Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akar Sejarah Tasawuf di Pulau Jawa

Rendi Setiawan - Kamis, 18 Juni 2020 - 20:01 WIB

Kamis, 18 Juni 2020 - 20:01 WIB

87 Views

Oleh: Rendi Setiawan, Jurnalis MINA

Tema tentang tasawuf memiliki daya tarik tersendiri untuk dikaji. Sejak masuknya Islam di Nusantara, unsur tasawuf telah mewarnai corak keberagamaan masyarakat. Bahkan, hingga kini pun nuansa tasawuf merupakan bagian yang tak terpisahkan dari praktik keagamaan muslim Indonesia.

Tasawuf adalah khazanah keilmuan yang sangat populer di kalangan umat Islam. Walaupun demikian, kelompok Islam puritan dan formalistik memandang tasawuf sebagai gerakan bidah dan syirik karena cenderung memuja mistik.

Sementara kelompok berikutnya memandang tasawuf sebagai bagian integral dalam Islam yang nilai-nilai esensinya sudah ada sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya ridwanullah ta’ala anhum ajmain.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Tasawuf sesungguhnya adalah ilmu untuk menyucikan hati. Jika fikih atau syariat dipandang sebagai ilmu lahir, maka tasawuf merupakan ilmu yang berorientasi pada ranah batin. Kesucian hati ini dibutuhkan oleh manusia untuk mencapai cahaya Tuhan. Dengan menggapai cahaya Tuhan, seseorang diharapkan dapat menghasilkan akhlak mulia.

Sifat tasawuf yang esoterik ini membuatnya dapat bertemu dan bersatu dengan tradisi lain, termasuk tradisi Jawa, di mana peradaban Jawa juga bertumpu pada alam batin. Dalam tasawuf inilah kita disuguhkan samudera hikmah dan nilai-nilai moral yamg begitu luas.

Menurut sejarahwan Agus Sunyoto, mengutip Groeneveldt (1877), Islam masuk ke Indonesia sejak perempat akhir abad ke-7 masehi, ketika Ratu Sima berkuasa di Kalingga. Ini sebagaimana diberitakan sumber-sumber Tiongkok dari Dinasti Tang. Orang-orang Arab masuk ke nusantara bersama pedagang-pedagang Tiongkok.

Tulisan ini tidak akan membahas secara luas akar sejarah Islam di Nusantara. Tulisan ini hanya akan membatasi sejarah perkembangan tasawuf di pulau Jawa yang merupakan salah satu wilayah di Indonesia kaya akan tradisinya yang begitu panjang. Berbagai aliran tarekat di pulau ini tumbuh subur.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Misalnya, Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syattariyah, Tijaniyah, Syadziliyah dan sebagainya. Beberapa sumber menyebut bahwa Pangeran Diponegoro sendiri yang merupakan tokoh sentral pada perang Jawa (1825-1830 masehi) merupakan penganut tarekat Syattariyah.

Berdasarkan catatan sejarah, jumlah pengikut tarekat, khususnya tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia mengalami kenaikan yang tajam pada tahun 1885. Sementara tarekat itu sendiri sebenarnya telah hadir lebih dari dua abad sebelumnya tanpa diperhatikan oleh rezim kolonial Belanda.

Seorang peneliti asal Belanda Martin van Bruinessen dalam buku ‘Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia’ menyatakan bahwa ulama sufi Indonesia yang pertama kali mengenalkan tarekat lewat karya tulis adalah Syaikh Yusuf Makassar (1636-1699). Syaikh Yusuf berasal dari Gowa, Sulawesi Selatan.

Pada usia 18 tahun, dirinya berangkat ke Mekkah untuk menuntut ilmu dan sekaligus menunaikan ibadah haji. Ia mempelajari tarekat Naqsyabandiyah lewat guru sufi ternama Muhammad Abdul Baqi. Setelah itu, ia juga belajar berbagai macam tarekat lain di Madinah.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Syaikh Yusuf lalu kembali ke Indonesia, tetapi beliau tidak langsung ke tempat kelahirannya, sebab pada tahun 1669 masehi, Gowa telah jatuh ke tangan Belanda yang bersekutu dengan kerajaan Bugis saingan Gowa. Sebagai gantinya, ia kemudian melanjutkan perjalanan ke Banten dan menjadi salah seorang paling disegani di wilayah itu.

Kehadiran Syaikh Yusuf kemudian turut mendorong nama Banten sebagai pusat pendidikan Islam yang cukup menarik minat para pelajar. Di Banten inilah Syaikh Yusuf kemudian bukan hanya mengajarkan Islam dan tasawuf, tetapi juga mulai melancarkan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Meski pada akhirnya Belanda mampu menumpas perlawanan tersebut.

Syaikh Yusuf memang bukan orang Indonesia pertama yang mengamalkan dan menyebarkan ajaran sufi. Namun, ia tercatat sebagai orang pertama yang menulis banyak tentang ajaran sufi. Perjalanan hidupnya membuktikan kesalehan mistik yang tidak menghalangi militansi politiknya.

Sebagian besar karya-karya Syaikh Yusuf ditulis dalam bahasa Arab dan sebagian kecil dalam bahasa Bugis. Melalui berbagai tulisan itulah, ajaran sufi yang berpusat di Timur Tengah, semakin merebak dan berkembang ke seluruh pelosok Nusantara, utama di pulau Jawa, dengan beragam tarekat dan organisasi turunannya.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Kalau kita menarik sedikit alur waktu beberapa abad ke belakang di Jawa, kita akan menemukan bahwa tempat ini sudah menjadi sarang spiritual dan mistisme sejak moyang kita hidup di zaman animisme dan dinamisme. Spirit spiritualisme dan mistisme inilah yang turut memengaruhi bahkan menjadi fundamen kebudayaan Jawa.

Menurut Alwi Shihab, Islam cepat berkembang di Jawa karena adanya titik temu antara tasawuf dan mistisme Jawa (enkulturasi). Hal ini sekaligus mengkonstruk tipologi (kekhasan) Islam yang berkembang di Jawa. Sejak awal, masih menurut Alwi, Islam yang berkembang di Nusantara, utamanya pulau Jawa, adalah Islam sufi.

Sebagai umat Islam, terlebih pribadi yang lahir di tengah kultur dan adat Jawa yang kuat, kita pantas bersyukur. Karena tradisinya yang kental dengan spiritualisme dan mistisme inilah yang membuat enkulturasi antara aturan hidup Islam dengan kebiasaan masyarakat di Jawa bisa singkron.

Salah satu bentuk enkulturasi itu adalah soal cara menggapai pengalaman mistis. Di Jawa, ada sebuah laku spiritual yang disebut semedi. Bagi orang Jawa, semedi dipercaya menjadi sumber ilham dan informasi langit yang tingkat keabsahannya lebih dipercaya ketimbang pengetahuan bersumber dari lisan maupun tulisan (Woodward, 2012: xviii).

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Kalau di Jawa ada tradisi yang namanya semedi, maka di dalam Islam, khususnya di ranah tasawuf, terdapat yang namanya khalwat alias menyepi untuk bermunajat dan zikir kepada Allah. Baik semedi maupun khalwat, sesungguhnya sama-sama laku spiritual; sebuah aktivitas yang digunakan untuk menjelajah dunia bathin.

Dari sinilah kemudian tasawuf mempunyai titik temu dengan tradisi Jawa yang memang sejak lama bertumpu pada spiritualisme dan mistisme. Bahkan, kerajaan-kerajaan di Jawa masa lampau telah mengukuhkan diri sebagai pusat mistisme dan kekuatan magis atau supranatural (Woodward, 2012: 52; Purwadi, 2007: 82).

Corak Islam sufistik dan mistik seperti ini, hingga kini masih menjadi warna dominan dalam praktik keberislaman di Jawa. Atas dasar inilah gerakan Islam cenderung puritanistik dan terkesan anti tradisi lokal, menjadi sulit diterima masyarakat Jawa yang kental akan kultur budaya.

Cikal bakal dan akar kelahiran aliran kepercayaan kebatinan Jawa (kejawen) biasanya lebih merujuk pada tokoh utamanya, Ranggawarsita keturunan Keraton Surakarta yang sangat dikenal sebagai ‘Bapak Kebatinan Jawa’. Ranggawarsita yang lahir di awal abad 19 masehi ini dikenal pula sebagai pujangga besar terakhir di tanah Jawa.

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Aliran kepercayaan yang merujuk pada Ranggawarsita inilah yang sedikit banyak telah mengalami perjumpaan dengan ajaran-ajaran tasawuf yang dibawa oleh para penyebar agama Islam di Jawa. Tasawuf yang berkembang di Jawa ini merupakan Tasawuf Sunni.

Tasawuf Sunni sendiri sesungguhnya banyak merujuk pada ulama-ulama tasawuf Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang kalau di Jawa ada ajaran Al-Ghazali. Bahkan, hingga kini Al-Ghazali masih menjadi rujukan utama dalam pengajian-pengajian tasawuf di berbagai pesantren dan majelis taklim.

Selain Al-Ghazali, tokoh lain yang sangat berpengaruh di Jawa adalah Syaikh Athaillah As-Sakandari lewat karyanya ‘Al-Hikam’. Kemudian ada pula Ibnu Arabi yang dikenal sebagai perumus Wahdatul Wujud, dan di komunitas tertentu ada juga Jalaluddin Rumi melalui karyanya ‘Matsnawi’. Khusus terakhir lebih dikenal di kalangan sastrawan.

Martin menjelaskan bahwa alam pikiran kaum sufi terkemuka seperti Ibnu Arabi dan Al-Ghazali sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian para generasi muslim pertama di Jawa.

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

Sebagian besar para raja Islam di Jawa, kata Martin, juga menjadi pengikut ajaran tarekat. Tarekat yang makna harfiahnya berarti ‘jalan’, sesungguhnya lebih mengacu pada sistem latihan meditasi maupun pada amalan, seperti wirid dan zikir yang dihubungkan dengan sederet guru sufi dan organisasi yang tumbuh di sekitar metode tasawuf yang khas ini. (A/R2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Rekomendasi untuk Anda

MINA Health
Kolom
Kolom
Indonesia
Kolom