Berdirinya “Negara Israel”, Konspirasi Menghancurkan Ummat Islam (Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur)

Khilafah Utsmaniyah adalah benteng kokoh yang menjadi penghambat berdirinya negara . Negara Israel pertama kali diinisiasi oleh Dr. Theodor Herzl (1860-1904) dan teman-teman Zionisnya setelah ia membuat buku “ Der Yuenstaat (Negara Israel)”. Buku itu menceritakan tentang perlunya sebuah negara bagi kaum Yahudi yang berada di wilayah .

Berbagai langkah dan strategi dilancarkan oleh Yahudi untuk menembus dinding Khilafah Utsmaniyah agar mereka dapat memasuki wilayah Palestina. Usaha pertama kali mereka lakukan pada 1892. Sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid untuk mendapat izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab Sultan dengan ucapan: “Pemerintah Utsmaniyah memberitahukan kepada segenap Kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, bahwa mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina.” Mendengar jawaban seperti itu, kaum Yahudi merasa terpukul sehingga Duta Besar Amerika Serikat ikut campur tangan dalam masalah itu.

Kedua, Theodor Herzl pada tahun 1896 memberanikan diri menemui Sultan Abdul Hamid sambil minta izin untuk mendirikan sebuah gedung di wilayah Al-Quds (Yarussalem). Permohonan itu pun dijawab Sultan. Beliau berkata:” Sesungguhnya Kesultanan Utsmaniyah ini milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Oleh sebab itu, simpanlah kekayaan kalian itu di dalam kantong kalian sendiri”.

Melihat keteguhan Sultan Abdul Hamid, mereka Kaum Yahudi kemudian mengadakan konferensi di Bassel, Swiss pada 29-31 Agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi menghancurkan Khilafah Utsmaniyah.

Ketiga, pada tahun 1902, Herzl untuk kedua kalinya melakukan suap. Di antara suap yang disodorkannya adalah kepada Sultan Abdul Hamid yaitu berupa:

  1. Uang sebanyak 150 juta pounsterling khusus diberikan kepada Sultan
  2. Membayar semua utang Khilafah Utsmaniyah yang besarannya mencapai 33 juta Paounsterling.
  3. Membangun kapal perang untuk menjaga Khilafah Utsmaniyah dengan biaya sebesar 120 juta Frank.
  4. Memberi pinjaman sebesar 5 juta pounsterling tanpa bunga.
  5. Membangun Universitas Utsmaniyah di Palestina.

Semuanya tawaran bantuan itu ditolak oleh Sultan, bahkan saat Herzl menghadap, beliau tidak mau menemui Herzl dan hanya diwakilkan kepada Perdana Menteri (PM) Tahsin Basya, sambil berpesan:” Nasihati Herzl agar tidak berusaha main-main dalam hal itu selamanya. Aku tidak akan menjual bagian dari negeri ini (Palestina-red) walaupun hanya setapak kaki, sebab Palestina bukan milikku, tapi milik rakyatku.  Mereka sudah berjuang untuk memperolehnya dengan siraman darah. Silahkan Yahudi itu menyimpan kekayaan mereka yang miliaran itu.

Bila negeriku sudah tercabik-cabik, saat itu mereka akan sampai ke Palestina secara gratis. Adapun jika saya masih hidup, maka jika tubuhku ini terpotong-potong adalah lebih ringan aku rasakan ketimbang Palestina terlepas dari Khilafah”.

Pada catatan harian Sultan Abdul Hamid, 13 Maret 1933, beliau menulis sebagai berikut: “Pada suatu saat, mereka Freemansory datang kepadaku untuk menuntut bagian tanah Palestina untuk dijadikan permukiman Yahudi. Balasannya adalah sejumlah harta yang telah mereka serahkan, walau telah aku tolak”.

Sementara itu, dalam biografinya,  Herzl menulis:” Dari pembicaraannya dengan Sultan Abdul Hamid II, saya menetapkan tidak mungkin kita menarik faedah apa-apa dari Khilafah Utsmaniyah, kecuali jika ada perubahan politik di dalamnya dengan cara menimbulkan perang di antara sesama mereka dan mereka (Abdul Hamid) kalah dalam peperangan tersebut, atau melibatkan mereka dalam sebuah konflik antar bangsa atau dengan cara dua-duanya”.

Untuk melaksanakan rancangan Herzl tersebut, kaum Yahudi berkonspirasi dengan Inggris, Perancis dan Amerika. Rancangan Herzl dan kaum Zionis dengan konspirasinya secara internal terwujud setelah mereka memasukkan faham kesukuan (ashabiyah) di kalangan kaum Muslimin. Bangsa Arab merasa hina jika Turki menjadi Imaam,sehingga Bangsa Arab ingin merdeka dari kekhilafahan Turki serta ingin mendirikan negara atau kerajaan yang berdiri sendiri.

Di dalam negeri Turki sendiri, muncul faham sekulerisme, yaitu pemisahan antara negara dan agama. Pengusung faham ini mendirikan organisasi beranama Commite of Union and Progress (CUP).

Masalah internal belum teratasi, Turki terlibat dalam Perang Dunia I  (1914-1918). Khilafah Turki terpecah menjadi dua. Bangsa Turki bergabung dengan Jerman sedangkan Bangsa Arab bergabung dengan Inggris, Perancis dan Rusia. Perang Dunia I berakhir dengan kekalahan Turki dan Jerman. Maka Inggris, Perancis dan Rusia dapat menguasai wilayah-wilayah kekhilafahan Turki. Berdasarkan perjanjian Sykes-Picot (Sir Mark Sykes (Inggris) dan Francois George Picot (Perancis)), 27 April 1917 dan wilayah Palestina jatuh ke tangan Inggris.

Pada tahun 1904, dalam usia 44 tahun, Herzl meninggal dunia karena sakit radang paru-paru  dan lemah jantung karena terlalu banyak bekerja. Ia kemudian dikuburkan di Wina, Austria. Pada tahun 1949, sebagaimana wasiatnya sebelum meninggal, mayatnya dipindah ke Yerusalem.

Theodor Herzl

Kematian Herzl tidak membuat kaum Zionis berhenti memperjuangkan pendirian negara Israel di Palestina yang mereka sebut sebagai Erestz Yisrael. Cita-cita Herzl kemudian dilanjutkan oleh para penerusnya dalam gerakan Zionisme.

Seorang Yahudi berkebangsaan Rusia, Chaim Azriel Weizman (1874-1952) meneruskan agenda Zionis untuk kembali ke bukit Sion/Zion dengan mendirikan negara Israel di Palestina. Pada tahun 1918, Weizman diangkat sebagai ketua komisi Zionis dan dikirim ke Palestina oleh Pemerintah Inggrsi untuk mendorong pembangunan masa depan negara Israel. Weizman juga memiliki peran kunci dalam Deklarasi Balfour, 2 November 1917, dengan hasil keputusannya yang menyatakan Inggris Raya mendukung pemberian tanah bagi Yahudi di Palestina.

Deklarasi Balfour adalah sebuah pernyataan terbuka dari pemerintah Inggris yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour yang dikirim kepada Bankir Yahudi, Walter Roshchild untuk menegaskan dukungan Inggris terhadap penciptaan “Kediaman Nasional (national home)” bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Adapun isi deklarasi Balfour tersebut adalah:

Kantor Luar Negeri
2 November 1917

Yang Terhormat Lord Rothschild,

Saya dengan senang hati menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintah Yang Mulia, deklarasi simpati terhadap aspirasi Zionis Yahudi yang telah diajukan dan disetujui oleh Kabinet.

“Pemerintah Yang Mulia mendukung dengan senang hati Palestina sebagai sebuah kampung halaman bagi orang-orang Yahudi. Dan Pemerintah Yang Mulia akan menggunakan upaya terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini. Sudah dipahami dengan jelas tidak akan dilakukan hal yang mungkin merugikan hak masyarakat sipil dan agama atau nonYahudi di Palestina, atau hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara lain.”

Saya berterima kasih jika anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi Zionis.

Hormat saya,
Arthur James Balfour

Arthur James Balfour

Kalimat pembuka deklarasi itu merupakan ungkapan dukungan terbuka pertama dari sebuah kekuatan politik utama dunia saat itu (Inggris) kepada Zionisme. Istilah “kediaman nasional (national home)” belum pernal muncul dalam ranah hukum internasional, dan sengaja diciptakan agar bermakna kabur sehingga tidak dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan istilah itu adalah sebuah negara Yahudi. Sementara tapal batas yang bernama Palestina tidak ditetapkan.

Kemudian, dari Pemerintah Inggris menegaskan bahwa frasa “in Palestine” berarti kediaman nasional orang Yahudi tidak bakal mencakup seluruh wilayah Palestina.

Bagian kedua dari isi deklasari itu sengaja ditambahkan untuk memenangkan dari para penentang deklarasi itu, yaitu pihak-pihak yang khawatir deklarasi itu akan berdampak buruk bagi posisi populasi lokal Palestina dan akan mengobarkan sentimen antisemit di seluruh dunia karena “mencap orang Yahudi sebagai pendatang asing”.

Deklarasi itu juga mengamanatkan hak-hak sipil dan keagamaan Orang-orang Arab Palestina yang merupakan warga mayoritas di Palestina, maupun hak-hak dan entitas politik komunitas Yahudi di luar Palestina.

Deklarasi Balfour juga memunculkan berbagai konsekuensi jangka panjang yang membuat dukungan terhadap Zionisme mengalami peningkatan pesat di kalangan komunitas Yahudi sedunia. Deklarasi itu juga menjadi komponen pokok dalam dokumen yang mendasari pembentukan wilayah mandat Palestina, cikal bakal negara Israel sekarang ini.

Setelah keluarnya Deklarasi Balfour itu, maka orang-orang Yahudi melakukan eksodus besar-besaran menuju Palestina. Semakin lama, warga Yahudi yang eksodus ke wilayah palestina semakin banyak. Puncaknya adalah ketika Perang Dunia II dengan tragedi Holocoust (pembantaian orang Yahudi, 1945) yang mereka rancang bekerja sama dengan Nazi-Jerman demi tujuan yang mereka inginkan.

Emmanuel Robinovic, pendeta tertinggi Yahudi dalam Sidang Darurat Pendeta Yahudi Eropa (10 Januari 1952) berkata:” Untuk mencapai tujuan akhir, bisa saja kita cara yang menyedihkan, seperti yang pernah kita lakukan pada masa Hitler yaitu kita sendiri merancang terjadinya peristiwa penindasan terhadap sebagian bangsa kita sendiri. Dengan kata lain, kita akan menumbalkan sebagian putra bangsa kita sendiri untuk suatu peristiwa yang kita atur di belakang layar (pendirian negara Israel-pen)”.

Melalui kerja sama dengan pemerintah Jerman, perwakilan Yahudi di Palestina, dan orang-orang Yahudi sendiri, tragedi Hollocoust yang dilakukan oleh Nazi Jerman sebenarnya adalah rancangan dan propaganda dari Yahudi itu sendiri, yaitu Yahudi Azkhenasic (orang Yahudi Eropa) agar mereka memiliki alasan untuk pergi ke Yerusalem. Kaum Yahudi mengklaim bahwa pembantaian Hollocoust yang dilakukan oleh Hitler berjumlah enam juta jiwa.

Dalam prespektif politik, peristiwa Hollocoust telah menimbulkan tanggapan yang beragam. Sebagian orang Yahudi mengatakan bahwa Hollocoust adalah suatu kebenaran sejarah. Presiden Iran, Ahmadinejad mengklaim itu semua hanyalah mitos yang didengungkan kaum Yahudi Eropa agara mereka mempunyai alasan untuk melakukan eksodus ke Palestina. Bashar Al-Assad, Presiden Suriah berkata bahwa Eropa membantu kaum Yahudi melakukan eksodus ke Palestina agar mereka terhindar dari keburukan kaum Yahudi yang mayoritas menguasai perekonomian Eropa.

Setelah Inggris selaku yang diberi mandat untuk mengatur Palestina tidak mampu mengatur eksodus Yahudi Eropa ke Palestina, maka Inggris menyerahkan mandat itu kepada PBB. Maka, konsekwensinya, kekuatan baru muncul, yaitu Amerika Serikat yang selalu membela kepentingan kaum Yahudi Zionisme.

Setelah Inggris menyerahkan mandat Palestina kepada PBB, maka PBB mulai membahas pembagian wilayah Palestina pada 1947. PBB memutuskan bahwa wilayah-wilayah yang subur dikuasai oleh Yahudi, sementara wilayah yang kurang subur diserahkan kepada warga Palestina. Sedangkan Yerusalem diputuskan menjadi wilayah dalam pengawasan internasional.

Kemudian Inggris mengumumkan bahwa Palestina tidak lagi menjadi wilayah di bawah mandatnya. Hal itu dilakukan agar Israel dapat mendeklarasikan kemerdekaannya. Pada tanggal 14 Mei 1948 (5 Lyar 5708) hari ketika mandat Britania berakhir, kaum Zionis secara resmi mengumumkan bahwa negara Yahudi baru telah didirikan di wilayah mandat Britania atas Palestina dan tanah tempat kerajaan Israel, kerajaan Yehuda dan Yudea berada. Deklarasi yang cukup panjang, ditandatangani oleh puluhan tokoh Yahudi itu memuat beberapa poin antara lain:

Pertama, terkait perjanjian Balfour 1917 yang dianggap sebagai cikal bakal negara  Yahudi, yang menjadi dasar bahwa mereka berhak kembali ke tanah kelahirannya di Israel (tanah Palestina- red), apalagi mereka sudah mendapat restu dari Liga Bangsa-Bangsa (PBB) dan dunia internasional (realitanya sebagian setuju dan sebagian lainnya menolak).

Kedua, tentang survivor, yaitu orang-orang Yahudi yang berhasil selamat dari tragedi Hollocoust Nazi. Mereka menganggap bahwa mereka memiliki hak untuk melakukan migrasi ke tanah Palestina.

Ketiga, langkah Majelis Umum PBB (UN General Assembly) yang meloloskan pendirian negara Yahudi di Palestina pada 29 November 1947. Pengakuan dari lembaga PBB itu menjadi alasan bagi Zionis untuk mengimplementasikan negara Israel dan tidak dapat ditarik kembali. Mereka kemudian membentuk sistem negara, membangun perbatasan sementara dan memperkuat keamanan nasionalnya dengan membentuk tentara nasional.

Dalam prespektif hukum internasional, deklarasi sepihak pendirian negara Israel itu mengandung beberapa kesalahan, antara lain:

Pertama, kaum Zionis berkali-kali menyebut kata dunia internasional dan United Nations (UN). Padahal dalam aturannya, jika ada satu atau dua negara yang menolak, maka seharusnya deklarasi tersebut tidak sah. Namun karena deklarasi tersebut didukung negara-negara kuat saat itu, kaum Zionis bergeming terhadap negara-negara yang menolaknya. Amerika Serikat adalah negara pertama yang mengakui deklarasi berdirinya negara Israel, diikuti selanjutnya oleh Uni Soviet.

Kedua, penggunaan kata tanah air nasional bisa diartikan sebuah kecurangan dan keliru jika kaum Zionis mengkalim berhak menempati wilayah-wilayah Palestina. Karena jika dibandingkan dengan sejarah Amerika Serikat dan Australia, maka Bangsa Indian juga berhak mendeklarasikan diri berhak atas tanah Amerika. Bangsa Aborigin juga punya hak mendeklarasikan bahwa Australia adalah wilayah negara mereka. Akan tetapi, realitanya saat ini, Bangsa Indian dan Aborogin malah terusir dari wilayahnya sendiri yang telah lama mereka tempati selama beratur-ratus tahun lamanya. Kebijakan Stolen (penyerobotan tanah) telah membuat populasi dua bangsa itu semakin berkurang dan bahkan hilang dari peredaran.

Pendirian negara Israel di atas tanah Palestina itu juga mencederai Hak Asasi Manusia (HAM). Sejak negara Israel itu berdiri, mereka telah menciptakan gelombang pengungsian, pembunuhan massal tanpa adanya pengadilan, penyerobotan dan perampasan tanah dan pelanggaran-pelanggaran HAM berat lainnya.

Zionis Yahudi menurut Han Pape telah melakukan Hollocoust kedua terhadap bangsa Palestina seperti Adolf Hitler melakukan pembantaian terhadap bangsa Yahudi di Jerman dan beberapa negara Eropa lainnya.

Dalam bukunya berjudul “The Etnic Cleansing of Palestine (Pembersihan Etnis Palestina)” ia menggambarkan berbagai kekejaman Zionis terhadap bangsa Palestina, antara lain: “Ketika mereka menyerang perkampungan, tentara Yahudi menyerang rumah-rumah warga dengan senapan mesin sehingga menewaskan banyak orang. Mereka yang tersisa kemudian dikumpulkan di suatu tempat dan kemudian dibunuh secara dingin. Tubuh-tubuh mereka diperlakukan secara kasar, sementara sejumlah wanita diperkosa, kemudian dibunuh. Mereka mengambil satu demi satu, anak perempuannya yang berteriak-teriak, lalu mereka tembak juga.

Han Pape berkata: “Lantas mereka memanggil kakakku, Muhammad, dan menembaknya di depan kami. Dan ketika Ibuku yang masih menggendong dan menyusui adikku berteriak, sambil berlari ke arah kakakku yang telah ditembak, menelungkup dan memeluk kakaku, dan Ibuku ditembak juga.

Han Pape juga menggambarkan pembantaian massal di kampungnya, Dawaymeh, 28 Oktober 1948 sebagai berikut: “Tentara Yahudi yang ikut ambil bagian dalam pembantaian massal melaporkan pemnadangan yang mengerikan. Bayi-bayi kepalanya dipecah, para wanita diperkosa atau dibakar hidup-hidup di dalam rumahnya. Sementara para laki-laki ditikam sampai mati.

Natan Alterman, veteran Perang Dunia II yang mengikuti operasi Hizam, Palestina, tahun 1948 dengan penuh penyesalan menulis puisi yang mengaambarkan pembunuhan brutal penduduk yang tidak berdosa dalam operasi tersebut:

Di atas sebuah Jib, dia melintas jalan

Seorang pemuda, pangeran binatang

Sepasang orang tua digiring ke dinding

Dan dengan senyum malaikatnya dia memanggil

Senapan mesin saya akan coba, dan dia melakukannya

Menyipratkan darah orang tua itu ke pelupuk mata

Sejak Zionis secara sepihak mendeklarasikan kemerdekaan Israel dan didukung oleh negara-negara Barat, mereka secara beringas memperluas wilayah dengan mencaplok daerah-daerah Palestina. Maka tidak ada lagi alasan bagi bangsa Palestina dan negara-negara Arab seperti Mesir, Yordania, Suriah, Irak dan Lebanon kecuali mereka harus mempertahankan diri dengan cara berperang.

Dalam beberapa kali peperangan, sebenarnya bangsa Palestina dan bangsa Arab sudah menang, tetapi secara konspiratif, Amerika dan Barat memaksa untuk mengadakan genjatan senjata. Palestina dan negara-negara Arab setuju, tetapi Zionis melanggarnya. Inilah karakter asli bangsa Yahudi sebagai pelanggar janji , yang beberapa kali disebutkan dalam Al-Quran, antara lain:

أَوَكُلَّمَا عَٰهَدُوا۟ عَهْدًا نَّبَذَهُۥ فَرِيقٌ مِّنْهُم ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

Patutkah (mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah), dan setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya? Bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman.” (Al-Baqarah [2]: 100)

Pendudukan Zionis di tanah Palestina telah mengakibatkan tragedi kemanusiaan dan sosial yang dahsyat dan berkepanjangan. Jutaan rakyat Palestina terusir dari kampung halamannya, bahkan banyak di antara mereka yang membawa kunci rumahnya.

Dari sinilah muncul kebencian sebagian ummat Islam sebagai wujud solidaritas kepada rakyat Palestina terhadap Barat yang menyebabkan berdirinya negara Zionis Yahudi secara ilegal dengan mengusir sesama saudaranya yang seagama.

Untuk membangun kembali hubungan harmonis antara ummat Islam dengan Barat, maka solusi terbaik adalah memberikan kembali hak rakyat Palestina yang telah terampas untuk kembali ke tanah airnya. Di sinilah pentingnya untuk terus menyuarakan dukungan bagi kemerdekaan rakyat Palestina, sebagaimana yang pernah diucapkan oleh Presiden pertama RI, Soekarno pada tahun 1962: “Selama kemerdekaan Bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, selama itulah bangsa Indonesia menantang penjajah Israel.”

 

Zionis dan Masjid Al-Aqsa

Sebelum memutuskan memilih tanah Palestina, Bangsa Yahudi sempat mempertimbangkan berdirinya Negara Israel di Uganda (Afrika) atau Argentina (Amerika Latin). Namun, hal itu urung dilakukan. Menurut kaum Zionis, menjadikan Palestina sebagai negara Yahudi merupakan tuntutan ideologis berdasarkan sumpah Tuhan kepada Abraham: “Kepada para keturunanmu, aku telah berikan tanah ini yang membentang dari sungai Nil (Mesir) hingga ke Sungai Besar (Eufrat).” Diktum (ketetapan) itulah yang digambarkan dengan dua garis di sisi atas dan bawah pada simbol bintang David yang terpampang di bendera negara Israel.

Negara yang meliputi dua sungai ini yang disebut dengan negara Israel Raya yang mencakup wilayah dua tanah suci ummat Islam, yaitu Makkah dan Madinah. Landasan ideologis yang dikemukakan itu ditolak oleh sebagian Yahudi sehingga perpecahan di antara mereka tidak terhindarkan. Perisitiwa penembakan yang menewaskan Max Nordau, Wakil Presiden Organisasi Yahudi, sekaligus orang kepercayaan Theodor Herzl merupakan puncak perlawanan dari pendukung pendirian Negara Israel di Palestina. Dalam sebuah perayaan Hunukkah, 19 Desember 1903, seorang pemuda bernama Zeliq Louban menembak Nordau sambil berteriak: “Matilah Kau Nordau, Afrika Timur (Uganda).

Tujuan Kaum Zionis mendirikan negara Israel di tanah Palestina, disamping untuk membangun negara Israel Raya adalah untuk merobohkan Masjidil Aqsa, salah satu dari tiga masjid tersuci bagi ummat Islam selain Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Masjid Al-Aqsa juga menjadi salah satu dari dua masjid yang disebut dalam Al-Quran di samping Masjidil Haram:

سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Isra [17]: 1).

Alasan mereka merobohkan Masjidil Aqsa adalah karena menurut sebagian Kaum Yahudi di bawah Masjidil Aqsa terdapat bangunan haikal (kuil Sulaiman). Klaim itu dalam pandangan Islam jelas tidak benar karena Sulaiman dalam pandangan Islam adalah seorang Nabi sehingga tidak mungkin membangun kuil. Sementara itu, di kalangan sebagian kaum Yahudi sendiri, klaim itu juga ditolak.

Neir bin Diouf, Arkeolog terkemuka Yahudi yang ikut mengadakan penggalian di sekitar situs-situs Masjid Al-Aqsa mengatakan: “Tidak ada sama sekali apa yang dinamakan atsar (bekas) kuil Sulaiman di bawah bangunan Masjidil Aqsa.

Meskipun demikian, kaum Zionis ekstrim yang menguasai pemerintahan negara Israel tidak berhenti dalam usahanya untuk merobohkan Masjidil Aqsa tersebut. Usaha-usaha mereka dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:

  1. Membakar Masjid Al-Aqsa

Pada 21 Agustus 1969, seorang Kristen ekstrimis Australia, Denis Michel Rohan telah membakar Masjid Al-Aqsa. Tindakannya itu mendapat restu yang jelas dari pasukan penjajah Israel. Ketika ditanggap dan diperiksa pihak keamanan Israel, Rohan menyatakan bahwa dirinya tidak takut mengungkapakan motifnya untuk melakukan kejahatan itu. Ia mengaku sebagai utusan Tuhan. Rohan mengatakan ingin mempercepat kedatangan Yesus Kristus yang kedua, yang menurutnya hanya dapat dicapai dengan membiarkan Orang Yahudi membangun kuil di Masjidil Aqsa yang diklaim Kaum Zionis bahwa si tempat itu dulunya merupakan kuil Sulaiman.

Namun, setelah itu, pihak Israel menyatakan bahwa Rohan adalah orang gila yang harus dirawat di rumah sakit jiwa. Padahal menurut berita yang berasal dari sumber-sumber Israel, Rohan sebenarnya adalah sekutu Israel yang dibawa dari Australia oleh Badan Intelejen Yahudi untuk bekerja guna kepentingan Israel.

Kebakaran akibat kejahatan Rohan telah menghanguskan beberapa bagian tertua masjid, terutama menghancurkan mimbar kayu dan gading berusia 900 tahun yang dihadiahkan oleh Shalahuddin Al-Ayubi serta panel-panel mozaik di dinding dan langit-langit masjid. Ditemukan pula banyak bagian-bagian di dalam masjid yang hangus terbakar. Keesokan harinya, untuk pertama kalinya tidak diselenggarakan Shalat Jumat di masjid Al-Aqsa tersebut.

2. Menggali terowongan

Penggalian merupaka kegiatan yang telah lama dilakukan oleh Zionis Israel dengan dalih untuk menemukan apa yang mereka klaim sebagai kuil Sulaiman. Dalih lainnya dalam penggalian terowongan tersebut adalah untuk menghilangkan bukti adanya peninggalan Islam dan Arab di Al-Quds serta membangun paradigma bahwa terdapat bukti keterikatan antara Yahudi dan Al-Quds.

Penggalian pertama dilakukan oleh seorang arkeolog Prancis, Desolce pada tahun 1836 M yang berlangsung di makam para raja. Dari penggalian ini, Desolce mengklaim bahwa makam para raja berasal dari zaman Nabi Daud Alaihi Salam (AS).

Pada tahun 1867-1870 lembaga arkeologi dari Inggris mulai menggali puluhan lokasi di Al-Quds dan sekitar Masjid Al-Aqsa, mengarah ke tembok masjid bagian timur, selatan dan barat. Penggalian ini berlangsung hingga tahun 1928.

Pasca Rezim Israel mengusai Al-Quds, pada akhir tahun 1967, Zionsi Israel melakukan penggalian terowongan yang lebih besar dan lebih panjang pada wilayah bagian selatan dan barat masjid hingga mencapai 14 meter. Namun dari sekian banyak penggalian yang dilakukan, tidak ada satupun bukti, baik historis maupun arkeologis yang menegaskan bahwa kuil Sulaiman pernah berdiri di tempat tersebut. Akan tetapi penggalian terus dilakukan hingga saat ini dan semakin massif saja.

3. Mempersulit akses Ummat Islam dalam beribadah di masjid Al-Aqsa

Sampai saat ini, aparat Zionis masih mempersulit ummat Islam, khususnya warga Palestina untuk beribadah di Masjid Al-Aqsa. Menteri Keamanan Dalam Negeri Israel, Gilad Erdan mengatakan, pasukan Israel berhak melakukan tindakan apapun dengan alasan menjaga keamanan (Associated Press, (20/7/17).

Untuk membatasi akses masuk ke masjid Al-Aqsa, Zionis Israel pada tahun 2017 pernah memasang detektor dan memeriksa semua orang yang akan masuk ke Masjid. Berbagai cara lain juga dilakukan untuk mencegah masuknya warga Muslim Palestina ke kompleks masjid. Di antaranya yang paling terkenal adalah pembangunan tembok pemisah di kawasan Tepi Barat sejaak tahun 2000.

Dunia internasional menyebutnya sebagai “penjara” bagi warga Palestina. Dari sekitar tiga juta warga Palestina di Tepi Barat, hanya mereka berusia di atas 50 tahun yang mendapat akses masuk ke Al-Aqsa, sementara yang lainnya (warga di bawah usia 50 tahun) harus mengurus izin terlebih dahulu kepada pemerintah Zionis Israel.

Sementara bagi warga Muslim yang tinggal di Kota Tua Yerusalem, hanya pada hari Jumat dan Hari Raya mereka diperbolehkan shalat di masjid Al-Aqsa dengan pemeriksaan dan pengawasan yang ketat.

Pemerintah penjajah Zionis sebagaimana yang dikutip oleh Reuters (Nov ‘19) pernah mengatakan: “Semua agama dipersilahkan untuk mengunjungi tempat suci mereka. Tapi banyak warga yang enggan berziarah ke Masjidil Aqsa karena mereka diharuskan mengajukan visa kepada pemerintah Israel yang itu artinya sama saja dengan mereka mengakui kedaulatan negara Israel.

Organisasi kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang berpusat di Indonesia menceritakan seorang warga Palestina yang bernama Ziad. Ziad berkata: “Saya tinggal di dekat kompleks suci Al-Quds, tetapi saya tidak pernah bisa masuk ke kompleks masjid  Al-Aqsa. Bahkan dalam perjalanan hidup saya, lebih mudah untuk sampai ke Indonesia dari pada shalat di Masjid Al-Aqsa.

Berdirinya negara Israel di wilayah Palestina disamping karena kuatnya musuh-musuh Islam adalah karena lemahnya kesatuan ummat Islam itu sendiri dan kurangnya kesadaran dan perhatian mereka terhadap nasib rakyat Palestina dan Masjid Al-Aqsa.

Golda Meir, Perdana Menteri Israel berkata: “Ketika masjid Al-Aqsa dibakar, aku tidak bisa tidur semalam suntuk karena aku mengira Bangsa Arab (ummat Islam) akan memasuki Palestina secara berbondong-bondong. Tetapi aku salah karena pada pagi harinya ternyata tidak terjadi apa-apa.

Pada 29 September 1967, Organisasi Kerja sama Islam (OKI) lahir sebagai reaksi pemakaran itu, tetapi tanpa aksi yang berarti. (A/IM/P2/RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)