Anggota DPR Dorong Rasionalisasi Biaya Haji

Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf.(Foto: Istimewa)

Jakarta, MINA – Anggota Komisi VIII menyatakan, penyelenggaraan ibadah harus dilakukan secara efisien. Jika terjadi inefisiensi dalam penyelenggaraan ibadah haji, maka perlu ada upaya untuk mengefektifkan dengan langkah seefisien mungkin.

“Saya mendorong rasionalisasi biaya haji. Bahkan jika perlu, penyelenggaraan haji dengan skema Government (G) to Business (B) ditinjau kembali,” jelas Bukhori di Jakarta sebagaimana keterangan tertulisnya diterima MINA, Rabu (24/8).

Legislator Dapil Jawa Tengah 1 dari Fraksi PKS ini mengungkapkan, biaya riil haji pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 2022 mencapai Rp98.570.000 per orang. Dia menilai biaya riil yang nyaris menyentuh nominal Rp100 juta ini sangat timpang dengan setoran jamaah yang hanya dibebankan sekitar Rp35 juta per orang.

“Akibatnya, kesenjangan antara biaya riil haji dengan biaya yang disetorkan jamaah tergolong besar, yakni lebih dari 50 persen. Sebab itu perlu ada rasionalisasi biaya perjalanan ibadah haji (Bipih),” tegasnya.

Bukhori menjelaskan, kekurangan dana haji selama ini ditutup oleh nilai manfaat yang diperoleh dari pengelolaan dana yang jamaah setorkan sebelumnya untuk mendapatkan nomor kursi, senilai Rp35 Juta per jamaah.

“Selanjutnya, mereka mesti menunggu di antara rentang waktu 25-40 tahun tergantung masing-masing daerah. Di saat yang bersamaan, selama masa tunggu dana yang telah mereka setorkan itu dikelola melalui investasi oleh BPKH,” ujarnya.

Bukhori menambahkan, dari besaran biaya haji saat ini, yaitu Rp35 juta, nantinya akan dikembalikan kepada jamaah sekitar 5 juta sebagai uang saku sehingga total setoran jamaah sebenarnya adalah Rp30 juta. Sedangkan di sisi lain, biaya riil haji nyaris mencapai Rp100 juta, yang berarti masih ada kekurangan sekitar Rp70 juta.

“Pertanyaannya adalah apakah dana setoran sebesar Rp35 juta yang telah dikelola selama 25 hingga 40 tahun itu, nilai manfaatnya mampu mencapai Rp70 juta atau tidak? Bila tidak sepadan, maka setoran jamaah haji tidak cukup dengan Rp35 juta saja.

Terkait dengan berapa nominal yang perlu ditambah, sambungnya, itu membutuhkan kajian yang lebih mendalam sehingga bila terjadi ketidakseimbangan, maka harus ditelaah di mana letak masalahnya.

“Apakah masalahnya di pengelolaan keuangan hajinya sehingga perlu dikelola secara progresif, atau karena masalah sedikitnya setoran jamaah? Jika ternyata masalahnya terletak pada setoran jamaah, maka setorannya harus ditambah. Sementara jika persoalannya ada pada regulasi, maka opsi untuk mengubah UU eksisting perlu untuk dipertimbangkan,” tuturnya.

Bukhori mengungkapkan, BPKH mengelola dana yang dihimpun dari sekitar 5 juta jamaah haji dengan dana kelolaan sekitar Rp170 triliun, dimana nilai manfaat yang diperoleh dari jumlah tersebut nyaris mencapai Rp8 triliun dalam situasi normal, semisal tahun 2019.

“Walaupun demikian, patut digarisbawahi bahwa dana sekitar dari Rp8 triliun tersebut bukan semata-mata hak jamaah yang berangkat tahun ini, melainkan hak semua jamaah haji yang telah menyetorkan dananya yang jumlahnya sekitar Rp5 juta itu,” ucapnya.

Selanjutnya, demikian Bukhori melanjutkan, yang menjadi kekhawatiran kami adalah apabila Arab Saudi kemudian memberikan kita kuota tambahan, dengan kebijakan biaya perjalanan ibadah haji (bipih) yang masih bertumpu pada subsidi hingga lebih dari 50 persen, konsekuensinya BPKH akan dituntut untuk menutupi biaya dua kali lipat untuk sekali perjalanan.

“Artinya, jika nilai manfaat yang diperoleh adalah Rp8 triliun, maka itu akan habis pakai untuk sekali musim. Kemudian jika Saudi menaikan kuota hingga 100 persen, maka sekitar Rp16 triliun akan habis hanya untuk menutupi biaya haji dikarenakan operasional haji diperkirakan memakan biaya Rp16 triliun untuk sekali musim,” bebernya.

Dengan demikian, apabila demi menutupi penyelenggaraan haji untuk sekali musim membutuhkan Rp16 triliun, lanjutnya, pertanyaannya adalah bagaimana memperoleh tambahan Rp8 triliun lainnya mengingat perolehan nilai manfaat yang sekitar Rp8 triliun selama ini didapat dengan cara investasi, yang kami nilai lebih banyak dilakukan secara konvensional?

Anggota Badan Legislasi ini menambahkan, apabila strategi investasi yang dilakukan BPKH hanya melalui penempatan, pihaknya khawatir cara tersebut tidak akan mampu menjaga keberlangsungan keuangan haji.

Dia mengatakan, undang-undang pengelolaan keuangan haji mendorong BPKH untuk melakukan investasi langsung, akan tetapi dalam praktiknya BPKH belum mampu untuk memperbanyak investasi langsung.

“Mungkin karena risiko, atau karena BPKH masih tergolong lembaga baru yang lahir pada tahun 2017, jadi belum terlalu lama. Karena itu, investasinya kebanyakan hanya di penempatan. Sedangkan, jika hanya di penempatan, keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari 6 atau 7 persen per tahun. Ini tidak akan bisa menutupi kekurangan setoran jamaah terhadap biaya riilnya,” terangnya.

Selain itu, politisi PKS ini menyarankan supaya ke depan, pembagian dana nilai manfaat kepada jamaah yang melalui Virtual Account (VA) dapat mencerminkan pembagian yang lebih riil.

“Contohnya, sepanjang tahun 2020 dana VA dialokasikan sebanyak Rp2 triliun, selanjutnya pada tahun 2021 senilai Rp2,5 triliun. Walaupun masing-masing jamaah haji sama-sama menyimpan uang Rp35 juta, semestinya kebijakannya adalah jamaah haji yang dananya paling lama terendap, nilai manfaat yang diperolehnya semakin besar. Tidak hanya itu, supaya jamaah haji merasakan dampak riil keuntungan dari investasi, maka nilai manfaat yang tersimpan di VA sudah semestinya diberikan dalam bentuk riilnya, ” katanya.

Tidak cukup sampai di situ, Bukhori juga menyinggung soal koreksi yang juga diperlukan terhadap penggunaan istilah subsidi dalam konteks penyelenggaraan haji.

“Penggunaan istilah subsidi juga perlu dikaji ulang. Pasalnya, sumber dana yang disebut subsidi selama ini sesungguhnya berasal dari dana milik jamaah haji yang dititipkan kepada BPKH untuk dikelola sehingga menghasilkan nilai manfaat. Sebab itu, istilah yang sebenarnya lebih memadai adalah distribusi nilai manfaat, bukan subsidi,” pungkasnya.

Sebelumnya, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyoroti besaran subsidi dana haji, sebagaimana menurut laporan BPKH, telah mencapai 60 persen. Sementara, Bipih yang dibebankan kepada jamaah tidak sampai separuh dari BPIH.

Wapres menyampaikan kekhawatirannya bahwa subsidi yang terlalu besar akan terus menggerus dana haji sehingga dapat mengganggu kesinambungan pembiayaan haji di masa mendatang.(R/R1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.