Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ada Apa Dengan Radikalisme? (Oleh: Shamsi Ali, New York)

Widi Kusnadi - Rabu, 6 November 2019 - 23:11 WIB

Rabu, 6 November 2019 - 23:11 WIB

10 Views

Imam Shamsi Ali poses for a picture in New York, Thursday, Dec. 29, 2011. While Shamsi Ali plans to attend Mayor Michael Bloomberg's annual year-end interfaith breakfast, some clerics and community leaders said they will boycott the event over a surveillance program on Muslim neighborhoods, whose existence was revealed recently in a series of Associated Press articles. (AP Photo/Seth Wenig)

Oleh: Imam Shamsi Ali/ Presiden Nusantara Foundation

Ada satu hal yang seolah menjadi nyanyian bersama kabinet Presiden Jokowi-Ma’ruf kali ini. Yaitu ingin memberantas radikalisme yang menurut mereka sedang mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan menjadi ancaman besar bagi eksistensi NKRI.

Perlu dicatat bahwa secara umum radikalisme itu memang masalah dan bahaya. Radikalisme dalam banyak hal membawa keresahan dalam masyarakat. Tidak jarang membawa kepada perpecahan, permusuhan dan konflik bahkan di antara sesama umat beragama.

Yang menjadi masalah kemudian adalah ketika isu radikalisme ini dilemparkan ke publik, bahkan seolah sengaja dan sistimatis dibangun sebuah persepsi bahwa radikalisme itu nyata dan berbahaya.  Tapi isu yang dilemparkan itu tidak memiliki defenisi yang jelas. Akibatnya hanya menumbuhkan keresahan dan kecurigaan di antara masyarakat.

Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir

Yang lebih runyam lagi isu radikalisme itu kemudian mengarah kepada satu bentuk. Yaitu bentuk radikalisme agama. Menyedihkannya kemudian adalah ketika isu radikalisme agama itu mengarah kepada agama tertentu.

Penyebutan ciri-ciri fisik yang biasa diidentiikan sebagian sebagai ciri keagamaan, seperti celana cingkrang, janggut, jidat hitam, cadar, dan seterusnya semakin menyimpulkan bahwa yang ditarget dalam hal ini adalah kelompok agama tertentu.

Yang membingungkan memang adalah kenyataan bahwa yang paling getol melemparkan isu radikalisme ini adalah mereka yang secara pribadi memilki latar belakang agama yang (nampak) cukup baik. Merekalah yang seolah kebakaran janggut ingin memberantas apa yang mereka sebut sebagai radikalisme.

Saya ingin sekali lagi menggaris bawahi bahwa radikalisme memang sebuah fenomena yang perlu diwaspadai. Bahkan sejatinya perlu diperangi bersama. Radikalisme tendensinya melihat dirinya paling benar dan orang lain kurang dan salah. Bahkan membawa kepada permusuhan dan perpecahan.

Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia

Tendensi radikalisme agama misalnya seringkali menjadi “obstacle” (sandungan) bagi jalan dakwah kami di Amerika. Mereka yang radikal ini hobinya mencari-cari “ketidak sempurnaan” sesama. Saya misalnya menjadi target karena komitmen saya membangun dialog-dialog antar pemeluk semua agama-agama.

Masalahnya kemudian adalah ketika isu radikalisme yang dilemparkan itu adalah isu kabur. Isu yang tidak jelas defenisi dan batas-batasannya. Seolah hanya sebuah pelemparan batu sembunyi tangan.

Radikalisme itu sebuah pandangan (ideologi) dan karakter (prilaku) hidup yang cenderung melewati batas-batas (huduud) normal dan hukum. Keberadaannya selalu ingin lebih, dan yang lain kurang.

Pandangan dan prilaku seperti ini dapat menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. Maka radikalisme bisa dalam bentuk cara pandang ekonomi. Ketika sistim ekonomi melampaui batas-batas kebutuhan pribadi atau publik, dan cenderung saling mengorbankan, Itulah radikalisme dalam perekonomian. Maka baik kapitalisme maupun sosialisme adalah dua bentuk radikalisme dalam perekonomian.

Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh

Radikalisme juga bisa terjadi dalam bentuk cara pandang dan prilaku politik. Ketika sebuah cara pandang dan prilaku politik menjadi tuhan dan suci, dengan melihat pandangan dan pilihan politik lain salah bahkan ancaman, itu adalah radikalisme dalam perpolitikan. Dukungan buta atau kebencian tiada batas dalam dukungan politik merupakan bentuk radikalisme politik itu sendiri.

Demikian pula aspek lain dari kehidupan manusia. Radikalisme beragama terjadi ketika seseorang berada pada pandangan keagamaan yang absolut. Saya mengatakan pandangan. Bukan pada agamanya. Tapi pandangannya.

Agama itu absolut. Tapi pandangan atau tepatnya tafsiran keagamaan bersifat manusiawi. Dan karenanya tidak absolut. Oleh karena ituketika seseorang merasa paling benar dan yang lain kurang maka pandangannya telah terasuki radikalisme. Pandangan yang merendahkan bahkan cenderung menihilkan orang lain. Akibatnya permusuhan dan perpecahan rentang terjadi dalam masyarakat.

Permasalahan terbesar dalam melihat isu-isu negatif kemasyarakatan ini adalah ketika ada kepentingan politik yang terlibat.

Baca Juga: [BREAKING NEWS] Pria Amerika Bakar Diri Protes Genosida di Gaza

Isu radikal vs moderat misalnya di Amerika Serikat kerap didefenisikan oleh bagaimana arah kepentingan global Amerika. Sebuah negara dengan mudah dicap radikal karena tidak sejalan dengan kepentingan Amerika. Sebaliknya sebuah negara dengan segala bentuk radikalismenta tetap teman karena kepentingan juga.

Dalam skala nasional di Indonesia juga khawatirnya demikian. Pelemparan isu radikalisme ini jangan sampai didasari oleh ikatan atau kepentingan politik. Seorang atau kelompok dituduh radikal hanya karena beda pilihan politik.

Jika ini terjadi maka di sìtulah kegagalan awal dari pemerintahan yang ada. Pertimbangan bukan lagi pertimbangan nilai dan kepentingan bangsa/negara. Tapi lebih kepada kepentingan sesaat dan golongan.

Dan dengan sendirinya berarti telah terjadi kegagalan dalam menyikapi dan menyelesaikan isu-isu kebangsaan yang sesungguhnya. Masalah ekonomi, lapangan kerja, pendidikan, dan lain-lain seharusnya mendapat perhatian utama. Isu radikalisme seolah menjadi taqiah (persembunyian) dari kegagalan menangani isu-isu kebangsaan yang mendesak dan mendasar itu.

Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh

Dan yang lebih berbahaya tentunya adalah pelemparan isu radikalisme yang mengarah kepada kelompok agama tertentu justeru akan semakin mempertajam “friksi sosial” atau perpecahan masyarakat. Bahkan tendensi intoleransi akan semakin menjadi-jadi. Karena sebagian merasa dirangkul. Sebagian lain merasa ditinggalkan.

Dan jika itu terjadi maka Itulah Sesungguhnya kagagalan murakkab (berlapis)!dalam mengelolah kehidupan berbangsa. Semoga tidak!

New York, 5 November 2019

(AK/R01/P1)

Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

Rekomendasi untuk Anda

Dunia Islam
Kolom
Internasional
Ramadhan
Ramadhan 1445 H