Amona, Tanah Warga Palestina yang Dicaplok

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj islamic News Agency (MINA)

Di selatan Tepi Barat yang dijajah oleh otoritas Israel, ada kota kecil Silwad, 12 km di timur laut dari kota Ramallah.

Tepatnya di Route 449. Warga Palestina bernama Atallah Abdelhafez bisa melihat tanah pertaniannya, tempat ia dan ayahnya memanen buah anggur setiap musim gugur.

“Saya pergi dan bekerja di lahan. Mengolah tanah, memangkas pohon-pohon dan saya tidur di sana, kadang-kadang sendiri di musim panas,” kata Abdelhafez kepada wartawan Al Jazeera yang menemuinya.

Melalui pinggiran jalan yang sibuk, Abdelhafez berjalan dari kota Jericho ke arah Ramallah, itu adalah jalan terdekat yang ia lalui untuk melihat tanah keluarganya yang seluas 34 dunam.

“Semua itu ditutupi pohon anggur. Sebagian besar di bagian atas bukit,” katanya sembari menunjuk ke sebuah bukit berhutan. “Terakhir kali saya mengunjunginya pada tahun 2000, 16 tahun yang lalu, tetapi sejak itu saya telah dicegah melakukannya oleh pemukim dan tentara (Israel).”

Penjajah Israel telah mencaplok tanah keluarga Abdelhafez sejak tahun 2000.

Sekarang bisa terlihat, di puncak bukit yang jauh, sekelompok rumah trailer putih dan dua tangki air berdiri di samping sekelompok pohon pinus. Itu adalah Amona, sebuah pos pemukiman warga Israel yang dibangun secara ilegal di atas tanah milik pribadi warga Palestina.

Baca Juga:  Rihlah ke Taman Dinosaurus, Perkuat Iman dan Semangat Hafalan

Amona didirikan dua dekade lalu oleh mahasiswa yang menggambarkan diri mereka sebagai pelopor Yahudi untuk merevitalisasi “tanah air” kuno.

Namun pada 2014, pengadilan tinggi Israel menengarai bahwa penguasa telah membangun pos secara ilegal di atas tanah milik pribadi. Pengadilan memutuskan bahwa pos harus sepenuhnya dievakuasi pada akhir Desember 2016.

Di antara pemukim ilegal Yahudi yang paling awal menempati Amona adalah Avichay Buaron. Ia telah memimpin kampanye untuk mencegah evakuasi Amona.

Buaron mengatakan kepada Al Jazeera bahwa tanah itu tidak digunakan untuk pertanian atau perumahan ketika mereka tiba di awal tahun 1996. Namun, klaim itu dibantah oleh pemilik tanah warga Palestina.

Buaron mengatakan, pemerintah Israel mendukung dan membantu berdirinya Amona.

“Ketika kami datang ke pegunungan ini, pemerintah membantu kami. Pemerintah mengatakan tanah ini adalah tanah negara. Kami tidak datang untuk mencuri sesuatu dari seseorang,” kilahnya. “Jika pemerintah mengirim kami dan ada masalah, maka pemerintah yang harus memecahkan masalahnya.”

Pemukim Yahudi yang kini menjabat posisi senior di jajaran kabinet pemerintah sayap kanan, telah menanggapi evakuasi dengan mengusulkan rencana kontroversial untuk memindahkan Amona ke tanah di dekatnya.

Baca Juga:  Sebanyak 26 Tentara dan 2 Pemukim Israel Tewas di Gaza dan Tepi Barat

Atallah Abdelhafez. (foto: Nigel Wilson/Al Jazeera)
Atallah Abdelhafez. (foto: Nigel Wilson/Al Jazeera)

Kementerian khusus telah membentuk komite keadilan dan rencana relokasi bergantung pada perundangan properti terbengkalai Israel yang disajikan pada awal Agustus kepada Jaksa Agung, Avichai Mandelblit, yang memerintahkan penyelidikan atas status tanah di sekitar Amona.

Pada tanggal 11 Agustus 2016, Administrasi Sipil Israel menerbitkan rencana di surat kabar Palestina, menunjukkan 30 bidang tanah telah ditandai untuk relokasi Amona. Lembaga kolonial itu menyerukan warga Palestina yang mengklaim kepemilikan tanah-tanah yang ditandai agar mendaftarkan diri dalam waktu 60 hari ke depan.

Padahal rencana tersebut belum disetujui, premis menggunakan properti terbengkalai untuk membangun pemukiman, telah dikutuk oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) dan kelompok-kelompok hak asasi manusia Israel.

Michael Sfard, seorang pengacara dari LSM Israel Yesh Din, mengatakan bahwa langkah tersebut akan menjadi “revolusi” dalam cara mengklaim hak milik yang ditangani di wilayah-wilayah pendudukan (terjajah).

“Sampai saat ini, properti terbengkalai, yang merupakan properti yang pemiliknya tidak ada di wilayah itu, dianggap milik pribadi yang harus dijaga (oleh negara) dan pasti tidak dapat digunakan untuk jangka panjang,” kata Sfard.

Menurut Sfard, jika itu sebuah paket pertanian tanah, satu-satunya hal yang pemerintah kolonial Israel bisa lakukan adalah menjaga paket tanah itu untuk pemiliknya dan terus mengolahnya. Otoritas Israel tidak dapat mengubah tujuan properti dengan cara sedemikian rupa dramatis, sehingga properti pertanian itu menjadi daerah perumahan untuk pemukim Yahudi.

Baca Juga:  Kubah Sakhrah, Poros Langit dan Bumi

“Jika posisi hukum ini akan diadopsi, itu akan menjadi pukulan besar bagi gagasan bahwa Israel mempertahankan atau menghormati milik pribadi warga Palestina,” katanya.

Dalam beberapa pekan mendatang, Jaksa Agung Mandelblit diharapkan bisa menegaskan posisinya di proposal relokasi, di tengah meningkatnya tekanan dari pemerintah dan pemukim untuk menemukan solusi bagi 40 keluarga Yahudi yang saat ini tinggal di Amona.

Buaron mengatakan, masyarakat akan memfokuskan energinya untuk mencegah segala jenis evakuasi terhadap mereka.

“Jika polisi datang untuk mengevakuasi kami, kami akan melawannya,” katanya. “Ini tidak akan mudah. Kami berencana untuk membawa 15-20.000 orang duduk di lantai untuk Amona. Kami tidak akan mengangkat tangan pada saudara-saudara kami, tapi akan sangat sulit untuk mengevakuasi kami.”

Sementara itu, dengan hak hukum atas tanah keluarganya yang dikonfirmasi oleh keputusan pengadilan tahun 2014, Abdelhafez optimis bahwa ia akan mendapatkan kembali tanah keluarganya dalam beberapa bulan.

“Saya benar-benar berharap bahwa saya akan mendapatkan kembali tanah saya,” katanya. “Saya ingin menanam anggur dan pohon almond dan memeliharanya dengan baik, seperti itu sebelumnya.” (P001/P4)

Sumber: tulisan Nigel Wilson di Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)