Amerika di Antara Benci dan Rindu (Oleh: Shamsi Ali)

Oleh: , Cendikiawan Indonesia, tinggal di AS

Dari dulu Amerika itu memang unik. Atau tepatnya Amerika selalu ingin tampil unik, beda dari negara/bangsa lain di mata dunia. Bahkan Amerika tidak mau disamai atau disamakan dengan siapapun dalam hal-hal mendasar dan biasa dari kehidupan.

Ketika orang lain menyebut bola kaki dengan football, Amerika menyebutnya Soccer. Ketika dunia menimbang sesuatu dengan ukuran kilogram, Amerika menyebutnya pound. Dunia mengukur lebar/panjang sesuatu dengan centimeter dan hektar, Amerika memakai kata feet dan acres. Ketika dunia menyebut panjangnya perjalanan dengan kilometer, Amerika menyebutnya mile. Demikian seterusnya.

Kemampuan membangun imej atau persepsi itu menjadikan Amerika kadang ingin tampil berbeda (exceptional). Terlebih lagi ketika negara ini dipimpin oleh seorang Presiden yang rasis seperti Donald Trump. Kulit manusia pun ingin dipilah-pilah dengan penilaian kemuliaan dan kehinaan. Rasisme pun menjadi trademark keistimewaan yang menjijikkan.

Akhir-akhir disebabkan oleh beberapa peristiwa buruk di dunia global, dosa tua Amerika di Afghanistan, sisa-sisa perang Irak/Suriah yang seolah menjadi dosa turunan, kini perang Ukraina dan banyak lagi isu-isu global menyeret Amerika ke dalam ragam masalah yang cukup rumit.

Belum lagi krisis domestik yang klasik namun sangat rumit dan berbahaya. Permasalahan ekonomi akibat Covid, yang diperparah oleh perang Rusia-Ukraina misalnya sangat terasa dan mengkhawatirkan. Hal lain yang paling mengkhawatirkan adalah kebebasan memiliki dan penyalahgunaan senjata yang tak terkontrol. Pembunuhan terjadi hampir setiap hari di berbagai belahan negeri.

Harga minyak yang berimbas melonjaknya harga hampir semua kebutuhan pokok. Bahkan tidak sekedar harga yang melambung. Akibat dari harga minyak yang meninggi juga sangat mengganggu transportasi bahan-bahan pokok kebutuhan sehari-hari. Sehingga banyak toko yang kosong dari barang-barang jualan.

Kesulitan demi kesulitan yang dialami oleh Amerika menimbulkan masalah-masalah non physical lainnya. Salah satunya adalah terjadi krisis kesehatan mental (mental health crisis) yang cukup akut. Hal ini semakin memperburuk masalah keamanan, khususnya yang terkait dengan kebebasan memiliki senjata.

Akankah Amerika ambruk?

Dengan semua permasalahan yang dihadapi Amerika saat ini sebagian melihat jika Amerika telah berada di ambang keambrukannya. Bahkan sedemikian tidak sukanya (bencinya) sebagian orang kepada Amerika mereka ingin Amerika ambruk sekarang juga.

Saya ingin menyampaikan bahwa dengan segala permasalahan yang dihadapi oleh Amerika saat ini, baik di luar maupun di dalam negeri, Amerika masih merupakan negara yang “powerful”. Saya lebih memilih kata powerful ketimbang “super power” karena beberapa pertimbangan.

Satu di antaranya yang terpenting adalah bahwa dalam dunia global saat ini telah terjadi “power sharing” yang hampir merata. Dunia tidak lagi didominasi oleh kekuatan tunggal. Dan karenanya kata super power sesungguhnya sudah kurang relevan dalam dunia global saat ini.

Selain itu dengan kemajuan informasi, khususnya media sosial, kekuatan dan keistimewaan (exceptionality) Amerika tidak bisa lagi direkayasa. Dunia dengan sangat mudah melihat berbagai kelemahan Amerika (dan semua bangsa). Kebohongan sebuah bangsa (atau pemimpinnya) dengan mudah tertelanjangi oleh dunia yang berkarakter terbuka. Karenanya tidak ada lagi rahasia di antara kita.

Kembali kepada pertanyaan di atas. Akankah Amerika ambruk dalam waktu dekat karena permasalahan-permasalahan yang dihadapi saat ini?

Dalam beberapa kesempatan saya sampaikan bahwa jangan cepat bermimpi melihat Amerika ambruk karena permasalahan ekonomi, militer, bahkan politik. Amerika memiliki fondasi yang kuat dalam semua itu. Sebagaimana kokohnya pembangunan kota New York yang direncanakan ratusan tahun silam, demikian kokohnya fondasi perekonomian, perpolitikan, apalagi pertahanan militer Amerika.

Separah-parahnya perekonomian di negara ini warga Amerika tidak seharusnya kelaparan. Berbagai institusi menyediakan layanan sosial bagi mereka yang membutuhkan. Satu Karakter paradoks Amerika yang di satu sisi individualistik. Tapi di sisi lain berkarakter sosial yang tinggi.

Justeru seperti yang sering saya sampaikan dalam beberapa kesempatan, kelemahan dan krisis terbesar Amerika saat ini adalah krisis moralitas. Krisis ini merupakan konsekuensi langsung dari krisis spiritualitas (kegersangan batin) yang menimpa Amerika dan dunia Barat sejak lama.

Saya tidak perlu lagi merinci berbagai manifestasi masalah yang dihadapi Amerika akibat krisis moralitas itu. Tapi kita lihat yang paling menonjol adalah hilangnya rasionalitas dan keseimbangan dalam pengambilan berbagai kebijakan publik.

Beberapa contoh dapat saya sebutkan sebagai misal saja. Konsep kebebasan dan hak dasar menjadi alasan dilegalkannya perkawinan sejenis. Konsep kebebasan dan hak konstitusi juga menjadi dasar bagi bebasnya kepemilikan senjata.

Liberalisme atau kebebasan tanpa batas (jika sejalan dengan paham mereka) dan tak terkontrol menjadi alasan untuk membebaskan terjadi berbagai perilaku yang jelas merusak tatanan moralitas dan kemanusiaan.

Semua realita di atas sesungguhnya merupakan ancaman yang lebih nyata dan krisis yang lebih berbahaya bagi Amerika ketimbang resesi ekonomi atau perang Ukraina seperti yang disangkakan sebagai orang. Dan ini pulalah yang bisa menjadi pintu ambruknya negara kuat (powerful) ini.

Jadi jangan riang dulu dengan kebencian sebagian, yang ingin segera melihat Amerika ambruk. Kebencian memang kadang membawa mimpi-mimpi panjang untuk melihat orang lain jatuh. Tentu dengan harapan kita menjadi kuat dan menang. Padahal “over hatred” (kebencian berlebihan) ternyata sering menimbulkan halusinasi hidup.

Sebaliknya diakui atau tidak, hingga detik ini juga masih banyak yang bermimpi datang ke Amerika. Lapangan kerja masih tersedia luas. Jaminan gaji lebih jelas dengan minimum wage (gaji minimum) yang juga terjamin. Jadi tukang cuci piring masih memungkinkan untuk anda mengendarai mobil sendiri di Amerika.

Belum lagi Universitas-Universitas terbaik dunia masih ada di Amerika. Anda mau Harvard, MIT, Yale, Cornell, Princeton, atau juga Columbia dan NYU sekalipun.

Semua ini menjadi penyebab tumbuhnya perilaku paradoks pada sebagian orang dalam memandang Amerika. Mereka kadang benci Amerika tapi juga merindukannya.

Kata anak bungsu saya, Ayman: Alhamdulillah still America, yetsss! (AK/RE1/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)