Apalah Kita Tanpa Mereka (Oleh : M. Waliyulloh)

Oleh : M. Waliyulloh, Ketua Pemuda Jama’ah Muslimin (Hizbullah) Lampung

Tahun 2012 seorang sineas India menyutradai film berbahasa Malayyalam India berjudul ‘Ustad Hotel’. Plot cerita relatif biasa, namun materi dan pesannya luar biasa. Berkisah tentang ambisi tokoh cerita bernama Faizi yang bercita cita menjadi chef terkenal. Meskipun ia bisa menggapai keinginannya tersebut, ia harus berseteru dengan ayahnya karena tidak setuju dengan pilihannya.

Konflik ayah anak membuat Faizi memilih hidup dengan kakeknya, Karim Ikka. Di rumah inilah Faizi belajar tentang esensi hidup, memahami bagaimana membangun dan menjalaninya dengan bijaksana, belajar menyadari bahwa mengisinya tidak cukup diwujudkan hanya untuk kepentingan ego dirinya sendiri.

Mulanya ia menggantungkan cita-cita menjadi chef dunia. Berbekal filosofi sederhana bahwa kebahagiaan dan kepuasan seorang chef tidak hanya pada lezatnya kuliner yang disajikan tetapi terletak pada aura kepuasan bagi siapapun yang menyantap hidangan itu. Dedikasi dan integritas pada dunia kuliner mengantarkan dirinya pada tawaran posisi executive chef di Paris.

Tetapi rasa senang itu tidak berlangsung lama. Saat dalam perjalanan pulang ia melihat gelandangan pengemis kelaparan di pinggir jalan sedang lahap menyantap kotorannya sendiri. Rasa lapar telah membutakan inderanya dari makanan yang sejatinya adalah kotoran.

Secara manusiawi ia tidak bisa menahan jijik, mual dan muntah. Namun secara naluri, itu merobek dan mengoyak nurani. Ia terpana dan terperangah. Bagaimana mungkin ada manusia seperti itu yang terlupakan oleh manusia lain di sekitarnya.

Ia terpekur merenung. Apa guna ia hidup dengan sejuta angan dan cita cita hanya untuk prestisius pribadi. Sehari-hari ia bergumul dengan makanan, menyingkirkan makanan itu hanya karena kurang garam. Sementara ada orang yang tidak bisa mengais makanan meski hanya secuil. Ia sudah tidak tega menyalahkan dunia kecuali menghakimi diri sendiri.

Sejak itu, berubahlah haluannya dari cita-cita chef dunia menjadi chef untuk kaum miskin papa. Ia abdikan dirinya untuk mereka, tidak sekedar berbagi dan memberi tetapi menyuapi, menyelimuti dan memberikan harapan bahwa dunia ini masih ada manusia. Alur cerita mengantarkan kita pada dialog klimaks yang diucapkannya ‘Kalau bukan karena gelandangan itu aku tidak pernah tahu dan memahami bahwa aku hidup’.

Kisah itu mungkin hanya fiksi meski disadur dari kisah nyata. Taglinenya adalah kepedulian dan kasih sayang kepada sesama manusia. Gelandangan pengemis itu hanya satu dari objek realitas manusia terkungkung dalam keranda nasib yang memilukan. Sungguh, masalah dunia ini bukan eksistensi mereka tapi eksistensi kita yang membutakan indera dan rasa untuk sekedar peduli.

Menyikapi keterbatasan orang lain dengan kepedulian adalah nafas dari ajaran Islam. Rasulullah sendiri memberikan tauladan melalui kepedulian dan kedermawanan. Cintanya kepada fakir miskin tidak hanya diaktualisasikan melalui sedekah bahkan meski Rasulullah berkecukupan namun lebih memilih hidup sederhana.

Demikian juga sahabat Abu Bakar yang memiliki tingkat kedermawanan di atas rata rata. Ia akan sembab jika ada saudaranya yang merana dan rela menebus dengan seluruh hartanya. Sementara, sahabat Umar menjadikan status Amirul Mukminin sebagai penjaga kaum fakir miskin. Ia begitu takut kalau ada makmumnya yang lapar sampai sampai ia berkeras membawa dan mengantar sendiri sekarung bahan makanan kepada fakir miskin yang memasak batu.

Mereka adalah para hamba Allah yang kualitas imannya terbingkai indah dan menghiasi setiap langkah hidup mereka.

Sudah sepatutnya kita meneladani mereka dalam bersikap terhadap keterbatasan orang lain. Sesungguhnya kemiskinan itu seusia dengan dunia, sebagai salah satu fenomena ujian untuk manusia. Walaupun kekayaan dan kemiskinan memiliki proporsi sama sebagai ujian, tetapi umumnya kecenderungan manusia memaknai kemiskinan sebagai satu satunya cobaan hidup. Padahal Allah Azza wa Jalla berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan Kami menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan dan hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan.” (QS Al-Anbiya: 35)

Oleh sebab itu, ujian kelapangan seyogyanya melahirkan empati dan kepedulian berbagi. Karena muara ujian kelapangan adalah kepedulian sedangkan muara ujian kesempitan adalah kesabaran.

Lulusnya hamba dalam menghadapi ujian ini berarti kesuksesannya memaknai kasih sayang dan cinta Allah Azza wa Jalla. Karena letak kasih sayang Allah tidak hanya pada penghambaan mahluk kepada Khaliq tetapi juga kasih sayang kepada sesama. (A/wly/B03/RS2).

Mi’raj News Agency (MINA).