Oleh: Septia Eka Putri/ Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Sosok perempuan yang satu ini mampu menggali ilmu di padang pasir yang membisu, ketika kaumnya tidak mendapatkan hak untuk belajar. Dia mampu menembus dan mencapai kedudukan ilmu, sebagaimana telah diraih oleh kaum laki-laki. Dia adalah Binti Syathi, Aisyah Abdurrahman, putri salah seorang ulama Al Azhar dan keturunan keluarga pemuka agama yang mengibarkan bendera Islam di Mesir.
Saat kecil, dia belajar di sekolah khusus untuk perempuan. Di sana terlihat kecerdasan keilmuaan dan sastranya yang membuat sang kakek memberi dukungan kepada ibunya untuk memasukkannya di sekolah al-Luzi al-Amirah khusus perempuan. Tidak banyak perempuan dapat masuk di sekolah tersebut sebab pada zaman itu perempuan dilarang untuk sekolah.
Namun, meski dalam kondisi demikian Aisyah terus berusaha menapaki tangga ilmu itu selangkah demi selangkah, hingga akhirnya dia lulus dengan predikat cumlaude, tahun 1936 H. Dia kemudian menyelesaikan magister pada tahun 1941 dengan predikat cumlaude.
Baca Juga: Muslimah di Era Global: Menjaga Identitas Islam
Aisyah dinikahi oleh dosennya, Amin al-Khauli, seorang tokoh kebangkitan pemikiran dan kebudayaan di Mesir pada masa-masa itu. Dalam perjalanan studinya, walaupun telah menikah dan mengurus tiga anak, di mampu untuk menyelesaikan program doktoralnya yang diuji oleh Dr. Thaha Husain dengan predikat cumlaude.
Pada saat peranan wanita tidak dihargai di bidang keilmuan dan kebudayan, Aisyah Abdurrahman masih tetap melangkah dengan tegar untuk menjadi pelopor dalam pemikiran feminisme Islam sehingga menjadikannya unggul dalam bidang tersebut. Dengan demikian, terbuka untuknya beberapa kesempatan untuk mengajar, di antaranya sebagai guru besar program magister di Universitas Qarawiyyin.
Tak hanya itu, dia juga menjabat sebagai dosen tamu di beberapa universitas ‘Ainun Syams. Kemudian menjadi dosen tamu di beberapa universitas di Timur Tengah. Selain itu, dia menjadi anggota tinggi beberapa lembaga keilmuan, salah satunya Majlis al-A’la di Mesir.
Aisyah memulai perjalanan sastranya sejak dia berumur 18 tahun dengan menulis secara aktif di koran an-Nahdhah an-Nisaiyah dengan nama pena “Binti Syathi”. Dia menyukai nama ini sebab mengingatkan pada masa kecilnya yang dia habiskan di Syathii an-nil (tepi Sungai Nil). Dia menuliskan sebuah gagasan untuk menjaga keluarganya, khususnya kaum perempuan yang tidak mendapatkan hak untuk belajar. Kemudian, dia juga menulis pemikirannya tersebut di koran al-Ahram hingga dia wafat pada tahun 1988 M.
Baca Juga: Muslimah Produktif: Rahasia Mengelola Waktu di Era Digital
Mujahidah ini memiliki sebuah tanggungan yang harus dia pikul sendiri, yaitu memberikan edukasi kepada kaum perempuan. Dia menggangap bahwa hal tersebut merupakan pokok utama yang akan membentuk dan mempersiapkan generasi masa depan untuk masyarakat muslim.
Dalam tulisan-tulisannya mengenai sejarah dia mengangkat tema mulai dari Para Perempuan Baitun an-Nubuwwah hingga Kepribadian Perempuan Muslimah dan Perempuan sebagai Pengajar dan Mujahidah. Melalui tulisannya, dia memberikan dukungan pada peranan perempuan dan urgensi pendidikan untuk perempuan serta anti diskriminasi peranan perempuan dalam pembangunan dan kebangkitan masyarakat Islam.
Wanita ini mahir bahasa Arab dan pengembangannya. Salah satu buku karangannya adalah at-Tafsir al-Bayani lil-quranil Karim. Dari buku tersebut, terlihat kecerdasan dan keunggulannya di bidang bahasa Arab. Buku ini membahas tafsir dari beberapa surat pendek dalam perspektif khusus dari segi bahasa, mengupas setiap katanya dari akar bahasa, dan penggunaannya secara sebenarnya atau majaz.
Kemudian, dia menggabungkan antara al-‘aqli dan an-naqli dalam menyuguhkan tafsirnya. Dia menelaah nukilan tafsir-tafsir terdahulu, lalu menyelaraskan dengan akal. Dengan metode itu dia berhasil mencapai apa yang dikehendakinya dan membantah pemikiran orang-orang terdahulu atau sekarang. Dengan demikian, dia memberikan sumbangan pada pemikiran dan kebudayaan Islam, serta membangkitkan bahasa Arab, di kala bahasa itu dianggap tidak memiliki kata ilmiah untuk berbagai bidang ilmu yang telah dicapai oleh masyarakat modern.
Baca Juga: Ibu Rumah Tangga Bahagia: Kunci Kesuksesan Muslimah di Rumah
Asyah juga mampu mempelajari ilmu-ilmu hadist nabawi, baik masa dahulu maupun modern, sebuah bidang ilmu yang sangat susah dikuasi oleh kaum Adam, apalagi kaum perempuan. Tidak sampai di sini pemikirannya, dia juga turut serta dalam gerakan untuk melawan Bahaiyah dan Zionisme.
Aisyah Abdurrahman adalah ahli sastra dan kritikus yang menamatkan literatur sastra yang berharga dan bermakna. Di antara cerita yang dia karang adalah ‘Ala al-Jisri (Di Atas Jembatan), yang megisahkan perjalanan hidupnya. Dia juga meneliti beberapa literatur kuno, salah satunya literatur Risalatu al-Ghufrani yang ditulis oleh al-Ma’ri dan al-Khansau asy-Sya’iratu al-‘Arabiyatu al-Ula.
Dia juga mampu mendudukkan perempuan pada bidang pemikiran, keilmuwan, dan kebudayaan serta mampu merebut haknya untuk membantu masyarakat, umat, dan agama. Dia adalah seorang mujahidah yang berperang dengan penanya untuk menolong permasalahan agamanya dan menepis bahaya yang mengancam umatnya.
Dari berbagai buah pemikiran dan karyanya dia mendapatkan beberapa penghargaan, salah satunya adalah tingkat dunia dari Raja Faisal untuk kategori sastra Arab, penghargaan kehormatan dari pemerintah Mesir, dan masih banyak lagi penghargaan dari berbagai negara Arab.
Baca Juga: Peran Muslimah di Akhir Zaman: Ibadah, Dakwah, dan Keluarga
Aisyah Abdurahman lahir di Dimyath, 6 Dzul Hijjah 1331 H bertepatan dengan 6 November 1913 M, dalam sebuah keluarga yang dikenal akan keilmuan, kesahalihan, dan kesufiannya. Ayahnya adalah seorang Azhari (lulusan al-Azhar, Kairo) dan seorang sufi. Kakeknya dari pihak ibu adalah pemuka di Dimyath.
- Aisyah mulai sekolah pada umur 5 tahun. Dia mampu menghafal Al-Qur’an secara sempurna (30 juz) pada usia dini. Orang tuanya tidak menyetujui jika putrinya belajar di sekolah umum yang tidak berbasiskan agama, tetapi dia dengan dukungan kakeknya yang terus membujuk ayahnya untuk menuntut ilmu di sekolah umum. Akhirnya, walaupun dengan sangat terpaksa, ayahnya menyetujuinya dengan syarat dia harus belajar agama di rumah dan harus keluar dari sekolah jika sudah dewasa.
- Aisyah mampu menyelesaikan pendidikan dasarnya dengan prestasi gemilang dan berusaha keras untuk melanjutkan studinya meskipun orang tuanya melarangnya di sekolah di Thantha dan lulus tahun 1348 H/1929 M, lalu pindah ke Kairo menjadi penulis di Jurusan dan dipublikasikan oleh majalah an-Nahdhah an-Nisaiah yang dipimpin oleh Labibah Ahmad. Selain itu, tulisannya juga dipublikasikan di majalah al-Ahamd. Selain itu, tulisannya juga dipublikasikan di majalah al-Ahram dengan nama pena Binti asy-Syathi. Dengan ketekunan dan kesabaran, dia mampu menyelesaikan diplomanya yang menjadi tiket untuk melanjutkan kuliah.
- Aisyah Abdurrahman mendaftar ke Universitas Mesir, fakultas Sastra Arab, jurusan bahasa Arab dan lulus pada tahun 1358 H/1939 M. Di tengah studinya, dia menikah dengan dosennya, Amin al-Khauli.
- Aisyah Abdurrahman menyelsaikan magisternya pada tahun 1360 H/ 1941 M dengan tesis berjudul, al-Hayatu al-Insaniyyati ‘inda ‘Albil-‘Alai al-Ma’ri (Kehidupan Manusia dalam pandangan Abdul ‘Ala al-Ma’ri). Kemudian, pada tahun 1370 H/ 1950 M dia berhasil menyelesaikan program doktoralnya dengan meniliti Risalatun al-Ghufrani karangan Abdul ‘Ala. Suaminya menasehatinya untuk belajar sastra Arab dan bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Qur’an dan jika sudah menyelesaikan studi bahasa dan sastra, barulah belajar keislaman. Dia pun menuruti nasihat suaminya tersebut, selama dua puluh tahun dia belajar bahasa dan satra. Kemudian, dia belajar keislaman.
- Jenjang karirnya dalam mengajarkan ilmu terus naik sehingga dia menjadi seorang guru besar tafsir dan pasca sarjana di Universitas Qarawiyyin, Maroko, selam kurang lebih dua puluh tahun. Selain itu, dia juga memberikan perkuliahan di beberapa universitas di Timur Tengah.
- Karya-karya Aisyah di bidang keilmuan atau pun sastra hampir mencapai empat puluh judul buku, yang mencakup studi fiqih, hadits, Al-Qur’an, dan sastra. Di antaranya adalah Al-qur’anu wa Qadhaya al-Insanu, Lughatuna wa al-Hayatu, al-Israiliyyatu wa al-Ghazwu al-fikri, al-Khansa asy-Sya’iratu al-‘Arabiyyatu al-Ula dan ‘Ala al-Jisri yang mengisahkan perjalanan hidupnya.
- Mujahidah ini mendapatkan beberapa penghargaan, di antaranya dari pemerintah tahun 1399 h/ 1978 M, penghargaan sastra dari Kuwait pada 1409 H/ 1988 M, dan penghargaan Raja Faisal tahun 1415 H/ 1998 M. Dia patut dijadikan teladan dalam kesabaran dan kezuhudan.
Aisyah Abdurrahman binti Syathi akan selalu dikenang oleh umat Islam sebagai seorang muslimah yang berjihad dengan pena untuk mengangkat kedudukan umat Islam. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepadanya dan menempatkannya di Surga karena goresan penanya telah menerangi lembaran-lembaran kebudayaan Islam. (P007/R01)
Sumber: 150 Perempuan Shalihah, oleh Abu Malik Muhammad bin Hamid
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Kesabaran Seorang Istri