Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

BELAJAR AGAMA SAMBIL BELAJAR WIRAUSAHA DI DESA MLANGI

Septia Eka Putri - Kamis, 6 Agustus 2015 - 13:24 WIB

Kamis, 6 Agustus 2015 - 13:24 WIB

830 Views ㅤ

Sripujo, Sesepuh Desa Mlangi. (Foto:MINA)
Sripujo, Sesepuh <a href=

Desa Mlangi. (Foto:MINA)" width="247" height="300" /> Sripujo, Sesepuh Desa Mlangi. (Foto:MINA)

Sleman, Yogjakarta, 21 Syawwal 1436/6 Agustus 2015 (MINA) – Pesantren-pesantren di Desa Mlangi, Slemen, Yogyakarta, selain tempat belajar agama Islam, juga tempat usaha seperti konveksi baju, sebagai salah satu bentuk usaha untuk kelangsungan hidup santri yang tidak mampu, serta belajar berwirausaha, menurut Sripujo sesepuh di daerah sekitar pesantren tersebut, Kamis (6/8).

“Di sini santri yang belajar Agama, selain belajar, kita beri modal usaha, untuk melatih diri mereka menjadi pribadi yang mau berusaha dan bekerja keras, serta bekal mereka nantinya setelah selesai belajar dari sini,”ujar Sripujo saat di temui wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA) di Jln. Mlangi RT 01 RW 28, Nogotirto, Gamping, Sleman, Yogyakarta.

Sripujo mengatakan, Mlangi diberi bantuan oleh Pemerintah kota Yogyakarta seperti alat jahit dan kebutuhan untuk berwirausaha lainnya.

Nama Mlangi tak lepas dari sosok Kyai Nur Iman yang sebenarnya adalah kerabat Hamengku Buwono I, bernama asli Pangeran Hangabehi Sandiyo. Kisahnya, Nur Iman yang sudah lama membina pesantren di Jawa Timur diberi hadiah berupa tanah oleh Hamengku Buwono I.

Baca Juga: Menag Tekankan Pentingnya Diplomasi Agama dan Green Theology untuk Pelestarian Lingkungan

Tanah tersebut yang kemudian dinamai ‘mlangi’, dari kata bahasa Jawa ‘mulangi’ yang berarti mengajar. Dinamai demikian sebab daerah itu kemudian digunakan untuk mengajar agama Islam.

“Berkeliling ke dusun Mlangi, kita akan menjumpai setidaknya 10 pesantren. Diantaranya, sebelah selatan masjid pesantren As-Salafiyah, sebelah timur Al-Huda, dan sebelah utara Al-Falakiyah. Pesantren As-Salafiyah merupakan yang paling tua, dibangun sejak 5 Juli 1921 oleh K.H. Masduki,” jelas Sripujo

Dia melanjutkan, mulanya, As-Salafiyah bukanlah pesantren, hanya komunitas yang belajar agama di sebuah mushola kecil. Komunitas itu lantas berkembang menjadi pesantren karena banyak yang berminat. Meski bangunannya tak begitu besar, pesantren ini memiliki 300-an santri dan menggunakan metode mengajar yang tak kalah maju dengan sekolah umum. (L/P007/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Menhan: 25 Nakes TNI akan Diberangkatkan ke Gaza, Jalankan Misi Kemanusiaan

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Indonesia