Oleh: Widi Kusnadi, Redaktur MINA
Dari sekian isu hangat yang terjadi beberapa hari terakhir ini, perhatian bangsa Indonesia terfokus pada isu penghinaan salah satu lambang Negara Indonesia yaitu bendera merah-putih. Adalah seorang aktifis simpatisan Front Pmbela Islam (FPI) bernama Nurul Fahmi (28) yang ditahan polisi (saat ini sudah dipulangkan) karena membawa bendera dengan tambahan kalimat tauhid “Lailaha illallah” dengan dua pedang bersilangan di bagian bawahnya.
Nurul membawa bendera itu saat berdemo di Mabes Polri, Senin (16/1) lalu. Ia pun ditangkap Polres Metro Jakarta Selatan di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Kamis (19/1) malam. Ia dijerat dengan Pasal 66 juncto 24 subsider Pasal 67 Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.
Nurul mengaku membawa bendera itu pada aksi-aksi Bela Islam sebelumnya dan tidak ada masalah. Pemuda yang baru saja dikaruniai seorang anak perempuan bernama Hafidza Nur Qaila, 8 Januari 2017 itu mengaku sama sekali tidak bermaksud menodai Sang Merah-Putih. Ia hanya ingin mengekspresikan gelora semangat dan kecintaannya kepada negeri ini melalui kalimat tauhid yang dituliskannya dalam bendera yang ia bawa.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-11] Ragu-ragu Mundur!
Menurut Wikipedia, warna bendera merah-putih diambil dari warna panji atau pataka Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur pada abad ke-13. Pendapat lain mengatakan, warna merah asal mulanya dari mitologi bangsa Austronesia mengenai Bumi Langit; keduanya dilambangkan dengan warna merah (tanah) dan putih (langit).
Catatan paling awal menyebutkan penggunaan bendera merah putih dapat ditemukan dalam Pararaton, saat balatentara Jayakatwang dari Gelang-gelang mengibarkan panji berwarna merah dan putih saat menyerang Singhasari. Hal ini berarti sebelum masa Majapahit pun lambang merah dan putih telah digunakan sebagai panji kerajaan, mungkin sejak masa Kerajaan Kediri.
Sumber lain menyebutkan, bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun memakai warna merah putih sebagai warna benderanya, bergambar pedang kembar warna putih dengan dasar merah dan putih.
Baca Juga: Muasal Slogan ”Al-Aqsa Haqquna”
Menurut seorang Guru Besar sejarah dari Universitas Padjajaran Bandung, Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara, semua pejuang Muslim di Nusantara menggunakan panji-panji merah putih dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah, karena berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW seperti yang ditulis oleh Imam Muslim dalam Kitab Al-Fitan, Jilid X, halaman 340. Dari Hamisy Qasthalani. Rasulullah SAW Bersabda yang artinya: “Allah menunjukkan kepadaku (Rasul) dunia. Allah menunjukkan pula timur dan barat. Allah menganugerahkan dua perbendaharaan kepadaku: Merah Putih”.
Masih menurut Prof Mansyur, para sahabat Nabipun sering memakai lambang merah-putih dalam kesehariannya. Sebagai contoh, pedang Sayidina Ali ra berwarna merah dan sarung pedang Khalid bin Walid berwarna merah-putih.
Pada waktu perang Jawa (1825-1830 M) Pangeran Diponegoro memakai panji-panji berwarna merah putih dalam perjuangannya melawan Belanda. Demikian juga ketika terjadi perang di Aceh. Pejuang-pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.
Di zaman kerajaan Bugis Bone, Sulawesi Selatan sebelum Arung Palakka, bendera Merah Putih adalah simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan Bone. Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang.
Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam
Panji kerajaan Badung yang berpusat di Puri Pamecutan juga mengandung warna merah dan putih, panji mereka berwarna merah, putih, dan hitam yang mungkin juga berasal dari warna Majapahit.
Kemudian, warna-warna yang dihidupkan kembali oleh para mahasiswa di awal abad 20 sebagai ekspresi nasionalisme terhadap Belanda. Bendera merah putih digunakan untuk pertama kalinya di Jawa pada tahun 1928.
Pada masa kolonialisme, bendera itu dilarang digunakan. Namun, ketika proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, bendera merah-putih resmi dijadikan sebagai bendera Negara Indonesia.
Dari sejarah singkat diatas, penulis menyimpulkan lambang bendera merah-putih sangat erat kaitannya dengan Pejuang Islam. Para pejuang tentunya berjuang bukan hanya dorongan nasionalisme semata, tetapi ada kalimat tauhid dan takbir yang bergelora di dada mereka.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal
Bagaimana Tokoh Melihat Kasus Nurul Fahmi?
Peraturan tentang lambing negara diatur dalam UUD ’45 pasal 35, UU No 24/2009, dan Peraturan Pemerintah No.40/1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 secara khusus mengatur tentang penggunaan Bendera Merah Putih, Garuda Pancasila, Bahasa Indonesia hingga lagu kebangsaan Indonesia Raya. Berikut bunyi pasalnya:
Pasal 24 a jo Pasal 66
Setiap orang dilarang: (a) merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Dalam konteks kasus Nurul Fahmi, Ustad Arifin Ilham menyatakan apa yang dilakukan oleh Nurul tidak masuk dalam kategori penghinaan lambang Negara. Ia berpendapat, kalimat tauhid merupakan kalimat mulia dalam Islam sehingga penyematan tulisan kalimat itu justru merupakan bentuk memuliakan kerena sama-sama sesuatu yang mulia dan dihormati.
Sementara itu, anggota DPR RI Muzzamil Yusuf pada saat sidang paripurna ke-17 mengatakan, tentang tulisan pada bendera merah-putih sebelumnya juga telah dilakukan oleh beberapa elemen masyarakat seperti pada saat konser band Iwan Fals, Demo Kita Indonesia di Jakarta Desember 2016 lalu, Bendera Merah-Putih bertuliskan Bebaskan Ahok, Band Dream Teater juga menuliskan lambangnya di bendera Merah-Putih dan tulisan Metalica di bendera merah-putih juga ada saat konser di Solo 2013 lalu. Kesemuanya itu tidak ada masalah, tapi mengapa saat bendera bertuliskan kalimat tauhid akan diusut.
Pakar Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pengenaan pasal 66 terhadap Nurul Fahmi adalah sesuatu yang berlebihan. Pasalnya pasal 66 hanya bisa dikenakan terhadap mereka yang dengan sengaja merusak, merobek, menginjak-injak, membakar dan seterusnya dengan maksud untuk menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera negara. “Fahmi sama sekali tidak melakukan ini. Dia hanya membawa bendera merah putih yang ditulisi kalimat tauhid dan digambari pedang bersilang,” kata Yusril.
Karena itu, pasal yang tepat dikenakan untuk Fahmi adalah pasal 67 huruf c yakni menulis huruf atau tanda lain pada bendera negara.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Yusril menyarankan polisi hendaknya mendahulukan langkah persuasif kepada setiap orang yang diduga melanggar pasal 67 c, sebelum mengambil langkah penegakan hukum. Sebab langkah penegakan hukum atau langkah serupa harus dilakukan terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran yang sama. Bahkan langkah penegakan hukum itu harus pula dilakukan terhadap aparat penegak hukum sendiri yang juga patut diduga melakukan pelanggaran yang serupa.
Apabila langkah penegakan hukum itu hanya dilakukan terhadap Nurul Fahmi, terlepas dia anggota FPI atau bukan, sementara kasus perorangan atau terkait dengan ormas-ormas yang lain yang melakukan hal yang sama, belum ada langkah penegakan hukum apapun juga, ini akan menimbulkan kecurigaan masyarakat kalau Polisi terkesan tebang pilih dalam menangani kasus ini.
Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon menilai, kasus Nurul Fahmi yang menuliskan kalimat tauhid pada bendera merah-putih saat mengawal Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Syihab bukanlah bentuk pelecehan, tapi merupakan sebuah kebanggaan.“Yang melecehkan itu yang menginjak-nginjak, yang membakar. Jadi kalau dia ditahan saya pikir itu tidak adil, diskriminatif,” ujarnya.
Menurut Dosen Sosiologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Elly Malihah, sosialisasi lambang dan simbol negara perlu terus dilakukan pemerintah, baik melalui media langsung (dipajang dalam ruang kantor, sekolah dll), melalui upacara rutin, melalui media massa cetak dan elektronik dan ruang publik dan serta sosialisasi dalam pendidikan non formal di masyarakat dan pendidikan di keluarga. (P02/P01)
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat