Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berat, Menyejahterakan Umat adalah Tanggung Jawab Pemimpin

Bahron Ansori - Jumat, 26 April 2024 - 09:20 WIB

Jumat, 26 April 2024 - 09:20 WIB

36 Views

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Indonesia hari ini baru saja memilih pemimpin baru. Kini atas takdir Allah semata Prabowo dan Gibran menjadi pemimpin negeri mayoritas beragama Islam, yaitu Republik Indonesia. Semoga melalui keduanya masyarakat bisa hidup lebih baik dari segala bidang terutama dalam hal peningkatan kesejahteraan.

Dalam Islam, di antara sekian banyak tanggung jawab yang harus dipikul dan diperhatikan seorang pemimpin adalah bagaimana menyejahterakan rakyat (umat) yang dipimpinnya. Jika masa kepemimpinannya rakyat justru hidupnya makin terpuruk, itu pertanda seseorang gagal menjadi pemimpin.

Tentang kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab seorang pemimpin ini, pernah disabdakan oleh Baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, berikut sabdanya,

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Ibn umar r.a berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara harta milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya.” (HR. Al Bukhari, Muslim)

Pada dasarnya, hadis di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam Islam. Dalam hadis ini dijelaskan, etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab. Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua memikul dan memiliki tanggung jawab, sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri.

Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya, dst.

Namun, tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah berarti upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin. Karena kata ra ‘a sendiri secara bahasa bermakna gembala dan kata ra‘in berarti pengembala. Ibarat pengembala, ia harus merawat, memberi makan dan mencarikan tempat berteduh binatang gembalanya. Singkatnya, seorang penggembala bertanggung jawab untuk mensejahterakan binatang gembalanya.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Cerita gembala hanyalah sebuah tamsil, dan manusia tentu berbeda dengan hewan, sehingga menggembala manusia tidak sama dengan menggembala hewan. Anugerah akal budi yang diberikan Allah kepada manusia merupakan kelebihan tersendiri bagi manusia untuk mengembalakan dirinya sendiri, tanpa harus mengantungkan hidupnya kepada penggembala lain.

Karenanya, pertama-tama yang disampaikan dalam hadis di atas yakni setiap manusia adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Atau denga kata lain, seseorang mesti bertanggung jawab untuk mencari makan atau menghidupi dirinya sendiri, tanpa mengantungkan hidupnya kepada orang lain.

Dengan demikian, karena hakekat kepemimpinan adalah tanggung jawab dan wujud tanggung jawab adalah menyejahterakan, maka bila orang tua hanya sekedar memberi makan anak-anaknya tetapi tidak memenuhi standar gizi serta kebutuhan pendidikannya tidak dipenuhi, hal itu masih jauh dari makna tanggung jawab yang sebenarnya.

Begitu juga bila seorang direktur memberikan gaji karyawannya di bawah standar UMP (upah minimum provinsi), maka direktur tersebut belum bisa dikatakan bertanggung jawab. Begitu pula bila seorang pemimpin, katakanlah presiden, dalam memimpin negerinya hanya sebatas menjadi “pemerintah” saja, namun tidak ada upaya serius untuk mengangkat rakyatnya dari jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut belum bisa dikatakan telah bertanggung jawab.

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Karena tanggung jawab seorang presiden harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan kaum miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan teman-teman dekatnya. Oleh sebab itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh dari standar kesejahteraan, maka tanggung jawab pemimpinnya masih perlu dipertanyakan.

Jangan tipu rakyat

Alih-alih menyejahterakan rakyat atau orang-orang yang dipimpin, kadang tak sedikit pemimpin yang justeru demi memenuhi syahwat perutnya, rela menipu rakyat. Rakyat memang tidak tahu jika mereka sedang ditipu, tapi Allah Ta’ala selalu melihat perbuatan setiap hamba-Nya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mengancam para pemimpin yang bisanya hanya menipu rakyat dan umbar janji. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah

حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ عَادَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ الْمُزنِيَّ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ لِي حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Abu ja’la (ma’qil) bin jasar r.a berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tiada seorang yang diamanati oleh Allah memimpin rakyat, kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti Allah mengharamkan baginya surga.” (HR. Al Bukhari, Muslim)

Kejujuran adalah modal yang paling mendasar dalam sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran, kepemimpinan ibarat bangunan tanpa fondasi, dari luar nampak megah namun di dalamnya rapuh dan tak bisa bertahan lama. Begitu pula dengan kepemimpinan, bila tidak didasarkan atas kejujuran orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka jangan harap kepemimpinan itu akan berjalan dengan baik.

Namun, kejujuran di sini tidak bisa hanya mengandalakan pada satu orang saja, kepada pemimpin saja misalkan. Tetapi semua komponen yang terlibat di dalamnya, baik itu pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya, hingga struktur yang paling bawah dalam kepemimpnan itu, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran.

Secara garis besar, yang sangat ditekankan dalam hadis ini adalah seorang pemimpin harus memberikan teladan yang baik kepada pihak-pihak yang dipimpinnya. Contoh yang baik ini tentunya harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan pemimpin yang tidak menipu dan melukai hati rakyat atau orang yang dipimpinnya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh

Pemimpin yang menipu dan melukai hati rakyat atau orang yang dipimpinnya, dalam hadis ini disebutkan, diharamkan oleh Allah untuk mengninjakkan kaki di surga. Meski hukuman ini nampak kurang kejam, karena hanya hukuman di akhirat dan tidak menyertakan hukuman di dunia, namun sebenarnya hukuman haram masuk surga ini mencerminkan betapa murkanya Allah terhadap pemimpin yang tidak jujur dan suka menipu rakayat atau orang yang dipimpinnya. Jadi Anda wahai para pemimpin, waspadalah, waspadalah! []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Kolom
Kolom
Kolom
Kolom