Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alih Status PTKIN Harus Diisi Keunggulan Prestasi

Risma Tri Utami - Kamis, 12 Januari 2017 - 21:21 WIB

Kamis, 12 Januari 2017 - 21:21 WIB

593 Views ㅤ

Sekjen Kemenag Nur Syam memberikan arahan pada Raker Pelaksanaan Anggaran Tahun 2017 di IAIN Samarinda. (Foto: Istimewa)

Sekjen Kemenag Nur Syam memberikan arahan para Raker Pelaksanaan Anggaran Tahun 2017 di IAIN Samarinda. (Foto: Istimewa)

Samarinda, 13 Rabiul Akhir 1438/12 Januari 2017 (MINA) – Beberapa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) telah melakukan transformasi (alih status) dari STAIN menjadi IAIN atau dari IAIN menjadi UIN. Sekretaris Jenderal Kementerian Agama (Sekjen Kemenag) Nur Syam, mengingatkan transformasi institusi harus diisi dengan keunggulan prestasi.

Hal ini disampaikan Nur Syam di hadapan civitas akademika IAIN Samarinda pada Rapat Kerja Pelaksanaan Anggaran Tahun 2017 di Samarinda, Rabu (11/01).

IAIN Samarinda salah satu PTKIN yang telah bertransformasi dari status sebelumnya sebagai STAIN. “Jadi, tantangan kita tidak sekedar menjadi IAIN sebagai lembaga yang dianggap relevan, tetapi bagaimana mengisi ruang-ruang kosong akademis ini untuk terus didinamisasikan di dalam kerangka pengembangan ilmu pengetahuan,” kata Nur Syam.

Jadi, tambahnya dalam laman resmi Kemenag yang dikutip MINA, jangan berhenti menjadi IAIN tetapi bagaimana mengisi IAIN ini dengan kajian akademik yang unggul di dalam lingkungan akademik yang hebat.

Baca Juga: Hari Guru, Kemenag Upayakan Sertifikasi Guru Tuntas dalam Dua Tahun

Mantan Rektor IAIN (UIN) Sunan Ampel Surabaya ini mengatakan, perubahan status dari STAIN Ke IAIN membawa konsekuensi terkait banyak hal, misalnya perubahan jumlah mahasiswa, pertambahan jumlah dosen, program studi, tenaga kependidikan dan juga sarana prasarana. Namun, transformasi status mengandung tidak hanya perubahan kelembagaan saja. Lebih dari itu, alih status juga harus diikuti perubahan mental untuk menjadi yang terdepan atau one step ahead.

“Selalu saya nyatakan bahwa bukan perubahan status kelembagan menjadi IAIN yang diupayakan diraih, akan tetapi yang jauh lebih penting ialah bagaimana kita mengubah pemikiran seluruh jajaran pemangku kepentingan atau stakeholder tentang menjadi IAIN tersebut,” ujarnya.

Menurutnya, perguruan tinggi adalah pusat pendidikan berbasis riset. Pertanyaannya, seberapa banyak dosen IAIN Samarinda diberi keleluasaan melakukan riset sebagai basis pendidikan? Seberapa banyak temuan riset yang menjadi pembicaraan di dunia akademis? Seberapa hebat perdebatan akademis dan intelektual yang terbentuk hingga mewarnai lingkungan akademic atau academic environment di kampus.

Nur Syam berharap, transformasi IAIN Samarinda dapat melahirkan intelektual dan akademisi yang dapat meninggalkan legacy yang hebat di dunia kajian Islam dan ilmu sosial.

Baca Juga: Program 100 Hari Kerja, Menteri Abdul Mu’ti Prioritaskan Kenaikan Gaji, Kesejahteraan Guru

Pada Islamic studies, mantan Dirjen Pendidikan Islam ini menyebut figur Imam Bukhari-Muslim, Imam Syafii, Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Hambali, serta Imam Ghazali. Sementara dalam ilmu sosial, Nur Syam menyebut Ibnu Khaldun, Max Weber, Emile Durkheim, bahkan Karl Marx hingga Clifford Geertz dan Robert N Bellah.

“Karya-karyanya dikaji dan dijadikan pedoman dalam urusan pelaksanaan beragama, sering saya ungkapkan, berapa banyak doktor yang dihasilkan dari memperdebatkan karya Geertz atau Imam Ghazali,” tutupnya. (T/R09/RS3)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Delegasi Indonesia Raih Peringkat III MTQ Internasional di Malaysia

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Indonesia
MINA Preneur