Oleh: Ali Farkhan Tsani, Pembina Pesantren Tahfidzul Quran, Redaktur Senior MINA
Di dalam Surat Al-Ahzab ayat 56 Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad. Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian kepadanya dan bersalamlah dengan sungguh-sungguh.”
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Setidaknya ada tiga hal besar yang bisa kita pahami dari ayat tersebut, yakni:
Pertama, Allah selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Kedua, Malaikat pun selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ketiga, perintah bagi orang-orang beriman untuk bershalawat dan bersalam kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Shalawat memiliki makna dasar berdoa. Adapun Allah bershalawat kepada Nabi, maksudnya adalah memberikan rahmat dan ridha-Nya. Demikian Imam Al-Qurtubi menjelaskan di dalam kitab tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân.
Sedangkan shalawatnya para malaikat kepada Nabi, berarti doa dan permohonan ampun (istighfar) mereka bagi Nabi.
Adapun shalawat kita sebagai umat beliau merupakan pengagungan kita terhadap kedudukan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Itu semua bukan berarti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membutuhkan doanya para malaikat dan umat untuk kebaikan diri beliau. Bila Rasulullah butuh terhadap doanya malaikat dan umatnya yang berupa shalawat, maka kiranya shalawat Allah kepada Nabi sudah lebih dari cukup.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Perbedaan makna shalawat yang dilakukan oleh Allah dan para malaikat serta orang-orang beriman semuanya dimaksudkan untuk satu hal, yakni memperlihatkan pengagungan kepada Nabi dan menghormati kedudukan Nabi yang luhur sebagaimana mestinya.
Hal ini sama dengan ketika Allah memerintahkan kita untuk selalu mengingat-Nya, bukan berarti Allah butuh diingat oleh hamba-Nya. Namun karena menunjukkan kebesaran dan kedudukan-Nya.
Dalam hal ini Imam Fakhrudin Ar-Razi di dalam kitab tafsir Mafâtîhul Ghaib menjelaskan “Bershalawat kepada Nabi bukanlah karena kebutuhan Nabi kepadanya. Bila Nabi membutuhkan shalawat, tak ada kebutuhan terhadap shalawatnya malaikat yang bersamaan dengan shalawatnya Allah kepada Nabi. Shalawat itu hanya untuk menampakkan pengagungan terhadap Nabi, sebagaimana Allah memerintahkan kita untuk mengingat Dzat-Nya sementara Allah tidak memiliki kebutuhan untuk diingat. Hal itu semata-mata karena untuk menampakkan sikap pengagungan terhadap Nabi dari kita dan untuk Allah memberikan pahala bagi kita atas pengagungan tersebut.”
Lebih lanjut, bershalawat kepada Nabi menjadi sarana untuk mendapatkan pahala dan anugerah dari Allah yang berlimpah ruah. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahun ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda:
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى الله عَلَيْهِ عَشْرًا
Artinya: “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR Muslim).
Pada riwayat lain dari sahabat Anas meriwayatkan sebuah hadits:
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ بَلَغَتْنِي صَلَاتُهُ وَصَلَّيْتُ عَلَيْهِ وَكُتِبَ لَهُ سِوَى ذَلِكَ عَشْرُ حَسَنَاتٍ
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Artinya: “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku maka shalawatnya sampai kepadaku dan aku bershalawat kepadanya dan ditulis baginya selain itu sepuluh kebaikan.” (HR Ath-Thabrani).
Orang yang mendapat shalawat dari Allah berarti dia mendapatkan anugerah yang sangat besar dari-Nya. Hal ini bisa dipahami setidaknya dari ekspresi Rasulullah ketika diberitahu malaikat Jibril perihal orang yang bershalawat kepada Nabi akan mendapat sepuluh shalawat dari Allah. Saat itu Rasulullah seketika bersujud sangat lama sekali sebagai rasa syukur bahwa umatnya mendapat anugerah yang begitu besar dari Allah hanya dengan bershalawat sekali saja.
Dengan demikian sesungguhnya yang membutuhkan shalawat bukanlah diri Rasulullah, namun umat beliau. Sebab ketika seseorang bershalawat kepadanya maka ia akan mendapatkan limpahan anugerah dari shalawatnya itu.
Maka, ketika kita membaca shalawat kepada Nabi, pada hakikatnya adalah kita sedang memohon rahmat Allah untuk diri kita sendiri, yang jauh lebih banyak dari rahmat yang kita mohonkan untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Semakin banyak kita bershalawat kepada Nabi, maka akan semakin banyak dan berlimpah pula rahmat Allah yang dianugerahkan kepada kita. Apalagi jika membiasakan diri memperbanyak shalawat kepada
Bila demikian adanya maka perintah Allah kepada orang-orang beriman untuk bershalawat kepada Nabi, sesungguhnya bukan saja untuk mewajibkan mereka memenuhi hak-hak Rasulullah dengan bershalawat. Namun juga sebagai sarana bagi orang-orang beriman untuk mendapatkan limpahan kebaikan dan keberkahan.
Sebaliknya, janganlah kita termasuk orang yang bakhil alias pelit bin medit, karena enggan membaca shalawat kepada Nabi. Bahkan saat nama Nabi disebutpun, kita tidak bershalawat.
Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan kita dalam riwayat dari Ali bin Abi Thalib.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: البَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ. رواه الترمذي.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Orang yang sangat pelit adalah orang yang ketika namaku disebut di sampingnya, ia tidak mau membaca shalawat kepadaku.” (HR At-Tirmidzi).
Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad…… Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad…… Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad…… Aamiin. (L/RS2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital