“Dire” (mengerikan atau buruk sekali) adalah kata yang tidak diinginkan oleh negara dan orang terkait dengan ekonomi mereka. Namun, kata itu rasanya tidak cukup untuk menggambarkan krisis ekonomi yang terjadi di Venezuela.
Kurangnya transparansi makroekonomi dari pihak pemerintahan Presiden Nicolas Maduro telah membuatnya sulit secara akurat mengukur sejauh mana kesengsaraan negara itu.
Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), ekonomi Venezuela diperkirakan mengalami kontraksi lebih dari sepertiga antara 2013 dan 2017. Tahun lalu, itu diperkirakan menyusut 18 persen. Yang menambah kepedihan adalah hiperinflasi, yang menurut IMF bisa mencapai 10 juta persen pada paruh kedua 2019.
Di bawah angka yang hampir tak terduga itu ada prosesi penderitaan manusia yang mendalam. Sekitar tiga juta orang telah meninggalkan Venezuela sejak 2015, menurut PBB. Sistem kesehatan masyarakat hancur. Obat-obatan yang menyelamatkan jiwa, listrik, dan air bersih sangat terbatas. Makanan langka. Malnutrisi tersebar luas.
Baca Juga: Kejahatan Zionis di Era Digital
Sekarang negara itu berada dalam cengkeraman krisis politik yang telah membagi kekuatan utama dunia dan menyoroti berbagai narasi mengenai apa yang mendorong ekonomi Venezuela hancur.
Negara-negara Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) memberikan dukungannya di belakang Presiden Sementara Juan Guaido yang telah memproklamirkan diri.
Sementara Rusia, Cina, dan Turki mendukung Nicolas Maduro yang telah berjanji tetap berkuasa untuk masa jabatan kedua selama enam tahun, meskipun ada tuduhan luas terkait kecurangan dalam pemilu.
Maduro menuduh AS mengobarkan perang ekonomi melawan pemerintah sosialisnya. Namun, banyak ekonom dan pakar energi menyalahkan kebijakan Maduro dan kebijakan pendahulunya, mendiang Presiden Hugo Chavez, karena menghancurkan ekonomi negara itu dengan tidak mempermasalahkan peran penting yang dimainkan oleh minyak.
Baca Juga: Menjaga Kesehatan Saat Menghadiri Tabligh Akbar: Ini 7 Kiatnya
Kutukan Sumber Daya
Venezuela memiliki cadangan minyak yang terbukti terbesar di dunia. Pemerintah bergantung pada ekspor minyak mentah untuk bagian terbesar dari pendapatan dan mata uang asing.
Seperti banyak petrostate, Venezuela telah berjuang untuk mendiversifikasi ekonominya, membuatnya rentan terhadap siklus boom-bust.
Ketika minyak mahal, pundi-pundi pemerintah meluap. Ketika murah, mereka kosong.
Baca Juga: Silaturahim Membuka Pintu Keberkahan
Meningkatnya harga minyak mentah di tahun 2000-an membantu mendiang presiden, Hugo Chavez, membuat baik janjinya untuk memanfaatkan kekayaan minyak negara dengan mendanai program-program kesejahteraan yang bertujuan memperbaiki ketidaksetaraan dan kemiskinan.
Tetapi ketika harga minyak mulai anjlok pada tahun 2014, pemerintah baru penggantinya, Maduro, tidak siap untuk menghadapi pukulan itu.
“Mereka tidak menabung untuk di hari hujan,” kata Wakil Direktur Dewan Atlantik Paula Garcia Tufro kepada Al Jazeera. “Mereka tidak melakukan investasi jangka panjang.”
Kondisi itu terutama berlaku untuk sektor minyak negara. Ketika Chavez mengambil alih kekuasaan, Venezuela memompa sekitar 3,5 juta barel minyak per hari. Sejak itu produksi turun menjadi kurang dari sepertiga.
Baca Juga: Ini Dia Para Pembicara Tabligh Akbar dari Luar Negeri
Minyak adalah bisnis padat modal. Untuk mengamankan produksi di masa depan, Venezuela perlu menginvestasikan kembali sebagian besar rejeki nomplok dari tahun-tahun pemompaan ke perusahaan minyak milik negara, Petróleos de Venezuela, atau PdVSA.
Chavez gagal melakukan ini. Kebijakannya juga memusnahkan sektor keahlian vital.
“Jika Anda berbicara dengan para ahli yang telah lama bekerja dan mengikuti sektor minyak di Venezuela, mereka akan memberi tahu Anda ada keahlian teknis yang signifikan di masa lalu dan para ahli itu (kini) tidak ada lagi,” kata Garcia Tufro.
Menghadapi Sanksi
Baca Juga: Panitia Nyatakan Siap Gelar Tabligh Akbar, Layani Jamaah dengan Sepenuh Hati
Ekonomi sudah mengalami penurunan ketika Maduro mengambil alih kekuasaan, menempatkannya dengan pilihan yang tidak menyenangkan, baik memangkas pengeluaran kesejahteraan secara dramatis atau menjalankan defisit fiskal.
Maduro memilih yang terakhir.
Ketika inflasi dan kekurangan menyebabkan protes massal terhadap pemerintahannya, tindakan keras yang dilancarkannya sebagai tanggapan menyebabkan AS menjatuhkan sanksi pada 2014 dengan menargetkan individu-individu yang dituduh melakukan pelanggaran HAM.
Pada 2017, pemerintahan Presiden AS Donald Trump menimbulkan ketegangan dengan sanksi yang dirancang untuk membatasi perdagangan obligasi Venezuela, yang secara efektif mengunci negara itu keluar dari pasar kredit.
Baca Juga: Pentingnya Tabligh Akbar dalam Dakwah Islam
Sejak itu, Venezuela gagal dalam berbagai instrumen utang. Restrukturisasi tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat dan Moody’s Investor Service mencatat dalam laporan terbarunya, sanksi AS telah merusak “kemampuan pemerintah Maduro untuk menegosiasikan kembali kewajibannya.”
Pada tahun 2018, pemerintahan Trump membidik penjualan emas Venezuela. Namun eskalasi yang paling signifikan hingga saat ini terjadi pada hari Selasa, 29 Januari. AS mengumumkan sanksi terhadap PdVSA.
Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton mengatakan, langkah-langkah baru itu akan “membantu mencegah pengalihan lebih lanjut aset Venezuela oleh Maduro, dan akan melestarikan aset ini untuk rakyat Venezuela di mana mereka berada.”
Sebuah laporan PBB yang diterbitkan tahun lalu oleh mantan Utusan Khusus PBB Alfred de Zayas menyalahkan sanksi AS serta langkah-langkah oleh Uni Eropa dan Kanada, karena memperparah kekurangan makanan dan obat-obatan serta berkontribusi pada “banyak kematian”. (AT/RI-1/RS3)
Baca Juga: Melek Literasi dalam Jama’ah: Fondasi Kuat untuk Kemajuan Umat
Sumber: tulisan Patricia Sabga di Al Jazeera
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Inilah 10 Kebiasaan yang Dilarang dalam Islam tapi Dianggap Biasa