Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ABU SAIB, NIKMATNYA DERITA DALAM PERLINDUNGAN ALLAH

Admin - Sabtu, 27 Juli 2013 - 14:54 WIB

Sabtu, 27 Juli 2013 - 14:54 WIB

677 Views ㅤ

Ketika mendengar orang-orang Quraisy memeluk Islam, kaum Muhajirin yang hijrah ke Habasyah, segera mengemasi barang-barang mereka dan berangkat ke Makkah, dibawa oleh kerinduan dan didorong oleh kecintaan terhadap kampung halaman.

Namun, ketika mereka tiba di dekat kota Makkah, ternyata berita masuk Islamnya orang-orang Quraisy hanya dusta belaka.  Sungguh mereka merasa terpukul karena terlalu ceroboh dan tergesa-gesa. Namun, apakah mereka akan kembali ke Habasyah sedangkan Makkah sudah ada di depan mata mereka?

Sementara itu, orang-orang musyrik juga sudah mendengar datangnya buronan yang telah lama mereka kejar-kejar dan pasang perangkap untuk menangkapnya. Dan sekarang mereka datang sendiri, nasib telah membawa mereka kembali.

Ketika itu, perlindungan merupakan tradisi Arab yang memiliki kekudusan dan dihormati. Sekiranya ada seorang lemah yang beruntung masuk dalam perlindungan salah seorang pemuka Quraisy, ia akan berada dalam suatu pertahanan yang kokoh hingga darahnya tidak boleh ditumpahkan dan keamanan dirinya terjaga.

Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi

Orang-orang yang mencari perlindungan itu, tidak semuanya dapat mendapatkannya. Hanya sebagian kecil yang berhasil, termasuk salah satunya Utsman bin Mazh’un atau Abu Saib. Dia berada dalam perlindungan Walid bin Mughirah. Ia masuk Makkah dalam kondisi aman dan tenteram.

Namun, Utsman bin Mazh’un tidak sampai hati melihat saudaranya seiman lainnya dalam keadaan menderita mendapat perlakuan buruk dan siksaan dari orang-orang Quraisy. Maka ia keluar dari rumah dengan tekad bulat yang pasti untuk menanggalkan perlindungan yang dipikul Walid.

Menurutnya, perlindungan Walid tersebut telah menghalanginya untuk menikmati derita di jalan Allah dan kehormatan senasib sepenanggungan bersama saudaranya kaum Muslimin.

Utsman segera menemui Walid bin mughirah seraya berkata, “Wahai Abu Abdi Syams (Walid), cukuplah sudah perlindungan Anda.”

Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan

“Kenapa, wahai keponakanku?” tanya Walid. “Mungkin ada salah seorang anak buahku yang mengganggumu?”

“Tidak. Saya hanya ingin berlindung kepada Allah, bukan selain-Nya. Karenanya, pergilah ke masjid dan umumkanlah maksudku ini secara terbuka seperti Anda dulu mengumumkan perlindungan terhadap diriku.”

Mereka berdua lalu datang ke masjid, Walid berkata, “Utsman ini datang untuk mengembalikan kepadaku jaminan perlindungan kepada dirinya!”

Setelah itu Utsman pun berlalu. Sementara itu, di sebuah gedung pertemuan kaum Quraisy, Lubaid bin Rabi’ah sedang menggubah sebuah syair dan melagukannya di hadapan mereka, hingga Utsman jadi tertarik karenanya dan ikut duduk bersama mereka.

Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat

“Ingatlah bahwa apa pun yang ada di kolong langit ini selain Allah adalah hampa!” Lubaid bersyair.

“Benar kata Anda!” kata Utsman.

“Dan semua kesenangan pasti lenyap!” kata Lubaid lagi.

“Itu dusta!” seru Utsman. “Karena kesenangan surga tidak akan lenyap!”

Baca Juga: Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi

Mendengar bantahan Utsman, Lubaid jadi marah dan berseru kepada kaum Quraisy yang hadir, “Hai orang-orang Quraisy, demi Allah, tak pernah aku sebagai teman duduk kalian disakiti orang selama ini. Bagaimana sikap kalian jika ini terjadi?”

Salah seorang di antara mereka berkata, “Si tolol ini telah meninggalkan agama kita. Jadi tidak usah digubris ucapannya.”

Utsman membalas ucapan itu sehingga terjadilah pertengkaran di antara mereka. Orang itu lalu bangkit dan meninju Utsman tepat di matanya. Sementara Walid bin Mughirah yang berada di dekat situ, menyaksikan apa yang terjadi.

Walid berkata kepada keponakannya itu, “Wahai keponakanku, jika matamu kebal terhadap bahaya, maka sungguh, benteng perlindunganmu sangat tangguh!”

Baca Juga: Profil Hassan Nasrallah, Pemimpin Hezbollah yang Gugur Dibunuh Israel

“Tidak, bahkan mataku yang sehat ini membutuhkan pukulan yang telah dialami saudaranya di jalan Allah. Waha Abu Abdi Syams, saya berada dalam perlindungan Allah yang lebih kuat dan lebih mampu darimu!”

“Ayolah, Utsman! Jika kamu ingin, kembalilah ke dalam perlindunganku!”

“Terima kasih!” ucap Utsman menolak tawaran itu.

Abu Saib pun meninggalkan tempat itu dengan mata yang pedih dan kesakitan, tetapi jiwanya yang besar memancarkan keteguhan hati kesejahteraan serta penuh harapan.

Baca Juga: Jenderal Ahmad Yani, Ikon Perlawanan Terhadap Komunisme

Demikian, Utsman memberikan contoh yang utama yang memang layak dan sewajarnya. Setelah mengembalikan perlindungan Walid bin Mughirah, Utsman menemui siksaan dari orang-orang Quraisy. Tapi ia tidak merana, sebaliknya bahagia, sungguh-sungguh bahagia.

Siksaan itu tak ubahnya bagai api yang menyebabkan keimanannya menjadi matang dan bertambah murni. Demikianlah, ia maju ke depan bersama saudara-saudaranya seiman. Tidak gentar oleh ancaman dan tidak mundur oleh bahaya.

Ketika Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk hijrah ke Madinah, ia berangkat bersama rombongan sahabat-sahabat utama.

Di Madinah, tampaklah kepribadian Utsman yang sesungguhnya, ternyata ia ahli ibadah yang zuhud. Ia adalah seorang rahib di malam hari dan orang berkuda di siang hari. Bahkan, ia seorang rahib di waktu malam dan waktu siang, sekaligus penunggang kuda di waktu siang dan di waktu malam.

Baca Juga: Hidup Tenang Ala Darusman, Berserah Diri dan Yakin pada Takdir Allah

Pada suatu hari ia masuk ke dalam masjid dengan pakaian usang yang telah sobek-sobek yang ditambal dengan kulit unta. Sementara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam duduk bersama para sahabat. Melihat hal itu, air mata Beliau mengalir.

Utsman bin Mazh’un sangat disayang oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ketika ruhnya hendak dipanggil oleh Allah Subhana Wa Ta’ala, Rasulullah berada di sisinya. Rasulullah membungkuk dan mencium kening Ibnu Mazh’un serta membasahi kedua pipinya dengan air yang berderai dari kedua mata Beliau, hingga di saat kematiannya, wajah Utsman tampak bersinar gilang-gemilang.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda melepas sahabatnya tercinta, “Semoga Allah memberimu rahmat, wahai Abu Saib. Engkau pergi meninggalkan dunia. Tak satu keuntungan pun yang engkau peroleh darinya dan tak satu pun kerugian yang kau derita darinya.”

Sepeninggalan Utsman, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu mengingatnya dan memujinya. Bahkan saat melepas kematian putrinya, Ruqayyah, Beliau bersabda, “Pergilah, susullah pendahulu kita yang pilihan, Utsman bin Mazh’un.”

Baca Juga: Hiruk Pikuk Istana di Mata Butje, Kisah dari 1 Oktober 1965

Utsman bin Mazhum adalah orang ke-14 yang pertama memeluk Islam. Dia Muhajirin pertama yang wafat di Madinah dan orang Islam pertama yang dimakamkan di pemakaman Baqi’. (P09/R2).

 

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Inspirasi Sukses, Kisah Dul dari Rimbo Bujang Merintis Bisnis Cincau

 

 

Baca Juga: Radin Inten II Sang Elang dari Lampung, Pejuang Tak Kenal Takut

Rekomendasi untuk Anda