Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADAB BICARA

Bahron Ansori - Sabtu, 23 Februari 2013 - 00:40 WIB

Sabtu, 23 Februari 2013 - 00:40 WIB

2063 Views

Oleh Bahron Ansori*

“Siapa yang memberi jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada antara dua janggutnya (lisan) dan apa yang ada antara dua kakinya (kemaluannya) maka aku menjamin surga untuknya.” (HR. Al-Bukhari).

Seorang muslim wajib menjaga lisannya, tidak boleh berbicara batil, dusta, menggunjing, mengadu domba dan melontarkan ucapan-ucapan kotor, ringkasnya, dari apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Sebab kata-kata yang merupakan produk lisan memiliki dampak yang luar biasa. 

Perang, pertikaian antar negara atau perseorangan sering terjadi karena perkataan dan provokasi kata. Sebaliknya, ilmu pengetahuan lahir, tumbuh dan berkembang melalui kata-kata. Perdamaian bahkan persaudaraan bisa terjalin melalui kata-kata.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Ironisnya, banyak orang yang tidak menyadari dampak luar biasa dari kata-kata. Padahal Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang membawa keridhaan Allah, dan dia tidak menyadarinya, tetapi Allah mengangkat dengannya beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang membawa kemurkaan Allah, dan dia tidak mempedulikannya, tetapi ia menjerumuskan-nya ke Neraka Jahannam” (HR. Bukhari). 

Hadis Hasan riwayat Imam Ahmad menyebutkan, bahwa semua anggota badan tunduk kepada lisan. Jika lisannya lurus maka anggota badan semuanya lurus, demikian pun sebaliknya. Ath-Thayyibi berkata, lisan adalah penerjemah hati dan penggantinya secara lahiriyah. Karena itu, hadits Imam Ahmad di atas tidak bertentangan dengan sabda Nabi yang lain, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal darah, jika ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan bila rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). 

Berkata Baik Atau Diam

Adab Nabawi dalam berbicara adalah berhati-hati dan memikirkan terlebih dahulu sebelum berkata-kata. Setelah direnungkan bahwa kata-kata itu baik, maka hendaknya ia mengatakannya. Sebaliknya, bila kata-kata yang ingin diucapkannya jelek, maka hendaknya ia menahan diri dan lebih baik diam. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Al-Bukhari). 

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Adab Nabawi di atas tidak lepas dari prinsip kehidupan seorang muslim yang harus produktif menangguk pahala dan kebaikan sepanjang hidupnya. Menjadikan semua gerak diamnya sebagai ibadah dan sedekah. Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “… Dan kalimat yang baik adalah sedekah. Dan setiap langkah yang ia langkahkan untuk shalat (berjamaah di masjid) adalah sedekah, dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah.” (HR. Al-Bukhari). 

Orang yang senang berbicara lama-lama akan sulit mengendalikan diri dari kesalahan. Kata- kata yang meluncur bak air mengalir akan menghanyutkan apa saja yang diterjangnya, dengan tak terasa akan meluncurkan kata-kata yang baik dan yang buruk. Karena itu Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang kita banyak bicara.

Beliau Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “…Dan (Allah) membenci kalian untuk qiila wa qaala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Imam Nawawi rahimahullah berkata, qiila wa qaala adalah asyik membicarakan berbagai berita tentang seluk beluk seseorang (ngerumpi). Bahkan dalam hadits hasan gharib riwayat Tirmidzi disebutkan, orang yang banyak bicara diancam oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sebagai orang yang paling beliau murkai dan paling jauh tempatnya dari Rasulullah pada hari Kiamat. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu berkata, ‘Tidak ada baiknya orang yang banyak bicara.’ Umar bin Khathab Radhiallaahu anhu pun berkata, ‘Barangsiapa yang banyak bicaranya, akan banyak kesalahannya.’ 

Dunia kata di tengah umat manusia adalah dunia yang campur aduk. Seperti manusianya sendiri yang beragam dan campur aduk; shalih, fasik, munafik, musyrik dan kafir. Karena itu, kata-kata umat manusia tentu ada yang benar, yang dusta; ada yang baik dan ada yang buruk. Karena itu, ada kaidah dalam Islam soal kata-kata, ‘Siapa yang membicarakan setiap apa yang didengarnya, berarti ia adalah pembicara yang dusta’. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam: “Cukuplah seseorang itu berdosa, jika ia membicarakan setiap apa yang didengarnya.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Cukuplah seseorang itu telah berdusta, jika ia membicarakan setiap apa yang didengarnya.” (HR. Muslim). 

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Jangan Mengutuk dan Berbicara Kotor 

Mengutuk dan sumpah serapah dalam kehidupan modern yang serba materialistis sekarang ini seperti menjadi hal yang dianggap biasa. Seorang yang sempurna akhlaknya adalah orang yang paling jauh dari kata-kata kotor, kutukan, sumpah serapah dan kata-kata keji lainnya. Ibnu Mas’ud Radhiallaahu anhu meriwayatkan, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Seorang mukmin itu bukanlah seorang yang tha’an, pelaknat, (juga bukan) yang berkata keji dan kotor.” (HR. Bukhari). Tha’an adalah orang yang suka-merendahkan kehormatan manusia, dengan mencaci, menggunjing dan sebagainya.

Melaknat atau mengutuk adalah do’a agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mendo’akan agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah bukanlah akhlak orang-orang beriman. Sebab Allah menyifati mereka dengan rahmat (kasih sayang) di antara mereka dan saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Mereka dijadikan Allah sebagai orang-orang yang seperti bangunan, satu sama lain saling menguatkan, juga diumpamakan sebagaimana satu tubuh.” 

Seorang mukmin adalah orang yang mencintai saudara mukminnya yang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Maka, jika ada orang yang mendo’akan saudara muslimnya dengan laknat (dijauhkan dari rahmat Allah), itu berarti pemutusan hubungan secara total. Padahal laknat adalah puncak doa seorang mukmin terhadap orang kafir. Karena itu disebutkan dalam hadits shahih: “Melaknat seorang mukmin adalah sama dengan membunuhnya.” (HR. Bukhari). Sebab seorang pembunuh memutuskan orang yang dibunuhnya dari berbagai manfaat duniawi. Sedangkan orang yang melaknat memutuskan orang yang dilaknatnya dari rahmat Allah dan kenikmatan akhirat. 

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Jangan Senang Berdebat Meski Benar 

Saat ini, di alam yang katanya demokrasi, perdebatan menjadi hal yang lumrah bahkan malah digalakkan. Ada debat calon presiden, debat calon gubernur dan seterusnya. Pada kasus-kasus tertentu, menjelaskan argumen-tasi untuk menerangkan kebenaran yang berdasarkan ilmu dan keyakinan memang diperlukan dan berguna.

Tetapi, berdebat yang didasari ketidaktahuan, ramalan, masalah ghaib atau dalam hal yang tidak berguna seperti tentang jumlah Ashhabul Kahfi atau yang sejenisnya maka hal itu hanya membuang-buang waktu dan berpengaruh pada retaknya persaudaraan. (Lihat Tafsir Sa’di, 5/24, surat Kahfi: 22) 

Maka, jangan sampai seorang mukmin hobi berdebat. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Aku adalah penjamin di rumah yang ada di sekeliling Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, meski dia benar. Dan di tengah-tengah Surga bagi orang yang meninggalkan dusta, meskipun dia bergurau. Juga di Surga yang tertinggi bagi orang yang baik akhlaknya.” (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani). 

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Dilarang Berdusta Untuk Membuat Orang Tertawa 

Dunia hiburan menjadi dunia yang digandrungi oleh sebagian besar umat manusia. Salah satu jenis hiburan yang digandrungi orang dan katanya untuk menghilangkan stress dan beban hidup yang berat adalah lawak.

Dengan suguhan lawak ini orang menjadi tertawa terbahak-bahak, padahal di dalamnya campur baur antara kebenaran dan kedustaan, seperti memaksa diri dengan mengarang cerita bohong agar orang tertawa. Mereka inilah yang mendapat ancaman melalui lisan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dengan sabda beliau, “Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang-orang tertawa. Celakalah dia, dan celakalah dia!” (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani). 

Merendahkan Suara Ketika Berbicara 

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Meninggikan suaranya, berteriak dan membentak. Dalam pergaulan sosial, tentu orang yang semacam ini sangat dibenci. Bila sebagai pemimpin, maka dia adalah pemimpin yang ditakuti oleh bawahannya. Bukan karena kewibawaan dan keteladanannya, tapi karena suaranya yang menakutkan. Bila sebagai bawahan, maka dia adalah orang yang tak tahu diri.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, ‘Orang yang meninggikan suaranya terhadap orang lain, maka tentu semua orang yang berakal mengetahui, bahwa orang tersebut bukanlah orang yang terhormat.’ Ibnu Zaid berkata, ‘Seandainya mengeraskan suara (dalam berbicara), adalah hal yang baik, tentu Allah tidak menjadikannya sebagai suara keledai.’ Abdurrahman As-Sa’di berkata, ‘Tidak diragukan lagi, bahwa (orang yang) meninggikan suara kepada orang lain adalah orang yang tidak beradab dan tidak menghormati orang lain.’ 

Karena itulah termasuk adab berbicara dalam Islam adalah merendahkan suara ketika berbicara. Allah berfirman, artinya, “Dan rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” (QS. Luqman: 19).(R2/R1). 

*Redaktur di Mi’raj News Agency (MINA) 

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati


Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah

Rekomendasi untuk Anda

Timur Tengah
Tausiyah