Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Laman berita cnnindonesia.com (2/3/2021) menampilkan satu berita berjudul: “Wapres Ma’ruf Amin Kaget dengan Izin Investasi Miras Jokowi”. Disebutkan, bahwa Juru Bicara Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Masduki Baidlowi menyatakan Ma’ruf kaget dengan keluarnya aturan izin investasi minuman keras (miras) dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Perpres itu diteken Presiden Joko Widodo pada 2 Februari lalu.
“Kiai Ma’ruf tidak tahu. Tiba-tiba aja ke luar ketentuan seperti ini. Karena itu ada dalam lampiran,” kata Masduki di Kantor PBNU, Jakarta, Selasa (2/3/2021).
Masduki mengklaim Ma’ruf dalam kondisi sangat tersudut usai keluarnya aturan izin investasi miras itu. Pasalnya, Ma’ruf yang dikenal sebagai ulama kini menjabat sebagai orang nomor dua di Indonesia. “Kiai Ma’ruf justru adalah orang yang paling sangat tersudut dengan lahirnya ini,” ujarnya.
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Menurut Masduki, Ma’ruf telah melakukan berbagai langkah agar aturan tersebut bisa dicabut oleh Presiden Jokowi. Ma’ruf, kata Masduki, mengusulkan dalam rapat terbatas yang digelar Minggu (28/2) lalu agar aturan tersebut tak dilanjutkan. Ma’ruf juga sudah menghubungi beberapa menteri agar usul pencabutan aturan tersebut bisa sampai ke Jokowi.
Berita itu cukup melegakan. Dalam kasus Perpres soal Miras ini, patut kita syukuri keberadaan KH Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden. Bayangkan, jika wakil Presidennya seorang peminat dan pegiat miras! Tentu akan runyam negeri kita.
Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi pasangan Presiden dan Wakil Presiden Sekarang. Kedepan, kita berharap, Kyai Ma’ruf Amin tak kaget-kaget lagi dengan berbagai kebijakan pembangunan Indonesia. Caranya, Kyai Ma’ruf dan para ulama lainnya, sepatutnya dilibatkan dalam perumusan konsep-konsep pembangunan nasional. Bahwa, pembangunan bukan hanya untuk cari uang, tetapi juga bertujuan mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan bahagia dalam naungan ridha Tuhan Yang Maha Esa.
Memang, dalam alam politik sekuler, keberadaan tokoh agama biasanya diperlukan untuk meraih dukungan suara semata. Setelah itu, tidak dilibatkan dalam perumusan konsep-konsep pembangunan. Itu wajar dalam alam politik sekuler. Tapi, Indonesia jelas bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara yang dengan tegas menyatakan, “Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Tokoh NU KH Achmad Siddiq, dalam satu makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Departemen Agama, (Jakarta, 1984/1985), menyatakan:
“Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.”
Karena bangsa Indonesia berkomitmen untuk mendasarkan pada (tuntunan) Tuhan Yang Maha Kuasa, maka sudah sepatutnya, konsep pembangunan kita pun jangan sampai bertentangan dengan petunjuk-petunjuk Allah SWT. Siapa saja yang bersedia mengikuti petunjuk Allah, maka dijamin, pasti tidak akan mengalami ketakutan dan kesedihan.
Al-Quran menggambarkan negara yang hebat itu laksana pohon yang kokoh dan memberi manfaat bagi masyarakat. Itu digambarkan dalam al-Quran Surat Ibrahim ayat 24-26, yang maknanya:
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah membuat kalimat yang baik adalah seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. (Pohon) itu menghasilkan buah pada setiap waktu dengan seizin Tuhanya.Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka ingat (mengambil pelajaran). Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk seperti pohon yang buruk yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat (tegak) sedikit pun.”
Jadi, negara hebat, adalah negara yang berasas kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid). Allah SWT diakui sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, yang ditaati perintah-Nya dan dijauhi larangan-Nya. Penduduk negeri itu, di mana pun berada, akan memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada umat manusia.
Setelah bermusyawarah dengan Bung Hatta, Kasman Singodimedjo, dan lain-lain, pada 18 Agustus 1945, Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah, akhirnya bersedia menerima penghapusan “tujuh kata” setelah diyakinkan bahwa makna “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah Tauhid. Dan itu juga dibenarkan oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Lihat, Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusuma, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).
Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, pendiri Center for Advanced Studies on Islam, Science and Civilization (CASIS), Universitas Teknologi Malaysia, memberikan rumusan negara maju sebagai “negara sejahtera-bahagia”:
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
“Dalam pandangan alam kita, kesejahteraan dan kebahagiaan (sa’adah) adalah aspek penting dalam kemajuan individu dan masyarakat. Itulah kebaikan sebenar yang dicita-citakan di dunia dan di akhirat. Negara yang maju ialah negara yang mensejahtera dan membahagiakan rakyatnya – yang mencapai maqasid al-syariah. Itulah Negara (baldah thayyibah) yang diredhai Allah SWT.”
Konsep Negara sejahtera dan bahagia semacam ini tentunya sangat indah.Yang dikejar oleh pemerintah dan rakyat bukan hanya kesejahteraan materi, tetapi kebahagiaan yang hakiki yang menurut Islam hanya bisa diraih saat manusia meyakini kebenaran dan memperjuangkan kebenaran yang datang dari Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi, kita berharap, Kyai Ma’ruf Amin dan para ulama lain benar-benar dilibatkan dalam perumusan konsep-konsep pembangunan nasional kita. Itu agar konsep kemajuan negara bukan hanya dinilai dari jumlah pendapatan per-kapita, tetapi juga kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh rakyat, dunia-akhirat !
Dengan begitu, insyaAllah, ke depan, Kyai Ma’ruf Amin tidak kaget-kaget lagi! Aamiin.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
(Depok, 3 Maret 2021). (A/R4/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina