Oleh Rudi Hendrik, wartawan MINA
Arifin Ahmad tumbuh sebagai pelajar yang kutu buku dan pekerja keras. Selain rajin membaca berbagai macam buku dan kitab-kitab tafsir, bahkan sempat melumat empat kitab injil dengan membacanya sampai tuntas, Arifin muda sudah mulai bekerja selagi dia masih di masa sekolah SMEA.
Obsesi Arifin dalam mencari pengamal sunnah Nabi, mendorongnya bertekad meninggalkan Kota Bima di Pulau Sumbawa ke Ibu Kota DKI Jakarta. Di Jakarta inilah kemudian perjalanan spiritualnya membentuknya menjadi seorang dai dan pedagang sapi jenis bima setiap menjelang Hari Raya Idul Adha.
Siswa kutu buku dan pekerja keras
Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad
Arifin putra sulung dari sembilan bersaudara. Selain itu, dia memiliki tiga suadara dari lain ibu, sehingga mereka 12 bersaudara. Orangtuanya berprofesi sebagai petani di Bima, Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Lahir pada 3 Maret 1968, Arifin menamatkan pendidikan SD, SMP dan SMEA-nya di Bima.
Arifin adalah seorang siswa yang kutu buku, suka sekali membaca berbagai macam buku.
Pada masa SMEA, Arifin memilih bekerja di saat siang sepulang sekolah. Pagi dia sekolah, siang bekerja di bangunan atau terkadang di cat plitur.
Baca Juga: Nama-nama Perempuan Pejuang Palestina
“Ingin sekali mengurangi beban orangtua. Sehingga ketika teman-teman itu pulang ke kampung minta bekal ke orangtua, saya malah bawa pulang bekal. Saya malah tidak minta ke orangtua. Alhamdulillah,” kata Arifin kepada MINA saat ditemui di kandang penjualan sapinya di Cengkareng Jakarta Barat pada Ahad, 12 Mei 2024.
Gegara telunjuk tasyahud bergoyang, ngotot ke Jakarta
Pada jenjang pendidikan SMEA, Arifin tinggal di rumah saudara, sangat dekat dengan pondok pesantren, beda kecamatan dengan rumah orangtuanya. Dia bergaul dan akrab dengan siswa Aliyah dan orang-orang yang sekolah di Pendidikan Guru Agama (PGA).
Hampir setiap habis magrib dia tinggal di pondok pesantren sampai jam 11.00 malam, ikut taklim dan pengajian terus. Sering tidur di Ponpes Al-Hidayah milik KH Ilyas tersebut. Seperti itu selama tiga tahun.
Baca Juga: Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham
KH Ilyas mengajarkan banyak sunnah-sunnah Nabi Muhammad SAW kepada murid-muridnya.
Arifin banyak mendapat pelajaran dari beliau. Salah satu yang sangat membuat Arifin penasaran adalah tentang sunnah menggerakkan jari telunjuk ketika duduk tasyahud dalam shalat.
Pada tahun terakhir tingkat SMEA, KH Ilyas berpesan kepada Arifin mengenai obsesinya ingin banyak tahu tentang sunnah Nabi.
“Kamu tidak cukup di sini. Yang lebih bagus kamu merantau ke Pulau Jawa atau ke Jakarta. Ya kalau bisa ke Mekkah, ke Madinah, Ke Yaman negara Timur Tengah, itu kalau bisa. Namun, kalau bagi yang tidak mampu, ke kota besar saja, ke Jakarta,” kenang Arifin kala KH Ilyas berpesan.
Baca Juga: Abah Muhsin, Pendekar yang Bersumpah Jihad Melawan Komunis
Menurut KH Ilyas, di Jakarta, Arifin akan bertemu dengan banyak orang yang mengamalkan sunnah-sunnah Nabi SAW.
Karena pesan KH Ilyas itulah Arifin terobsesi untuk ke Jakarta dan kuliah di sana. Padahal dia bercita-cita jadi ABRI dan sudah bisa jadi PNS di kampungnya, terlebih orangtuanya sangat tidak setuju dan mengancam tidak akan membiayai perjalanannya ke Jakarta.
Namun, Arifin memaksa untuk tetap ingin pergi ke Jakarta. Dia terpaksa menjual kerbau aduan miliknya, yang saat itu terbesar di Bima, demi ongkos ke Ibu Kota Negara.
Saat itu tahun 1989.
Baca Juga: Pangeran Diponegoro: Pemimpin Karismatik yang Menginspirasi Perjuangan Nusantara
Ketika Arifin sudah membeli tiket, dia justru dihadapkan pada pernikahan. Dia memberi syarat kepada calonnya untuk tidak melarangnya pergi ke Jakarta.
Maka menikahlan Arifin dengan kekasihnya. Setelah itu dia berangkat ke Jakarta.
Perjalanan spiritual di atas kehancuran rumah tangga
Di Jakarta, Arifin menyelesaikan kuliahnya hingga ujian skripsi. Namun, karena sakit keras, dia tidak ikut wisuda dan tidak bisa mengambil ijazahnya.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Dalam perjalanan hidupnya di Jakarta untuk bertahan hidup, Arifin menekuni berbagai macam pekerjaan, dari guru honorer, pegawai bank, hingga buruh pabrik.
Sejalan itu, ternyata kisah cinta dan kehidupan rumah tangganya yang terpisah oleh lautan harus berujung perpisahan, dengan karunia seorang putra yang lahir di kampung. Karna suatu alasan yang kuat, Arifin menceraikan istrinya.
Ketika bekerja di sebuah pabrik ternama di Jakarta Barat, Arifin menemukan apa yang menyebabkannya datang ke Jakarta, yaitu sunnah menggerak-gerakkan jari telunjuk saat tasyahud dalam shalat.
Namanya Sutisna, seorang rekan buruh pabrik berambut gondrong.
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Suatu saat, Arifin melihat Sutisna shalat di musala pabrik. Ketika tasyahud, ternyata telunjuk Sutisna bergoyang-goyang.
“Nah ini oang yang saya cari-cari,” kata Arifin di dalam hati kala itu. Namun, saat itu Arifin diam, tidak berani menegur.
Pada waktu yang lain, Arifin yang rindu mengaji, membaca Al-Qur’an di musala. Dulu Arifin adalah qori yang bersuara merdu. Seusai mengaji, ada Sutisna yang kemudian menegur dan memuji suara Arifin. Kemudian terjadilah dialog seputar agama.
Sutisna menyampaikan satu ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 214 yang terjemahannya berbunyi, “Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu….”
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Mendengar dan merenungi ayat tersebut, Arifin muda langsung meledak tangisnya.
Sejak itulah Arifin mulai ikut rutin taklim di dalam pengajian yang diikuti oleh Sutisna dan sejumlah karyawan lainnya. Yang mengejutkan Arifin, ternyata ustaz yang membina adalah almarhum Ustaz Ma’ruf, satpam pabrik yang diajaknya bertengkar saat pertama masuk bekerja.
Arifin semakin giat mendalami ilmu agama. Sebagai seorang kutu buku, Arifin sangat rajin membeli kitab-kitab, termasuk Tafsir Ibnu Katsir yang terdiri dari empat jilid tebal. Ia pun giat memperdalam pemahamannya kepada banyak ulama, termasuk salah satunya adalah almarhum KH Zainuddin MZ.
Melawan kura-kura
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
Arifin memiliki karakter dai yang kuat. Kehadirannya di tengah-tengah kelompok buruh yang sudah memiliki karakter sosial yang islami, membuat ia dan rekan-rekan sukses membudayakan hijab bagi karyawan Muslimah.
Namun, seolah-olah sudah menjadi fitrahnya bahwa akan selalu ada pihak yang tidak suka melihat syariat Islam membudaya di suatu lingkungan, termasuk di lingkungan kerja.
Karena budaya hijab yang diterapkan di lingkungan kerja, ada oknum yang melaporkan Arifin ke pihak berwajib. Sebanyak empat kali Pengadilan Negeri Jakarta Barat memanggil Arifin terkait masalah tersebut.
Dengan izin Allah, dengan mudahnya Arifin menyampaikan kepada hakim saat persidangan. Dia bertanya balik kepada hakim karena atas saran gurunya, Almarhum Ustaz Saifuddin, melawan kura-kura cukup dibalikkan. Kura-kura maksudnya adalah orang-orang pembohong.
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia
“Kalau memang pakai jilbab tidak boleh, maka saya minta kepada hakim untuk menghafal pasal 29 ayat 1 dan 2. Jadi hakim menghapal,” kisah Arifin.
Maka, hakim mengetok palu dan menyatakan kasus ditutup.
Pada masa menduda sekitar dua tahun, Arifin menikah dengan seorang gadis Betawi bernama Maryani, gadis tetangga di kontrakan. Pernikahan mereka dianugerahi enam orang anak, satu muslimin dan lima Muslimah.
Sukses dagang sapi Bima
Pada tahun 2008, Arifin dan rekan-rekan yang notabene tinggal di Cengkareng dan Kedaung Jakarta Barat, membeli sapi untuk qurban Hari Raya Idul Adha di Depok. Itu terbilang jauh.
Sepulang dari membeli sapi, Arifin memiliki ide, “Kenapa bukan kita yang jual sapi? Ini jauh banget (beli di Depok).”
Namun, baru tahun 2010 rencana itu terwujud. Arifin sebagai putra Bima, banyak tahu tentang sapi Bima yang berasal dari kampung kelahirannya.
Langkah awal adalah asal buka kandang dan jual. Seluk beluk pengetahuan tentang jual sapi belum begitu paham. Target pasar pertama adalah komunitasi suku Bima yang sudah menetap di Jakarta.
Tahun pertama, prospeknya luar biasa, harga masih murah-murah karena dari asalnya memang masih murah.
Sapi asal Bima memiliki kelebihan tersendiri dibanding sapi jenis lain. Itulah salah satu faktor yang kemudian membuat pelanggan pada tahun-tahun berikutnya meningkat pesat.
“Tahun kedua berikutnya dan seterusnya, jadi orang mulai membedakan rasa dagingnya. Saya melakukan uji coba membandingkan daging sapi ini (Bima) dengan daging sapi jenis lain usai dibekukan di freezer,” kata Arifin kepada MINA.
Menurut Arifin, secara global ada 20.000 ekor sapi Bima yang dikirim. Sementara Arifin dan kongsinya sanggup menampung 250-300 ekor sapi.
Pada masa Covid-19 lalu, penjualan sapi Arifin justru meningkat tinggi.
Tingginya keuntungan yang diraih dari menjual sapi Bima untuk qurban hari raya membuat dai bertitel Sarjana Pendidikan ini terus menekuni usaha tersebut. Adapun kesehariannya, Arifin dan keluarga membuka warung sembako.
Namun, di balik kesuksesan dagang sapi Bima ini, Arifin tidak melaluinya dengan mudah. Banyak sekali tantangan yang harus dihadapi. []
Mi’raj News Agency (MINA)