Bangkok, 21 Muharram 1438/22 Oktober 2016 (MINA) – Warga Muslim dan aktivis hak asasi manusia mengatakan, operasi militer di barat laut Myanmar telah membunuh lebih banyak Muslim Myanmar daripada laporan resmi yang telah diumumkan.
Serangan terbaru kerusuhan etnis baru-baru ini berpotensi merusak proses perdamaian yang masih muda di negara itu.
Bangkok Post memberitakan pada Sabtu (22/10), pemerintah Myanmar yang dipimpin oleh pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi mengatakan, tentara dan polisi di negara bagian Rakhine sedang berjuang untuk memberantas setidaknya 400 warga dari minoritas Muslim Rohingya, yang dianggap memiliki hubugan dengan militan di luar negeri.
Para pejabat mengatakan, tentara telah melakukan penyisiran hati-hati yang menargetkan kelompok di balik serangan terhadap pos polisi perbatasan pada 9 Oktober lalu.
Baca Juga: DPR AS Keluarkan RUU yang Mengancam Organisasi Pro-Palestina
Warga yang berbicara kepada Reuters menuduh pasukan keamanan membunuh non-kombatan dan membakar rumah-rumah mereka.
Maungdaw, daerah dekat perbatasan dengan Bangladesh, berada di bawah kuncian militer, membuat tidak mungkin untuk mengklarifikasi secara independen versi dari kedua sisi tentang peristiwa yang terjadi.
Potensi kekerasan terus terpelihara di Rakhine karena hubungan antara Muslim Rohingya dan mayoritas warga Buddha berada di titik terendah sejak ratusan orang tewas dan ribuan mengungsi oleh kerusuhan etnis pada 2012.
Upaya damai untuk membangun kembali hubungan antar komunal yang rapuh itu telah hancur, menandai kemunduran besar bagi tujuan prioritas utama pemerintahan Suu Kyi untuk mengamankan perdamaian abadi dan mempersatukan negara.
Baca Juga: Lima Paramedis Tewas oleh Serangan Israel di Lebanon Selatan
Dalam video yang diposting daring (online), sekelompok orang bersenjata yang berbicara bahasa Rohingya telah mengaku bertanggung jawab atas serangan terkoordinasi pada 9 Oktober yang memicu dilakukannya operasi militer.
Akibatnya, warga Muslim Rohingya menghadapi pembatasan ketat atas gerak mereka dan akses terhadap layanan dasar.
Media pemerintah melaporkan bahwa 30 “penyerang” telah tewas oleh pasukan keamanan sejak 9 Oktober, termasuk dua perempuan yang dilaporkan telah dipersenjatai dengan pedang.
Tapi wawancara Reuters dengan enam warga dan tokoh masyarakat di Kota Maungdaw, serta diplomat di Yangon dan kelompok hak asasi, memberi gambaran yang berbeda.
Baca Juga: Joe Biden Marah, AS Tolak Surat Penangkapan Netanyahu
“Jelas ada lebih dari 30 yang tewas,” kata Chris Lewa dari Arakan Project, sebuah kelompok pemantau yang mendapat informasi dari jaringan sumber di seluruh kota Maungdaw. “Dan banyak dari mereka adalah warga sipil, bukan penyerang.”
Lewa mengatakan tentara menggunakan dalih “tindakan kontra-pemberontakan” khusus terhadap warga sipil, termasuk menembak warga sipil, membakar rumah, menjarah properti dan melakukan penangkapan sewenang-wenang.
Namun, Ye Naing, seorang direktur di Departemen Penerangan mengatakan, laporan resmi yang keluar dari Maungdaw bisa dipercaya.
“Operasi saat ini tidak buta mencari. Militer memiliki informasi dari interogasi, sehingga target sangat jelas dan lingkup operasi sempit,” katanya.
Baca Juga: Inggris Hormati Putusan ICC, Belanda Siap Tangkap Netanyahu
Sementara itu, wartawan asing belum diizinkan masuk ke area militer yang dinyatakan sebagai “zona operasi”, tapi Reuters mampu menghubungi beberapa warga dan tokoh masyarakat melalui telepon. (T/P001/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Guido Crosseto: Kami akan Tangkap Netanyahu Jika Berkunjung ke Italia