzar adalah salah seorang yang dikehendaki-Nya memperoleh petunjuk, orang yang dipilih-Nya akan mendapat kebaikan. Ia termasuk orang yang pertama-tama masuk Islam. Urutannya di kalangan Muslimin adalah yang kelima atau keenam. Jadi ia telah memeluk agama itu di masa-masa awal, hingga keislamannya termasuk dalam barisan terdepan.

Tokoh Revolusioner

Lelaki yang bernama Jundub bin Junadah ini termasuk seorang radikal dan revolusioner. Telah menjadi watak dan tabiatnya menentang kebatilan di mana pun ia berada. Dan kini kebatilan itu nampak di hadapannya, berhala-berhala yang disembah oleh para pemujanya, orang-orang yang merendahkan kepala dan akal mereka kepada para berhala.

Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi

Ketika baru saja masuk Islam, ia sudah mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah, apa yang sebaiknya saya kerjakan menurut anda?”

“Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti!” jawab Rasulullah.

“Demi Tuhan yang menguasai jiwaku,” kata Abu Dzar, “Saya takkan kembali sebelum meneriakkan Islam di depan Ka’bah.”

Ia pun menuju menuju Ka’bah dan menyerukan syahadat dengan suara lantang. Akibatnya, ia dipukuli dan disiksa oleh orang-orang musyrik yang tengah berkumpul di sana. Rasulullah kembali menyuruhnya pulang dan menemui keluarganya. Ia pun pulang ke Bani Ghifar dan mengajak sanak kerabatnya memeluk agama baru ini.

Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan

(Foto: dtjakarta)

(Foto: dtjakarta)

Wasiat Rasul Kepada Abu Dzar Al-Ghifari

Pernah suatu ketika, Rasulullah memberikan wasiat kepada Abu Dzar Al-Ghifary, hal ini disampaikan sendiri oleh beliau,

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي بِسَبْعٍ : بِحُبِّ الْمَسَاكِيْنِ وَأَنْ أَدْنُوَ مِنْهُمْ، وَأَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلُ مِنِّي وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوقِيْ، وَأَنْ أَصِلَ رَحِمِيْ وَإِنْ جَفَانِيْ، وَأَنْ أُكْثِرَ مِنْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، وَأَنْ أَتَكَلَّمَ بِمُرِّ الْحَقِّ، وَلاَ تَأْخُذْنِيْ فِي اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ، وَأَنْ لاَ أَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا.

Artinya: “Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”.

Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat

Akhir Hayat

Abu Dzar mengakhiri hidupnya di tempat sunyi bernama Rabadzah, pinggiran Madinah. Ketika menghadapi sakaratul maut, istrinya menangis di sisinya. Ia bertanya, “Apa yang kau tangiskan, padahal maut itu pasti datang?”

Istrinya menjawab, “Karena engkau akan meninggal, padahal kita tidak mempunyai kain kafan untukmu!”

“Janganlah menangis,” kata Abu Dzar, “Pada suatu hari, ketika aku berada di majelis Rasulullah bersama beberapa sahabat, aku mendengar beliau bersabda, ‘Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar, dan disaksikan oleh serombongan orang beriman.’

Semua yang ada di majelis itu sudah meninggal di kampung, di hadapan kaum Muslimin. Tak ada lagi yang masih hidup selain aku. Inilah aku sekarang, menghadapi sakaratul maut di padang pasir. Maka perhatikanlah jalan itu, siapa tahu kalau rombongan orang-orang beriman itu sudah datang. Demi Allah, aku tidak bohong, dan tidak juga dibohongi!”

Ruhnya pun kembali ke hadirat Ilahi… Dan benarlah, ada rombongan kaum Muslimin yang lewat yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas’ud. Sebelum sampai ke tujuan, Ibnu Mas’ud melihat sosok tubuh terbujur kaku, sedang di sisinya terdapat seorang wanita tua dan seorang anak kecil, kedua-duanya menangis.

Ketika pandangan Ibnu Mas’ud jatuh ke mayat tersebut, tampaklah Abu Dzar Al-Ghifari. Air matanya mengucur deras. Di hadapan jenazah itu, Ibnu Mas’ud berkata, “Benarlah ucapan Rasulullah, anda berjalan sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan kembali seorang diri!”

Demikianlah kisah hidup seorang tokoh revolusioner di masa Rasulullah, yang berawal dari seorang perampok berubah menjadi penentang keras kekufuran. Semoga kita semua bisa mengambil hikmahnya dan menjadi manusia yang selalu ingin berbuat kebajikan, apapun keadaanya. (P011/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Khadijah
MINA Health
Kolom
Kolom