Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Ujub adalah salah satu penyakit hati yang kadang tidak terasa dilakukan oleh seseorang. Karena ujub bagian dari penyakit hati yang bisa membinasakan amal seseorang, maka seharusnya seorang muslim memperhatikan bagaimana agar amalnya bisa terjaga dari ujub.
Allah menciptakan kita untuk beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Namun hendaknya seorang hamba ketika mengerjakan ketaatan dan mendapatkan kenikmatan merasakan karunia yang diberikan Allah Ta’ala dan taufiq (pertolongan)-Nya kepada dirinya, sehingga dia dapat mengerjakan ketaatan tersebut.
Allah-lah yang memberikan kenikmatan dan memudahkannya untuk mengerjakan ketaatan, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Nya. Dengan begitu sikap ujub –yang muncul karena melihat kelebihan pada dirinya serta tidak merasakan karunia dan taufik Allah– akan hilang.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Ujub adalah…
Ujub artinya merasakan kelebihan pada dirinya tanpa melihat siapa yang memberikan kelebihan itu. Ia adalah penyakit hati yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala, jika nampak atsar/pengaruhnya kepada lahiriah seseorang seperti sombong dalam berjalan, merendahkan manusia, menolak kebenaran dan sebagainya. Maka yang nampak ini disebut dengan kibr atau khuyala’ (kesombongan). Dan memang sebab munculnya kesombongan adalah karena adanya ujub di hati. Ujub adalah salah satu penyakit hati di samping hasad (dengki), kibr (sombong), riya’, dan mahabbatuts tsanaa’ (mencintai sanjungan).
Hukum ujub
Ujub hukumnya haram dan termasuk dosa-dosa besar. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
وَلاَتُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَتَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (ka–rena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi de–ngan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18)
Ada yang mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah janganlah kamu alihkan rahang mulutmu ketika disebut nama seseorang di hadapanmu seakan-akan kamu meremehkannya. Sedangkan maksud “orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” adalah orang-orang yang ujub terhadap dirinya dan membanggakan dirinya di hadapan orang lain.
Bahkan sebagian ulama ada yang memasukkan ujub ke dalam bagian syirk yang dapat menghapuskan amalan. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwa ikhlas terkadang dihinggapi penyakit ujub. Siapa saja yang merasa ujub karena amal yang dilakukannya, maka akan hapuslah amalnya.”
Ujub dalam Amal
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Di dalam Alquran disebutkan kisah Qarun (lihat Al Qashsash 76-83). Allah Ta’ala memberikan kepadanya harta yang banyak di mana kunci-kuncinya sungguh berat sampai dipikul oleh sejumlah orang-orang yang kuat.
Kaumnya telah mengingatkan Qarun agar jangan bersikap sombong karena Allah tidak suka kepada orang-orang yang sombong, namun nasihat itu dijawabnya dengan mengatakan, “Sesungguhnya aku diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”, yakni kalau bukan karena Allah ridha kepadaku dan Dia mengetahui kelebihan pada diriku, tentu aku tidak diberikan harta ini (sebagaimana dikatakan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam).
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan apakah ia (yakni Qarun) tidak mengetahui, bahwa Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta?” (QS. Al Qashshas: 78)
Qarun terkena penyakit ujub dan sombong. Suatu hari ia keluar kepada kaumnya dalam satu iring-iringan yang lengkap dengan para pengawalnya untuk memperlihatkan kemegahannya kepada kaumnya, maka Allah benamkan dia dan rumahnya ke dalam bumi akibat kesombongannya.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Contoh lain ujub adalah seperti dalam hadis riwayat Abu Dawud, bahwa ada dua orang bersaudara di zaman bani Israil, yang satu mengerjakan dosa, sedangkan yang satu lagi rajin beribadah.
Orang yang rajin beribadah ini senantiasa memperhatikan saudaranya yang mengerjakan dosa sambil berkata, “Berhentilah (melakukan dosa)!”, suatu ketika orang yang rajin beribadah ini memergoki saudaranya sedang mengerjakan dosa, lalu ia berkata, “Berhentilah (melakukan dosa)!”
Namun saudaranya balik menjawab, “Demi Tuhanku, biarkanlah diriku, dan memangnya kamu dikirim untuk mengawasiku?” Maka orang yang rajin beribadah itu berkata, “Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu atau tidak akan memasukkanmu ke surga.” Maka Allah mencabut nyawa keduanya, dan keduanya berkumpul bersama di hadapan Allah.
Allah berfirman kepada orang yang rajin beribadah, “Apakah kamu mengetahui Diriku atau berkuasa terhadap apa yang Aku lakukan dengan Tangan-Ku?”, maka Allah berfirman kepada orang yang mengerjakan dosa, “Pergilah dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku”, sedangkan kepada yang satu lagi Allah berfirman, “Bawalah dia ke neraka.”
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Abu Hurairah yang meriwayatkan hadis ini berkata, “Demi Allah yang diriku di Tangan-Nya, ia telah mengucapkan kata-kata yang membuat dirinya binasa dunia dan akhirat.”
Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang mengatakan “Orang-orang telah binasa”, maka sebenarnya kata-kata itu telah membinasakannya.”
Imam Malik berkata –menerangkan hadis di atas-: “Apabila ia mengucapkan kata-kata itu karena melihat keadaan orang-orang yakni agamanya (yang kurang), saya kira hal itu tidak mengapa…, akan tetapi apabila ia mengucapkan kata-kata itu karena merasa ujub dengan dirinya dan merendahkan manusia, maka hal itu dibenci dan dilarang.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Siapa menganggap besar dirinya dan bersikap sombong dalam berjalan, ia akan menemui Allah dalam keadaan Allah murka kepadanya.” (HR. Hakim dan para perawinya dapat dipercaya)
Maksud “menganggap besar dirinya” adalah merasa dirinya sebagai orang besar dan pantas untuk dimuliakan.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Dari keterangan di atas, dapat kita ketahui bahwa ujub menghalangi seseorang dari mencapai kesempurnaan, ia juga sebab yang membuat seseorang binasa di dunia dan akhirat; betapa banyak kenikmatan berubah menjadi siksaan, kekuatan menjadi kelemahan, kemulian menjadi kehinaan akibat ujub. Selain itu ujub dapat menutupi kebaikan pada seseorang, menampakkan keburukan dan mendatangkan celaan. Di antara akibat lainnya adalah mendapatkan kekalahan, penyebab turunnya murka Allah, mendapatkan kebencian dari manusia dan dapat menghapuskan amal shalih.
Perhatikanlah peristiwa perang Hunain, karena ujub jumlah yang banyak menjadi tidak berarti apa-apa, lih At Taubah: 25.
Nasihat Ulama
Berikut ini ada beberapa nasihat para ulama dan orang-orang shaleh tentang ujub. Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu berkata, “Jangan-lah sekali-kali kamu meremehkan seorang muslim, karena orang muslim yang rendah itu di hadapan Allah adalah mulia.”
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Sesungguhnya kalian telah lalai dari ibadah yang paling utama, yaitu tawaadhu’ (lawan ujub dan sombong).”
Aisyah juga pernah ditanya, “Kapankah seseorang telah bersalah?” Ia menjawab, “Ketika dirinya mengira bahwa ia orang yang terbaik.”
Qatadah rahimahullah pernah berkata, “Barangsiapa yang diberikan harta, kecantikan, pakaian maupun ilmu, kemudian ia tidak bertawadhu’, maka nanti akan menjadi musibah baginya pada hari kiamat.”
Muhammad bin Wasi’ berkata, “Kalau sekiranya dosa itu dapat tercium baunya, tentu tidak seorang pun yang akan mau duduk bersamaku.”
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Dalam riwayat disebutkan bahwa Umar bin Abdul ‘Aziz apabila berkhutbah di atas mimbar, lalu dirinya khawatir tertimpa ujub, maka ia memutuskan khutbahnya. Dan apabila ia menulis tulisan yang di sana membuatnya ujub, maka ia merobeknya dan berkata, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan diriku.”
Ibnu Rajab berkata, “Seorang mukmin sepatutnya senantiasa melihat dirinya jauh dari derajat yang tinggi, sehingga dengan begitu ia mendapatkan dua pelajran berharga; sungguh-sungguh dalam mengejar keutamaan serta berusaha menambahnya lagi dan melihat dirinya dengan penglihatan yang kurang.”
Ibnul Qayyim berkata, “Berhati-hatilah dari sikap berlebihan (mengatakan) “saya”, “saya memiliki” dan “milik saya”, karena lafaz-lafaz tersebut telah membuat Iblis, Firaun dan Qarun tertimpa cobaan. “Saya lebih baik darinya” diucapkan Iblis. “Saya memiliki kerajaan Mesir” diucapkan Firaun dan “Sesungguhnya aku diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku” diucapkan Qarun.” Wallahua’lam. (A/RS3/B05)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah