BAGAIMANA ISRAEL GUNAKAN AIR UNTUK KONTROL KEHIDUPAN PALESTINA

carlotte silverOleh: Charlotte Silver, wartawan independen yang berbasis di Oakland, California, sebelumnya berbasis di Tepi Barat, Palestina 

Pengantar

Di daerah Pegunungan Shuafat, kota Al-Quds bagian timur, saat musim panas menjadi saat yang mencekam karena kelangkaan air. Padahal, puluhan ribu warga Palestina yang tinggal di daerah itu, sangat memerlukan air seperti direkomendasikan oleh organisasi kesehatan dunia WHO (World Health Organization).

Daerah ini terpisah dari kota lainnya dengan batas dinding pembatas setinggi delapan meter, yang sengaja dibangun sejak 2005.

Di sebelah timur Shuafat muncul permukiman mewah illegal Yahudi Pisgat Ze’ev, yang dibangun sejak awal 1980-an. Sementara warga Palestina menempati perumahan kumuh di atas tanah yang dijajah Israel sejak 1967. Meskipun masyarakat internasional tidak mengakui kedaulatan Israel di daerah tersebut.

Data Penduduk

Tidak ada data lengkap tentang jumlah penduduk warga Palestina di Pegunungan Shuafat. Namun diperkirakan jumlah warga telah meningfkat empat kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir, sekitar 80.000 orang.

Sementara infrastruktur air secara tradisinonal hanya cukup untuk 15.000 warga. Sehingga kebanyakan warga hidup tanpa air mengalir yang memadai. Mereka dapat bertahan hidup dengan kiriman air truk-truk dari Tepi Barat atau membeli air kemasan galon.

Kesempatan ini, digunakan oleh Israel untuk menjual air, dengan keuntungan tahun lalu mencapai 2 milyar dolar AS (sekitar 26,8 triliun rupiah).

Rupanya memang Israel menggunakan teknologi air untuk menguasai daerah ini, dan sudah dirancang sejak puluhan tahun lalu. Pemerintah bahkan menggelontorkan dana besar untuk membangun pusat teknologi air nasional, yang mengalirkan air dari Danau Tiberias di utara ke padang pasir Negev di selatan.

Israel memang memegang kendali dan kontrol atas sumber air utama danau sejak merebut dataran tinggi Golan tahun 1967.

Saat ini, Israel benar-benar sedang mengontrol kehidupan Palestina melalui kendali air. Israel pun menawarkan produk terkait dengan apa yang disebut kemenangan air untuk dunia, menjanjikan untuk membebaskan daerah lain dari ancaman kekeringan dan kelangkaan air. Tujuan utamanya adalah tetap menjadikan air sebagai alat kontrol nasib Palestina.

Baca Juga:  Serangan Al-Qassam Tewaskan dan Lukai Sejumlah Tentara Israel di Kerem Shalom

warga palestina angkut air
Warga Palestina di kawasan Shuafat sedang mengangkut air dari lembah ke pegunungan (The Nation)

Kondisi Mengkhawatirkan

Di tengah kelangkaan air, apalagi menjelang musim panas nanti, Israel justru melanjutkan pembangunan dinding pembatas, diikuti oleh penghentian layanan kota, dan ditambah warga masih harus membayar pajak kota.

Memang, warga Palestina di kota Al-Quds bagian Timur yang dijajah Israel ini memiliki status genting. Sebagian besar tidak memiliki kewarganegaraan Israel, tetapi mereka membawa kartu pengenal warga Yerusalem (Al-Quds). Sehingga warga tidak mendapat cukup pasokan seperti warga Palestina lainnya di di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Warga terpaksa harus memenuhi kriteria berat tertentu untuk mempertahankan status sebagai warga Al-Quds. Bahkan sejak 1967 hingga kini, Israel telah mencabut status lebih dari 14.000 warga Palestina di Al-Quds Timur.

“Mereka memperlakukan kami seperti pasngan tidak menikah dan kita tidak juga diceraikan,” kata Abu Adam, menyoal kebijakan Israel.

Efrat Cohen-Bar, arsitek Israel yang mengkhususkan diri dalam perencanaan kota, khususnya di Al-Quds Timur, menjelaskan, selama sebelas tahun terakhir dia bekerja untuk Bimkom, sebuah LSM Israel yang bergerak di bidang perencanaan, tata ruang, dan arsitektur, militer Israel memang memiliki kontrol penuh daerah tersebut.

“Mereka ingin menempatkan dinding pembatas sebanyak mungkin di sisi-sisi lain, dan pada saat yang bersamaan menggenggam daerah sebagai bagian dari jajahan.

Menurutnya, tata ruang daerah itu memang sudah dirancang Israel sejak tahun 1920, oleh arsitek yahudi terkenal Jerman Richard Kauffmann. Kauffmann ditugaskan oleh otoritas Mandat Inggris, yang menguasai Palestina pada saat itu, untuk merancang beberapa lingkungan di Yerusalem.

Demografi Kawasan

Cohen-Bar menemukan dalam penelitiannya, ide rancangan Israel yang sesungguhnya adalah agar warga tidak bisa membangun, sehingga mereka diharapkan segera meninggalkan kawasan itu.

Baca Juga:  Serangan Al-Qassam Tewaskan dan Lukai Sejumlah Tentara Israel di Kerem Shalom

Ia menambahkan, termasuk kelangkaan air tanpa henti di kawasan Shuafat merupakan bagian integral dari strategi Israel yang lebih besar untuk tetap mengontrol kawasan kota Al-Quds Timur tersebut.

Pada pertengahan 1970-an, direktur perencanaan kebijakan untuk kota Al-Quds, Yisrael Kimhi, menjelaskan bahwa salah satu pilar dalam perencanaan kota adalah soal demografi kawasan.

Istilah yang dikenal dengan keseimbangan demografis, mengacu pada kesimpulan Komite Gafni, yang didirikan pada tahun 1972 untuk menentukan pembangunan kota.

Berdasarkan rekomendasi Komite Gafni, pemerintah Israel kemudian memutuskan untuk mempertahankan rasio 70-30 orang Yahudi dan Arab di kota Al-Quds.

Namun, menurut Cohen-Bar, walaupun pemerintah Israel menggunakan sistem perencanaan sebagai alat untuk keseimbangan demografis, tetapi tampaknya upaya itu tidak akan berhasil.

Menurutnya, data statistik 2012 menunjukkan rasio Yahudi Israel dan Arab Palestina di Al-Quds berbanding 61-39, dari rencana awal 70-30.

kawasan shuafat jpost
Kawasan Pegunungan Shuafat di kota Al-Quds bagian Timur (Jpost)

Tanpa Izin

Abu Adam, salah seorang warga Palestina yang tinggal di kamp pengungsi Shuafat, sampai-sampai ia membeli beberapa tanah yang aslinya adalah milik warga Palestina sendiri, hanya untuk membangun rumah bagi keluarganya.

Seperti juga puluhan ribu warga lainnya yang telah membangun rumah di daerah itu. Mereka tetap membangunnya, sebab tidak ada gunanya menunggu Israel untuk mengeluarkan izin membangun.

Pemerintrah Israel sendiri menganggap mereka, dan hampir semuanya diangagap oleh Israel sebagai bangunan illegal. Mereka pun tidak berhak mendapatkan air dari penguasaan Israel.

Warga hanya menggunakan alat tradisional untuk menggali sumber air hingga ratusan meter. Motor kecil pendorong air yang digunakan untuk mengalirkan air ke hampir tiga kilometer dari pipa di bagian bawah lembah ke pegunungan, jelas tidak cukup untuk seluruh warga di kamp.

“Orang-orang di sana menjerit menangis karena kekurangan air,” ujar Abu Adam.

Hak untuk Air

Pada puncak kekurangan kritis tahun 2014 lalu, Asosiasi Hak Sipil di Israel ACRI mengajukan petisi kepada Mahkamah Agung Israel untuk menemukan solusi krisis tersebut. Asosiasi menggunakan alasan bahwa semua orang memiliki hak untuk air.

Baca Juga:  Serangan Al-Qassam Tewaskan dan Lukai Sejumlah Tentara Israel di Kerem Shalom

Sekitar dua pekan kemudian, air memang sempat mengalir kembali ke dalam pipa ke daerah itu.

“Tapi itu belum menjadikan krisis kemanusiaan berakhir, belum ada solusi nyata telah tercapai,” kata Anne Suciu, salah satu pengacara ACRI yang bekerja pada kasus ini.

Musa Ahmed Hussein Hassan di bagian, sal;ah satu warga di atas lembah mengatakan, ia dan warga lainnya kini hampir tiap malam turun ke lembah untuk mengisi tangki air untuk persiapan besok pagi. Sebab jika menunggu siang hari, tidak ada tersisa air.

Menurut Suciu, Hagihon perusahaan Israel yang menyediakan air ke kota, sengaja mematikan aliran air, sehingga negara Palestina akhirnya akan terdorong untuk campur tangan.

Ketika ACRI mengajukan petisi terhadap Hagihon dan beberapa lembaga negara tahun 2014 lalu, Hagihon mengusulkan 189.500.000 syikal (55 juta dolar AS atau sekitar 739 miliar rupiah).  Dana itu digunakan untuk rencana proyek yang akan menghubungkan semua rumah, terlepas dari legalitas, untuk pasokan air benar-benar menjangkau sekitar tiga puluh kilometer pipa ke seluruh warga. Tapi badan pemerintah Israel menolak untuk mendanai itu, dengan dalih tidak akan menyediakan air untuk bangunan ilegal. Mahkamah Agung Israel pun sama, menguatkan kebijakan pemerintahnya.

Hagihon pun atas desakan asosiasi sipil, kembali ke meja perundingan dengan rencana jauh lebih murah, yang kemudian diterima pemerintah Israel, namun dengan syarat bahwa penduduk harus membayar untuk itu.

Pemerintah Israel rupanya sudah mengukur total konsumsi air dan membagi biaya merata di antara penduduk.

Padahal, sejak awal musim panas tahun ini, menurut Suciu, beberapa warga di daerah itu telah melalui hiduonya, hingga tiga hari tanpa setetes air.

Begitulah, Israel rupanya sedang memainkan hak untuk membeli air dari Israel, yang itu semuanya tetap bermuara pada mempertahankan kontrol atas semua sumber daya alam di wilayah itu, agar tetap dalam kendali Israel. Sumber : The Nation. (T/P4/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0