New Delhi, MINA – Umat Islam di India menghadapi diskriminasi dan tidak mendapat hak pendidikan serta ekonomi, kata Abdul Malik Mujahid, Presiden “Justice For All”.
Dalam sebuah wawancara dengan Anadolu, Mujahid menyoroti tantangan yang dihadapi umat Islam dalam pendidikan dan pekerjaan, serta menekankan kesulitan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Menurutnya, meskipun mencapai nilai tinggi dalam pendidikan, umat Islam tetap berjuang untuk mendapatkan pekerjaan dan sering kali berakhir pada posisi yang bahkan tidak memerlukan pendidikan.
Mengingat percakapan dengan seorang pemuda Muslim yang mengendarai becak di ibu kota, New Delhi, Mujahid menekankan perjuangan yang dihadapi oleh umat Islam terpelajar yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka.
Baca Juga: Iran dan Arab Saudi Tegaskan Komitmen Perkuat Hubungan di Bawah Mediasi Tiongkok
“Saya punya gelar Master dan semua saudara-saudari saya punya gelar Master, tapi kami tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Jadi, kami bekerja seperti buruh,” kata Mujahid mengutip perkataan pemuda tersebut.
“Jadi itulah alasan umat Islam secara keseluruhan tertinggal dibandingkan umat Hindu dalam hal pekerjaan dan pendidikan. Ada kesenjangan sekitar 10 hingga 15 persen antara tingkat pendidikan umat Islam dan tingkat pendidikan Hindu karena fenomena khusus ini,” ujarnya.
Tantangan pendidikan
Mujahid juga menyoroti tantangan pendidikan yang dihadapi anak-anak Muslim di India, dan menekankan adanya bias terhadap anak-anak Muslim yang terlihat dalam berbagai cara.
Baca Juga: Kemlu Yordania: Pengeboman Sekolah UNRWA Pelanggaran terhadap Hukum Internasional
Dia mencontohkan insiden diskriminasi terhadap anak Muslim berusia 7 tahun tahun lalu di sebuah sekolah.
“Anak itu dipukuli dan gurunya memanggilnya ‘Mohammedan’. Gurunya juga meminta anak-anak Hindu untuk memukuli anak-anak Muslim.”
Mujahid juga menunjukkan fakta bahwa di beberapa negara bagian di India, gadis Muslim yang mengenakan jilbab dilarang mengikuti pendidikan.
“Mereka tidak bisa masuk sekolah dengan mengenakan jilbab. Jadi, ribuan gadis Muslim tidak bisa belajar selama beberapa tahun karena larangan tersebut. Dan ketika mereka menentang larangan tersebut di pengadilan, pengadilan mengatakan hijab bukanlah bagian dari Islam.”
Baca Juga: Parlemen Arab Minta Dunia Internasional Terus Beri Dukungan untuk Palestina
“Jadi, Islam tidak bisa didefinisikan oleh umat Hindu,” ujarnya.
Ia mengatakan, kurikulum pendidikan diubah untuk menghapus warisan Islam. Mujahid merujuk pada kurikulum baru yang menghilangkan informasi tentang arsitek Muslim Taj Mahal, dan buku teks yang berisi pernyataan menghina orang-orang yang mengonsumsi daging sapi.
Diskriminasi ekonomi
Menyoroti diskriminasi ekonomi, Mujahid mengungkapkan bahwa umat Islam, yang berjumlah sekitar 15 persen dari populasi India, kurang terwakili dalam angkatan kerja dan hanya 1 persen yang memiliki pekerjaan di pemerintahan.
Baca Juga: Ribuan Warga Yordania Tolak Pembubaran UNRWA
“Muslim merupakan 15 persen dari populasi India dan pemerintah India adalah pemberi kerja terbesar bagi masyarakat. Namun hanya 1 persen umat Islam yang bekerja di pemerintahan. Brahmana, kelompok tertinggi umat Hindu, hanya berjumlah 3,5 persen dari populasi India, namun mereka memiliki 61 persen pekerjaan di pemerintahan,” katanya.
Mujahid juga membahas konsekuensi larangan pengangkutan sapi untuk tujuan non-pertanian, dan menyatakan bahwa hal tersebut telah menyebabkan matinya industri daging dan kulit, serta menyebabkan pengangguran bagi umat Islam.
Dia mencontohkan penutupan 50.000 toko daging di satu negara bagian sebagai akibat dari larangan tersebut.
Sementara itu, ia mengungkapkan produk bersertifikat halal menghadapi boikot, dimana umat Hindu menyamakan penjualan produk tersebut dengan mendukung “ekspansi ekonomi Islam”.
Baca Juga: Wasekjen MUI Ingatkan Generasi Muda Islam Tak Ikuti Paham Agnostik
Mujahid melanjutkan dengan mengatakan kelompok ekstremis Hindu menciptakan ketakutan di kalangan penduduk India dengan menghubungkan pendapatan ini dengan dugaan dukungan terhadap terorisme. (T/R7/R1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Iran: Referendum Nasional Satu-satunya Solusi Demokratis bagi Palestina