Banda Aceh, MINA – Rancangan Qanun Keluarga merupakan inisiatif Eksekutif (Dinas Syariat islam) dan sedang dalam proses pembahasan di DPR Aceh.
Rancangan Qanun Keluarga yang mengatur poligami disambut secara beragam oleh masyarakat, baik yang mendukung maupun menolak dengan berbagai argumentasi.
Menanggapi hal ini, Suraiya Kamaruzzaman, Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh (Balaisyura) menganggap bahwa pengaturan dengan sangat khusus tentang pelegalan poligami ini, masih belum tepat, mengingat masih banyak masyarakat Aceh yang masih hidup dalam garis kemiskinan, dan banyaknya persoalan sosial lain yang ada di masyarakat serta masih banyak hal lainnya yang lebih urgensi untuk diatur dan diprioritaskan.
Menurut data BPS, Aceh masuk dalam peringkat angka kemiskinan tertinggi di Sumatra dan nomor enam tertinggi di Indonesia dengan persentase 15,97 %.
Baca Juga: Menag RI Buka BAZNAS International Forum untuk Palestina
“Itu lebih penting untuk diselesaikan dari pada urusan melegalkan poligami,” kata Suraiya, Kamis (11/7).
Balai Syura melihat bahwa hal ini tidak mengakomodir kepentingan perempuan, namun akan menyebabkan semakin maraknya praktik-praktik poligami di Aceh.
Kebijakan ini tentu hanya akan menguntungkan pihak-pihak yang akan melakukan poligami, tapi diragukan akan menguntungkan perempuan dan anak.
Karena dari banyak kajian menyebutkan bahwa anak-anak dan perempuan akan lebih sejahtera dan bahagia apabila hidup dalam perkawinan monogami, dimana hanya ada keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-nak.
Baca Juga: Masjid Pantai Bali Gelar Lomba Omplok Layar Tunjukkan Solidaritas Palestina
Persepsi yang terlalu maskulin dalam melihat poligami hanya akan menguntungkan pihak laki-laki dan dipakai dalam merumuskan kebijakan ini.
“Seharusnya qanun ini diarahkan untuk kepentingan penguatan ketahanan keluarga, menyelesaikan persoalan-persoalan kesejahteraan keluarga, bukan fokus pada melegalkan praktik poligami yang menyebabkan istri dan anak yang dalam banyak paktik malah menjadi terlantar,” ungkap Suraiya.
Secara hukum, pengaturan dan pelegalan poligami telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), dengan syarat-syarat khusus.
Pengaturan kembali tentang poligami dalam Rancangan Qanun ini, akan menjadi tidak produktif dan tumpang tindih dan menimbulkan kebingungan dalam praktek pelaksanaannya.
Baca Juga: Market Day Festival Baitul Maqdis Meriahkan BSP 2024 di Samarinda
Balaisyura menilai pengaturan tentang poligami dalam rancangan qanun, malah menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak setara, dan menafikan kesejahteraan dan keadilan bagi perempuan dan anak, dan hanya memperhatikan kempentingan laki-laki.
Alasan pengaturan poligami untuk menyelesaikan persoalan nikah siri, dan perlindungan perempuan dan anak dalam pernikahan siri sangat tidak beralasan.
“Untuk penyelesaian nikah siri, seharusnya kebijakan penghapusan nikah siri yang harus dibuat, bukan sebaliknya poligami yang dilegalkan dan beberapa pasalnya malah sangat diskriminatif dan merugikan perempuan dan anak,” pungkasnya.
Suraiya mengatakan, Jika eksekutif dan legislatif yang sedang membahas raqan keluarga, memuat pasal poligami dengan tujuan untuk perlindungan perempuan dan anak, meskinya Pengaturan poligami fokus untuk mengatur cara mencegah problem sosial poligami seperti penelantaran nafkah keluarga, apa sanksinya kalau ditelantarkan dan apa skema pemenuhan nafkah jika terjadi penelantaran.
Baca Juga: Jama’ah Muslimin Kutuk Keras Tentara Zionis Kencingi Al-Qur’an
Dalam pembahasan Rancangan Qanun ini, pihak legislatif sangat minim melibatkan perempuan untuk menyuarakan pendapatnya terkait dengan masalah dan kebutuhan perempuan dan anak untuk penguatan ketahanan keluarga, seperti penigkatan perekonomian keluarga, peningkatan kulaitas pendidikan, kesehatan dan kehidupan sosial lainnya .
Balai Syura mendesak pemerintah Aceh untuk menijau kembali pengaturan tentang pelegalan poligami di dalam kebijakan daerah, dan lebih fokus mengatur pencegahan nikah siri dan berbagai upaya lain, untuk mensejahterakan masyarakat, termasuk anak-anak, perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Suraiya juga menambahkan Kalau membaca raqan yg terlihat justru memudahkan para pelaku poligamer dimana yang diatur di KHI ada tiga persyaratan harus terpenuhi baru boleh poligami namun raqan tersebut dibuat menjadi salah satu dari tiga yang terpenuhi sudah boleh melakukan poligami.
Selain itu, kalau di KHI jika istri tidak setuju bisa membawa kasus sampai ke kasasi, tapi kalau diraqan kalau jika istri tidak setuju Mahkamah Syariah berhak memutuskan.
Baca Juga: Menag Wacanakan Pramuka Wajib di Madrasah dan Pesantren
Jadi isi pasalnya lebih berpihak kekeinginan para poligamor dari pada upaya perlindungan perempuan
Selain dari hal itu, Sebaiknya qanun keluarga tidak hanya bersifat normatif, seperti mengurusi persoalan pernikahan, perceraian dan poligami, namun juga dituntut agar memasukkan indikator-indokator ketahanan keluarga yang dapat diukur untuk kesejahteraan keluarga, termasuk perempuan dan anak. (L/AP/RI-1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Imaam Yakhsyallah Mansur: Al-Qur’an Dikencingi Tentara Israel, Kita tidak Boleh Diam!