ACEH NEGERI IMPIAN BARU MUSLIM ROHINGYA

Pengungsi Muslim Rohingya dan Bangladesh antri untuk mendapatkan jatah makan di tempat penampungan Kec. Lapang, Aceh Utara. (Foto: AP)
Pengungsi dan antri untuk mendapatkan jatah makan di tempat penampungan Kec. Lapang, Utara. (Foto: AP)

Oleh: Rudi Hendrik, Jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Umat Islam mana yang tidak kenal Aceh, pemilik sejarah kerajaan Islam pertama di Indonesia?

Negara dunia mana yang tidak tahu Aceh, daerah yang menjadi pusat gempa dan tsunami dahsyat 26 Desember 2004 yang menewaskan sekitar 230.000 jiwa di 14 negara terdekat?

Di masa penjajahan di Indonesia, Aceh terkenal dengan para pejuangnya yang berakidah Islam kuat dan pantang menyerah. Meski Kesultanan Aceh menyerah kepada penjajah Belanda pada 1904, namun tetap bergerilya hingga akhirnya penjajah hengkang dari Bumi Serambi Mekkah itu untuk selamanya.

“Namun dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita ini, kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain,” tulis Letnan Kolonel infantri purnawirawan G.B. Hooijer yang pernah bertugas di Aceh dalam ikhtisar umum bukunya De Krijgsgeschiedenis van Nederlansch Indië van 1811 tot 1894, jilid III (terakhir, setebal 480 halaman), tahun 1895.

Lembut dan penuh kasih sayang adalah sifat masyarakat Aceh sesungguhnya. Kalau pun terdapat stigma yang beredar di daerah luar, orang Aceh punya sifat dasar keras kepala dan suka memberontak, ini bukanlah kemutlakan sifat ureueng (orang) Aceh secara keseluruhan.

Disebut bukan sifat mutlak orang Aceh karena biasanya sifat ini timbul kemudian hari karena suatu sebab, semisal dikhianati, dicerca, dimaki, ditipu, dan sebagainya.

Dua karakter yang paling menonjol dari masyarakat Aceh yaitu sikap militansi dan loyal. Hal ini bisa dibaca melalui syair do da idi. Senandung menidurkan bayi yang mengajarkan dan mengajak sang bayi agar setelah besar nanti tidak takut ke medan perang untuk berjuang membela bangsa.

Sebuah hadih maja (peribahasa masyarakat Aceh) mengungkapkan, “Ureueng Aceh nyoe hate hana teupeh, boh kreh jeuet ta raba. Meunyoe hate ka teupeh, bu leubeh han dipeutaba”. (Orang Aceh kalau hatinya tidak tersingung, kehormatannya pun bisa disentuh. Kalau hatinya sempat tersingung nasi berlebihan pun tidak akan ditawarkan).

Menurut Dr. Mohm. Harun M.Pd, lima watak orang Aceh yang menonjol di antaranya: militan, reaktif, konsisten, optimis, dan loyal.

Ketika Tiba di Aceh

Gubernur Aceh Zaini Abdullah memberikan tiga truk bantuan untuk pengungsi Muslim Rohingya yang ditampung di Lhoksukon, Aceh Utara, Kamis, 14 Mei 2015. (Foto: dok. Portal Satu)
Gubernur Aceh Zaini Abdullah memberikan tiga truk bantuan untuk pengungsi Muslim Rohingya yang ditampung di Lhoksukon, Aceh Utara, Kamis, 14 Mei 2015. (Foto: dok. Portal Satu)

Usai pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tsunami Aceh 2004, Tanah Rencong ini kembali menjadi sorotan dunia internasional sejak Ahad, 10 Mei 2015.

Lebih 500 imigran asal negara Myanmar dan Bangladesh terdampar di peraian Desa Meunasah Sagoe, Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara. Mereka diselamatkan oleh para nelayan Aceh.

Kepada wartawan, salah seorang warga Myanmar yang bisa berbahasa Melayu, Malik (45) mengatakan, tujuan pelarian sebenarnya menuju ke Malaysia, namun ditipu oleh tekong perahu dan akhirnya terdampar di perairan Aceh Utara, pada Ahad Subuh (10/5).

Pada Selasa, 12 Mei, sebuah perahu yang memuat 400-an migran Rohingya diusir dari perairan Indonesia, karena mereka bertemu dengan Angkatan Laut Indonesia yang tidak mau menerima mereka. Meski TNI mengatakan telah membantu dengan memberi bahan bakar, makanan dan air, tapi tindakan itu dianggap aib bagi kemanusiaan dunia internasional.

Pada Jumat, 10 Mei, sebanyak 47 migran Rohingya di Laut Tamiang dan 677 lainnya di perairan Langsa, Aceh Utara, diselamatkan oleh para nelayan. Perahu mereka ditarik oleh beberapa perahu nelayan Aceh.

Rombongan imigran yang mendarat dengan beberapa perahu, ditemukan dalam kondisi lemah akibat kekurangan cairan dan makanan. Sehingga harus diperiksa kesehatan oleh petugas medis setempat. Dalam rombongan terdapat banyak wanita dan anak-anak.

Dari beberapa cerita migran ini, mereka telah terapung di laut selama berbulan-bulan, rombongan lain mengatakan kurang dari sebulan. Mereka kehabisan bahan bakar di tengah laut, sehingga terombang-ambing tidak jelas arah. Mereka kehabisan makanan sehingga kelaparan. Mereka kehabisan air, sehingga terpaksa minum air laut, bahkan ada yang minum air seni sendiri.

Puluhan dari mereka telah meninggal, baik karena sakit, kelaparan, dibunuh oleh anggota penyelundup manusia yang bersenjata, hingga mereka yang ditembak oleh penjaga pantai Thailand ketika terdampar di pantai Thailand.

Mereka pun kerap dianiaya oleh awak kapal ketika mereka minta makanan atau berpendapat, bahkan ada yang disembelih lehernya. Hingga akhirnya, rata-rata nahkoda dan awak kapal akan pergi dengan perahau lain meninggalkan mereka terapung di lautan.

Jiwa peduli dan penuh kasih sayang yang menjadi karakter Muslim Aceh membuat pemerintah lokal dan warga spontanitas memberikan berbagai macam bantuan untuk migran Rohingya dan Bangladesh yang mereka nilai adalah saudara seiman.

Gubernur Aceh Zaini Abdullah yang di masa lalunya pernah menjadi orang pencari suaka ke negara lain, spontanitas pula segera memberikan tiga truk bantuan bahan pokok untuk para pengungsi.

Sikap ramah dan kepedulian rakyat Aceh terhadap mereka, membuat para migran kembali bisa tersenyum dan memiliki seberkas harapan baru, meski mereka belum sampai ke Malaysia, negara tujuan awal yang memberikan “mimpi ekonomi Malaysia”. Padahal kini, Malaysia sudah mengeluarkan kebijakan tidak mau menerima migran lagi setelah sudah menampung lebih 45.000 migran Rohingya.

Ketika pemerintah Myanmar sendiri tidak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negaranya, dan pemerintah Bangladesh, Thailand, Malaysia serta Indonesia sendiri menolak menerima, pemerintah lokal dan masyarakat Aceh tampil sebagai saudara juru selamat. Khusus bagi negeri Muslim, bahkan Muslim terbesar di dunia, menolak kedatangan saudara mereka yang membutuhkan pertolongan dan sudah hampir mati, adalah suatu ironi dan sangat disayangkan.

Ini bukan lagi sekedar masalah “saudara seiman”, tapi sudah masuk ke urusan “kemanusiaan” yang tidak memiliki batas bangsa, etnis, agama dan warna kulit.

Kebaikan masyarakat Aceh dalam membantu pengungsi Rohingya bahkan sampai diberitakan oleh media internasional.

Lebih Baik Mati di Aceh

Razu (tengah), migran dari Bangladesh mengungkapkan ingin tinggal terus di Aceh dan menikah dengan gadis Aceh, karena warga Aceh ramah dan baik. (Foto: Portal Satu)
Razu (tengah), migran dari Bangladesh mengungkapkan ingin tinggal terus di Aceh dan menikah dengan gadis Aceh, karena warga Aceh ramah dan baik. (Foto: Portal Satu)

“Lebih baik kami mati di pangkuan saudara kami Muslim Aceh (di sini), daripada harus menerima siksaan setiap hari dari militer dan aparat pemerintah Burma (Myanmar).”

Untaian kalimat dalam bahasa Inggris terbata-bata itu diucapkan oleh seorang pencari suaka ke negara ketiga asal Myanmar Barat, ketika berbincang-bincang dengan anggota DPR Aceh, Bardan Sahidi di lokasi penampungan migran Myanmar dan Banglades di Kota Langsa, dan Aceh Tamiang, Aceh Utara, Jumat 15 Mei.

Menurut Bardan, apa yang disuarakan laki-laki asal Burma tersebut bisa dipastikan mewakili suara dan perasaan para imigran lainnya yang harus meninggalkan negara asal mereka.

Alasan Muhammad Razu, pemuda asal Bangladesh yang fasih berbahasa Melayu, mungkin agak berbeda. Jika boleh memilih, pria berkulit hitam legam dan berhidung mancung itu ingin tetap tinggal di Aceh. Ia ingin menikah dengan gadis Aceh dan enggan kembali ke negara asalnya Bangladesh.

“Saya tak mau balik ke Bangladesh, saya mau di Aceh saja. Di Malaysia juga susah. Saat ini abang dan bapak saya berada di Malaysia, tapi saya suka di Aceh. Di Aceh enak bisa jalan-jalan. Saya ingin kawin (menikah-red) dengan orang Aceh saja,” ujar Razu, 27 tahun.

Hal itu dikatakan Razu kepada portalsatu.com, Sabtu 16 Mei 2015 saat kunjungan Duta Besar Bangladesh untuk Indonesia, MD Nazmul Quainine di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kuala Cangkoi, Lapang, Aceh Utara.

Menurut Razu, orang Aceh baik dan ramah, serta menerima baik mereka (imigran) karena merupakan saudara seiman.

Bukan kali ini saja pengungsi Rohingya terdampar di Aceh dan ingin tetap tinggal di Aceh. Pengungsi Rohingya yang pernah tiba di Aceh pada Februari 2013, berharap bisa menjadi warga Aceh.

Syamsul Alam, salah satu pengungsi Rohingya yang bisa berbahasa Melayu mengatakan, banyak yang menyarankan, bila ingin lari dari kejaran rezim Pemerintah Myanmar, maka lari ke Aceh saja. Dikatakan, informasi tentang Aceh dikenal di kalangan warga Rohingya sebagai daerah yang mayoritas warganya Muslim dan dikenal suka membantu dan menolong.

“Kami banyak bertemu orang dan mengatakan bahwa pergilah ke Aceh. Kami tidak ada keinginan pergi ke negara lain, cukup di sini saja tempat tujuan kami hidup,” ujarnya dengan logat Melayu yang terbatas, Rabu (27/2), di Lhokseumawe.

Relawan Bulan Sabit Merah, Hilmi Bakar, mengatakan, Pengungsi Rohingya yang terdampar di perairan Aceh menolak dipulangkan ke Myanmar.

“Saya tanya-tanya dengan sedikit Bahasa Arab, tadi mereka menangis tidak mau dipulangkan ke negara asalnya, karena bisa dipastikan mereka juga akan mati di sana,” ungkapnya, Ahad, 17 Mei 2015.

Saat ini, kondisi pengungsi mulai membaik dan mulai bersosialisasi dengan masyarakat setempat. Mereka senang karena bisa selamat setelah terombang-ambing di laut selama empat bulan dan diterima dengan baik oleh masyarakat Aceh.

Meski di mata para pengungsi dan migran “sinar terang” itu terlihat di tanah Aceh, namun beda ramah Aceh dengan kebijakan pemerintah Indonesia.

Dipastikan warga Bangladesh yang berstatus “imigran” (bermigrasi karena alasan ekonomi) akan dipulangkan ke negara asalnya. Berbeda dengan Rohingya yang bermigrasi karena menyelamatkan nyawanya dari kekejaman pemerintah, militer dan umat Budha Myanmar atau Burma. Muslim Rohingya berstatus “pengungsi”.

Meski pemerintah pusat memiliki kebijakan sendiri, tapi rasa “satu tubuh” Muslim Aceh dan Muslim Rohingya akan berbicara lain. Gerakan luas untuk membantu pengungsi Rohingya telah digerakkan oleh pejabat dan rakyat Aceh. Semoga derita Muslim Rohingya cukup sampai di tanah Aceh dan mereka bisa merasakan nikmatnya hidup dalam “pelukan” Muslim Indonesia. (P001/R02)

Sumber: tulisan Dr. Mohm. Harun M.Pd, Tribun News, Portal Satu.

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0