Oleh: Rendy Setiawan, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Islam dewasa ini, tidak pernah terlepas dari gelar terorisme yang disandangkan media-media, khususnya media Barat dalam pemberitaannya. Gelar itu memiliki tujuan melemahkan Islam dan memutus jalan dakwah Isam. Ketika pembelaan terhadap Islam melalui berbagai aksi jihad terjadi, cap sebagai teroris pun dilabelkan.
Namun demikian, tidak semua kekerasan yang mengatasnamakan agama disebut sebagai mujahid. Anggapan seperti itu tentu tidak benar, karena Islam bukanlah agama yang membenarkan kekerasan dalam dakwahnya.
Jihad merupakan istilah yang sangat mulia dalam Islam. Tidak tanggung-tanggung, Allah Ta’ala bahkan akan menganugerahi Syurga yang dimasuki tanpa hisab, bagi orang yang mati dalam rangka berjihad di jalan Allah (Syuhada).
Baca Juga: Inilah Tanda Orang Baik, Inspirasi dari Kisah Nabi Musa Belajar kepada Khidir
Namun sayang sekali, istilah jihad saat ini disalahartikan oleh orang-orang yang tidak menyukai Islam. Sebagai akibatnya, muncul berbagai citra buruk terhadap Islam, dibatasinya gerakan dakwah, dan muncul berbagai kerusakan-kerusakan yang lainnya.
Apa itu Jihad?
Secara Bahasa, kata ‘Al-Jihaad’ berasal dari kata ‘Jaahada’, yang bermakna ‘Al-Juhd’ (kesungguhan) atau ‘Al-Jahd’ (tenaga atau kemampuan). Jihad secara bahasa berarti mengerahkan dan mencurahkan segala kemampuannya secara sungguh-sungguh baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Sedangkan secara istilah syari’ah, ‘Al-Jihaad’ berarti seorang muslim mengerahkan dan mencurahkan segala kemampuannya secara sungguh-sungguh untuk memperjuangkan dan menegakkan Islam demi mencapai ridha Allah Ta’ala.
Baca Juga: Begini Cara Mengucapkan Aamiin yang Benar dalam Shalat Berjamaah Menurut Hadits
Oleh sebab itu, kata-kata jihad selalu diiringi dengan kata ‘fi sabilillah’ untuk menunjukkan bahwa jihad yang dilakukan umat Islam harus sesuai dengan ajaran Islam agar mendapat keridhaan Allah Ta’ala.
Sayyid Hasan Al-Banna pernah berkata, “Yang saya maksud dengan jihad adalah suatu kewajiban sampai hari kiamat dan apa yang dikandung dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
Artinya: “Siapa yang mati, sedangkan ia tidak berjuang atau belum berniat berjuang, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah”.
Adapun urutan yang paling rendah dari jihad adalah ingkar hati terhadap kemungkaran, dan yang paling tinggi adalah perang mengangkat senjata di jalan Allah. Di antara itu ada jihad lisan, pena, tangan dan berkata benar di hadapan penguasa yang dzalim.
Baca Juga: Salam Es Teh
Jihad sendiri diwajibkan kepada laki-laki yang baligh, berakal, sehat badannya dan mampu melaksanakan jihad. Jihad tidak diwajibkan atas: anak-anak, hamba sahaya, perempuan, orang pincang, orang lumpuh, orang buta, dan orang sakit.
Dakwah tidak akan hidup kecuali dengan jihad, seberapa tinggi kedudukan dakwah dan cakupannya yang luas, maka jihad merupakan jalan satu-satunya yang mengiringinya.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya: “Berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad.” (Q.S. Al-Hajj : 78).
Dengan demikian aktivis dakwah tahu akan hakikat motto ‘Jihad adalah Jalan Juang Kami’.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-19] Jagalah Allah, Pasti Allah akan Menjagamu
Apa itu Teroris?
Kata teroris atau terorisme berasal dari kata latin ‘terrere’ yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Sedangkan dalam kamus Bahasa Arab modern, teroris diterjemahkan kedalam kata ‘irhab’ yang memiliki makna, segala sesuatu yang menimbulkan kepanikan, ketakutan dan membuat gelisah orang-orang yang aman. Kata Teror sendiri mengandung arti kengerian.
Tentu saja, kengerian di hati dan pikiran manusia. Tetapi, hingga kini tidak ada definisi terorisme yang bisa diterima secara universal.
Pada dasarnya, istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif, karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.
Baca Juga: Mengembangkan Pola Pikir Positif dalam Islam
Tidak ada negara yang ingin dituduh mendukung terorisme atau menjadi tempat perlindungan bagi kelompok-kelompok terorisme. Tidak ada pula satupun negara yang dianggap melakukan tindak terorisme karena menggunakan kekuatan (militer).
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan teroris dan terorisme, para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain.
Tetapi dalam pembenaran di mata terorisme, makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang. Sementara terorisme sendiri sering muncul dengan mengatasnamakan agama.
Mengapa dicap Teroris?
Baca Juga: Tadabbur QS. Thaha ayat 14, Dirikan Shalat untuk Mengingat Allah
Teroris berawal dari sebuah pemahaman yang salah tentang jihad. Jihad yang seharusnya diartikan sebagai ‘pentingnya kesungguhan dan kesabaran’ lalu berubah menjadi paham ideologis yang melahirkan sikap horor.
Sikap horor yang dimaksud, setidaknya mempunyai empat ciri; Pertama, tidak toleran terhadap perbedaan. Kedua, cenderung berpikir literalis dan mengabaikan aspek lokal dan sejarah.
Ketiga, memilih jalan kekerasan dan kebencian, daripada dialog dan persaudaraan. Empat, bersikap picik dan eksklusif dan melakukan sesuatu tanpa tujuan dan misi yang jelas. Hororisme secara perlahan tapi pasti akan menumbuhkan radikalisme yang pada akhirnya memunculkan terorisme.
Kezaliman global, kesenjangan sosial berupa kemiskinan, kebodohan, dan perpecahan, serta penafsiran teks agama yang kurang tepat menjadi cikal bakal munculnya terorisme.
Baca Juga: Terus Berjuang Membela Palestina
Perbedaan cara pandang terhadap teks suci memunculkan sikap eksklusif dan perilaku destruktif serta melahirkan klaim kebenaran yang keras dan tertutup.
Etika berperang dalam Islam
Islam adalah agama yang mengajak umat manusia untuk memperjuangkan keadilan, kesetaraan, kebebasan yang bertanggung jawab, kemaslahatan sosial, dan kerahmatan global. Untuk itu, dalam Islam, konsep jihad sebaiknya dimaknai secara benar dan proporsional, tidak menyandangnya sebagai aksi teroris.
Jihad, mengacu pada asal katanya ‘Al-juhd’ dan ‘Al-jahd’, berarti kesungguhan untuk mengatasi kesulitan. Jadi, jihad tidak selalu identik dengan perang dan kekerasan, melainkan terutama berjuang mewujudkan kehidupan yang semakin baik dan manusiawi, dengan cara-cara yang damai dan bijak.
Baca Juga: Lisanmu Adalah Cerminan Iman, Jangan Biarkan Kata-Kata Melukai..!
Jihad bisa dimaknai sebagai perang dan pembunuhan, hanya dalam tiga hal. Pertama, bertemunya dua pasukan saat berperang. Kedua, ketika wilayah Islam diduduki musuh. Ketiga, Imaam memerintahkan perang.
Perang pun tidak boleh dilakukan secara brutal dan sembarangan. Ada beberapa etika berperang dalam Islam. Pertama, tidak boleh membunuh warga sipil. Kedua, tidak boleh membunuh perempuan, anak-anak, dan orangtua renta. Ketiga, tidak boleh menghancurkan rumah ibadah. Keempat, tidak boleh merusak ekosistem alam seperti tumbuhan, air, dan semacamnya. Kelima, tidak boleh merusak fasilitas umum, seperti rumah sakit, stasiun, dan lain-lain.
Berbagai tindakan terhadap penyembuhan aksi terorisme awalnya disikapi dengan menghiasi jiwa kita akan pemikiran Islam yang lurus, penguatan aqidah, selalu dalam naungan wahyu Allah dan mau memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Solusi menghilangkan label Terorisme
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-18] Tentang Taqwa
Adapun solusi menghilangkan label terorisme di negeri-negeri non-Muslim, dengan cara membentengi diri dari sikap di luar ketentuan Syariat Islam serta selalu berpatokan pada nasehat Islam yang lurus.
Ini sebagaimana dilakukan oleh ulama Salaf Ar-Rabbani yang menyampaikan nasehat dan bimbingannya kepada manusia dan memperingatkan serta menunjuki mereka kepada jalannya para nabi dan rasul yang mulia.
Jalan itu adalah wahyu Allah yang dengannya tersucikan hati dari penyakit-penyakitnya dan tenangnlah jiwa dari kebingungannya dan kegoncangannya. Kecuali orang yang memang dikusai oleh nafsu angkara murka dan telah ditetapkan di dalam Lauhul Mahfudz sebagai orang yang sesat.
Hal yang sangat disayangkan adalah, mayoritas negeri Islam mengikuti jejak negeri-negeri non-Muslim dalam penegakkan hukum undang-undang dasarnya, yaitu dalam menyelesaikan masalah suatu negeri. Yaitu, biasanya mereka menyelesaikan dengan undang-undang yang mereka buat sendiri bukan dengan syari’at Islam yang suci ini. (P011/P4).
Baca Juga: Mahsyar dan Mansyar: Refleksi tentang Kehidupan Abadi
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)