“Wahai Abu Musa, kamu telah diberi seruling dari serulingnya (bagus suaranya) keluarga (Nabi) Daud.” (HR. Bukhori-Muslim).
Kata-kata pengkabaran ini diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada seorang sahabat agung yang dikenal dengan nama Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu.
Diantara para sahabat, beliau mempunyai suara bagus ketika membaca Al-Qur’an. Kelembutan dan kehalusan suaranya membuat orang yang mendengarkan terharu dan tersentuh hatinya. Suaranya mampu menembus ke relung hati.
Tentang Abu Musa, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa suatu malam, Abu Musa melakukan shalat malam. Bacaan Al-Qur’an dalam shalatnya itu terdengar oleh istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Mereka pun bangun dan mendengarkan dengan baik. Ketika pagi-pagi beliau diberitahu bahwa istri-istri Rasul mendengar bacaannya.
Baca Juga: Kisah Muchdir, Rela tak Kuliah Demi Merintis Kampung Muhajirun
Biasanya, jika Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bertemu dengannya, beliau pasti diperintah untuk membaca Al-Qur’an.
“Wahai Abu Musa, kami rindu dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an,” kata Umar.
Abu Musa dilahirkan di Zabin, Yaman, 21 tahun sebelum Hijriah. Nama lengkapnya Abu Abdullah bin Qis bin Salim bin Hadhor bin Harb. Nama panggilannya Abu Musa dan al-Asy’ari dinisbahkan kepada bani al-Asy’ar di Qohthan. Beliau adalah seorang zahid, ahli fiqih, imam besar dan ahli ibadah. Tubuhnya tidak gemuk dan tidak terlalu pendek.
Sahabat yang Berhijrah Dua Kali
Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad
Sejarah Abu Musa dimulai dari Yaman, tempat dimana beliau dilahirkan. Masa itu penduduk Qohthan banyak yang menyembah berhala. Meskipun beliau masih berusia muda, tapi beliau menolak dan menginkari penyembahan berhala yang berlaku di masyarakatnya.
Abu Musa tahu bahwa berhala yang disembah tidak memberikan manfaat dan juga bahaya. Dalam hatinya berkeinginan agar datang pertolongan dari langit untuk menyelamatkan manusia dari penyembahan berhala. Keinginannya itu terwujud ketika beliau mendengar bahwa Muhammad bin Abdullah adalah utusan Allah mengajarkan agama tauhid (mengesakan Allah dalam beribadah), mengajak kepada amar ma’ruf (urusan yang baik) dan budi pekerti yang mulia.
Maka dengan niat ikhlas Abu Musa meninggalkan tanah kelahirannya pergi menuju Makkah, tempat di mana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diutus. Sesampainya di Makkah, beliau duduk di sekeliling Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan belajar darinya. Selama mengikuti ajaran Rasulullah, beliau sangat rajin dan tekun.
Akhirnya setelah merasa cukup, Abu Musa pulang ke Yaman untuk mengajarkan agama tauhid yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sedikit banyak beliau membawa perubahan pada kaumnya.
Baca Juga: Nama-nama Perempuan Pejuang Palestina
Mengenai kisah hijrahnya, Abu Musa menceritakan, “Kami keluar dari Yaman bersama 53 orang lebih dari kaumku. Suadaraku Abu Ruhm dan Abu Burdah juga ikut. Kami berlayar dengan perahu ke Najashy, Ethopia. Ternyata di sana sudah ada Ja’far dan sahabat-sahabat lain. Kemudian kami bertemu setelah selesai perang Khaibar. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ‘Kamu berhijrah dua kali. Pertama ke Najashy dan kedua hijrah kepadaku’.”(HR.Bukhori Muslim).
Sejak itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sangat cinta kepada Abu Musa dan juga kaumnya. Sebelum kedatangan Abu Musa, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata kepada para sahabat bahwa besok akan datang kepada mereka suatu kaum yang hatinya sangat lembut.
Besok harinya, kedatangan Abu Musa dan kaumnya disambut meriah dengan saling berjabat tangan. Inilah sejarah pertama berjabat tangan dalam Islam.
Orang-orang yang datang bersama Abu Musa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam disebut “al-Asy’ariun” (orang-orang Asy’ari).
Baca Juga: Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham
Sekembalinya para sahabat dari Habasyah (Ethopia) bersama Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu setelah Perang Khaibar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan penerangan tentang ajaran Islam kepada semua yang datang.
Penguasa dan Ksatria yang Ahli Fiqih
Abu Musa adalah seorang faqih (ahli fiqih) dan sangat cerdas sehingga dapat memahami setiap persoalan yang muncul. Disebutkan bahwa beliau termasuk empat orang ahli hukum umat Islam, yaitu Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari dan Zaid bin Tsabit.
Abu Musa juga seorang penguasa yang sangat berani. Di medan perang, dengan beraninya beliau sanggup memikul beban dan tanggungjawab pasukan umat Islam. Hingga suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata, “Tuan para kesatria adalah Abu Musa.”
Baca Juga: Abah Muhsin, Pendekar yang Bersumpah Jihad Melawan Komunis
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menugaskan beliau menjadi penguasa atau wali di kota Zabid dan Adnan.
Pada waktu Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengutus Abu Musa untuk menjadi wali dan amir di Basrah pada tahun 17 Hijriah, Abu Musa mengumpulkan penduduk Basrah lalu berkhutbah, “Amirul mukminin mengutusku untuk mengajarkan kepada kalian kitab Allah dan sunnah Rasul. Dan juga untuk membersihkan jalan kesesatan kalian.”
Kota Asbahan dan Ahwaz ditaklukan pada masa Khalifah Umar bin Khaththab.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, Abu Musa ditugaskan untuk menjadi wali di Basrah, tapi kemudian beliau mengundurkan diri. Setelah itu dipindah ke Kuffah.
Baca Juga: Pangeran Diponegoro: Pemimpin Karismatik yang Menginspirasi Perjuangan Nusantara
Pada waktu terjadi fitnah dan perselisihan antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan sahabat Muawwiyah, Abu Musa mengajak penduduk Basrah untuk memberikan dukungan kepada Khalifah Ali.
Selama berjuang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Abu Musa telah meriwayatkan kurang lebih dari 355 hadits.
Diantara hadits riwayatnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah membentangkan tangannya di malam hari untuk memberi ampunabagi orang yang berbuat jahat di siang hari. Dan Allah bentangkan tangannya di siang hari untuk memberi ampunan bagi orang yang berbuat jahat di malam hari hingga matahari terbenam.”(HR.Muslim)
Suatu hari Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Ada dua hal yang dapat memutus dariku kenikmatan dunia, mengingat mati dan mengingat dosa dihadapan Allah.”
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Sahabat yang suaranya adalah seruling keluarga Nabi Daud ‘Alahissalam itu, wafat di Kuffah pada tahun 44 Hijriah. (P09/R2).
Mi’raj News Agency (MINA).
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia