Beirut, MINA – Delegasi dari Gugus Tugas Amerika untuk Lebanon telah menekankan pentingnya mempercepat pembentukan pemerintahan untuk membangun program sosial ekonomi sebelum terlambat.
Seruan itu muncul setelah delegasi, didampingi oleh duta besar AS untuk Lebanon Dorothy Shea, mengadakan pembicaraan dengan beberapa pejabat di Lebanon pada Senin (17/7), demikian Arab News melaporkan.
Edward Gabriel, kepala American Task Force for Lebanon (ATFL), mengatakan, waktu bergerak cepat, dan pemerintah harus mempercepat undang-undang dan kebijakan, melaksanakan reformasi yang diperlukan, mengambil langkah-langkah untuk memenuhi kebutuhan warga guna mendorong negosiasi dengan Moneter Internasional.
“Kami membutuhkan mitra, dan mitra itu adalah pemerintah, yang harus bertindak cepat untuk mencapai apa yang diminta darinya,” kata Gabriel.
Baca Juga: Gunung Berapi Kanlaon di Filipina Meletus, 45.000 Warga Mengungsi
Ia mengatakan, AS memberikan bantuan senilai lebih dari $700 juta ke Lebanon tahun lalu, dan Presiden Joe Biden “tidak melupakan Lebanon” selama kunjungannya ke Timur Tengah.
Biden menyebutkan beberapa masalah yang mempengaruhi Lebanon, dan menekankan integritas wilayah Lebanon selama pertemuannya.
Seruan AS itu datang ketika asisten yudisial memutuskan bergabung dengan pemogokan karyawan sektor publik, sehingga menyebabkan pengadilan di Lebanon terhenti.
Pegawai sektor publik telah melakukan pemogokan selama sekitar satu bulan menuntut agar gaji dinaikkan, dan tunjangan transportasi dinaikkan.
Baca Juga: Pengadilan Belanda Tolak Gugatan Penghentian Ekspor Senjata ke Israel
Para asisten mengatakan bahwa mereka berhenti bekerja secara permanen, dan tidak akan membuat pengecualian apa pun, baik untuk kasus-kasus mendesak atau penuntutan umum, dan tidak akan lagi mengeluarkan pemberitahuan atas nama departemen dan pengadilan.
Joseph Talj, seorang pejabat dari komite asisten yudisial, mengatakan, sejak krisis dimulai pada 2019, asisten yudisial telah melihat betapa malangnya kehidupan orang-orang, dan sekarang menderita seperti mereka dalam memenuhi kebutuhan.
Mereka tidak bisa lagi menyediakan makanan untuk keluarga mereka, pendidikan yang layak, atau perawatan kesehatan.
“Bagaimana kita bisa bekerja di istana keadilan di mana kesetaraan, dan keadilan tidak ada? Entah kita bekerja untuk menjalani kehidupan yang layak dengan anak-anak kita, atau kita tinggal di rumah dan mati karena kelaparan dan penyakit,” ujarnya.
Baca Juga: Macron Resmi Tunjuk Francois Bayrou sebagai PM Prancis
Upah minimum setara dengan $23 menurut nilai tukar pasar gelap LBP29.500. Sebelum keruntuhan finansial, jumlahnya mencapai $444.
Dengan dicabutnya subsidi BBM dan obat-obatan secara bertahap, serta ketidakmampuan lembaga kesehatan dan jaminan sosial untuk menanggung biaya rawat inap bagi pegawai sektor publik, para pekerja melakukan mogok kerja karena tidak mampu memenuhi standar hidup minimum. (T/R6/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Jerman Batalkan Acara Peringatan 60 Tahun Hubungan Diplomatik dengan Israel