Bengaluru, MINA – Hak untuk menggunakan hijab atau jilbab di lembaga pendidikan tidak dapat diblokir dengan alasan “ketertiban umum”, kata Advokat Senior Devadatt Kamat kepada Pengadilan Tinggi Karnataka, Selasa (15/2).
Advokat Senior Devadatt Kamat mewakili siswi yang menentang larangan penggunaan jilbab, NDTV melaporkan.
Dia juga meminta pengadilan untuk memikirkan kembali keputusan sementara untuk melarang pakaian keagamaan, dengan mengatakan itu sama dengan “penangguhan hak-hak dasar” untuk pendidikan dan kebebasan beragama.
Sejak pengadilan mengeluarkan perintah larangan jilbab di lembaga-lembaga yang tidak memiliki aturan berpakaian, banyak siswi tidak diizinkan masuk ke sekolah dan perguruan tinggi. Hal ini mengganggu hak mereka atas pendidikan, katanya.
Baca Juga: Menteri Pertahanan Pakistan: Terorisme Hasil dari Kebijakan AS di Kawasan
Ia menambahkan bahwa Undang-Undang Pendidikan tidak memiliki ketentuan untuk mengeluarkan siswa karena tidak menggunakan seragam.
“Jika negara mengatakan, jika seseorang mengenakan jilbab itu akan menimbulkan masalah, oleh karena itu kami tidak bisa membiarkannya, itu adalah argumen yang tidak benar … Negara … harus menciptakan lingkungan positif yang memfasilitasi penikmatan hak,” tambahnya.
Menurutnya, perintah pemerintah yang menyerahkannya ke perguruan tinggi untuk menerima seruan penggunaan jilbab tergantung pada “ketertiban umum”, menjadi pertanyaan kemarin. Kebebasan beragama dijamin berdasarkan Pasal 25 Konstitusi dan dapat dilarang hanya jika ada pelanggaran “ketertiban umum”.
Negara telah menyatakan bahwa “ketertiban umum” bukanlah terjemahan akurat dari kata “kannada” yang digunakan dalam ketertiban pemerintah.
Baca Juga: Korban Tewas Ledakan Pelabuhan Iran Jadi 46 Orang, Layanan Kembali Normal
Pengacara senior itu membantah argumen tersebut dengan mengatakan, dia telah berkonsultasi dengan versi vernakular dari Konstitusi di mana kata-kata itu muncul sembilan kali, setiap kali berarti “ketertiban umum”.
“Negara (Pemerintah) mengatakan bahwa kata ‘savrajanik suvyavasthe’ dalam perintah pemerintah bukan berarti ‘ketertiban umum’. Terjemahan ‘kannada’ resmi dari Konstitusi menggunakan kata ‘sarvajanik suvyavasthe’ untuk ‘ketertiban umum’. Saya terkejut Negara membuat argumen ini,” katanya. “Sangat pasti ‘sarvajyanik suvyavasthe’ berarti ketertiban umum dan tidak bisa berbeda arti. Saya serahkan kasus saya di sana,” tambahnya.
Sidang akan dilanjutkan Rabu (16/2). (T/RI-1/RS2)
Baca Juga: Rayakan 75 Tahun Hubungan RI-China, Beijing Gelar Lomba Pidato Bahasa Indonesia
Mi’raj News Agency (MINA)