Oleh: Zaenal Muttaqin, jurnalis MINA
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman menceritakan keadaan salah satu ahli neraka:
عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ , تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً
Artinya: “Rajin beramal lagi kepayahan, tapi memasuki api yang sangat panas (neraka).” (QS. Al-Ghasyiyah: 3 – 4).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Sehubungan dengan ayat tersebut Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan satu riwayat dari Abu Imran Al-Jauni, bahwa suatu ketika Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu pernah melewati sebuah kuil, yang ditempati seorang rahib Nasrani.
Umar pun memanggilnya, ‘Wahai Rahib… Wahai Rahib……’ Rahib itu pun menoleh. Ketika itu, Umar terus memandangi sang Rahib. Dia perhatikan ada banyak bekas ibadah di bagian tubuhnya. Kemudian tiba-tiba Umar menangis.
Orang di sekitarnya keheranan, mereka bertanya: “Wahai Amirul Mukminin, apa yang membuat engkau menangis?” Mengapa engkau menangis ketika melihatnya”.
Umar pun menjawab: “Aku teringat firman Allah dalam Al-Quran, (yang artinya) ‘Rajin beramal lagi kepayahan, namun, memasuki neraka yang sangat panas’ Itulah yang membuatku menangis.’ (Tafsir Ibn Katsir).
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Mengapa Mereka di Neraka? Mereka rajin ibadah, namun semua sia-sia. Ibadahnya justru mengantarkan mereka ke neraka.
Apakah Allah mendzalimi mereka? Tentu tidak, karena Allah tidak akan pernah mendzalimi hamba-Nya. Allah haramkan diri-Nya untuk mendzalimi hamba-Nya.
Lalu apa sebabnya? Tentu saja semua itu kembali kepada pelaku perbuatan itu. Sebabnya adalah dia keliru dalam beribadah. Dia beribadah, tapi salah sasarannya, salah tata caranya, salah niatnya, salah yang disembah, atau salah semuanya.
Sehingga bagaimana mungkin Allah akan menerimanya? Dan di saat yang sama, Allah justru memberikan hukuman kepada mereka.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Menyadari hal ini, sudah selayaknya kita selalu bersyukur, Allah jadikan kita orang mukmin, padahal kita tidak pernah memintanya. Kita patut bersyukur, kita terlahir dari keluarga muslim, padahal kita tidak pernah memilihnya.
Tinggal saatnya kita berusaha agar amal kita diterima Allah. Kita berupaya agar amal yang kita kerjakan adalah amal yang benar. Benar sesuai dengan kriteria atau tuntunan yang ditetapkan oleh syariat Allah dan sunnah Nabi-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Artinya: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya“. (QS. Al-Kahfi: 110).
Ayat tersebut mengajarkan, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya” artinya dia siap bertemu Allah dengan membawa bekal amal yang akan diterima pahalanya.
Kemudian hendaklah mengerjakan amal yang saleh”, itulah amal yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Selanjutnya, ayat itu mengingatkan janganlah mempersekutukan dengan sesuatupun dalam beribadah kepada Allah. Dan ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas karena Allah, bukan karena manusia, pamer, ingin dipuji dan lainnya.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Itulah salah satu ayat yang menjelaskan tentang kriteria amal yang benar menurut syariat. Benar niatnya, ikhlas karena mengharap balasan dari Allah. Benar tata caranya, sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Allahu a’lam. (A/B05/RS2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa