Oleh : Sarah Algherbawi, Penulis lepas dan Penerjemah dari Gaza
Saya seorang wanita berusia 31 tahun yang telah tinggal di Gaza hampir sepanjang hidupku.
Saya mencintai Gaza. Saya milik rakyatnya. Saya juga telah menjalani masa perang di Jalur Gaza.
Saya mengalami semua trauma dan rasa sakit yang telah membentuk ikatan tak terlukiskan di antara yang tinggal di sudut kecil di peta ini.
Baca Juga: Al-Qasam Rilis Video Animasi ”Netanyahu Gali Kubur untuk Sandera”
Tapi saya selalu ingin bepergian ke luar Gaza, meskipun kesempatan itu terbatas. Ini mengingat banyaknya pembatasan perjalanan yang diberlakukan Israel pada kami.
Namun beberapa bulan yang lalu, pada bulan September, saya berkesempatan melakukan perjalanan ke Istanbul untuk bekerja. Sejak itu, ketika saya mencoba menulis tentang pengalaman itu, ternyata terlalu berlebihan.
Selama bertahun-tahun saya telah menyangkal tentang dunia di luar Gaza. Saya berpikir, meskipun hidup kadang-kadang tak tertahankan di Gaza, tapi saya benar-benar tidak ingin kehilangan banyak hal.
Kini dengan cara ini, saya telah menghindari kekecewaan begitu lama. Tapi perjalanan terakhir ini, saya benar-benar memahami apa yang telah saya lewatkan: detail kecil dari kehidupan normal.
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Panik di udara
Di pesawat dari Amman, Yordania, jantung saya mulai berdetak kencang. Tanganku gemetar dan aku merasakan mual di perutku. Saya panik disebabkan ini penerbangan pertama saya.
Saya merasa malu jika mengingat hal itu dan bagaimana di bandara. Saya seperti anak kecil, menerka-nerka bagaimana caranya check-in dan tidak mengetahui prosedur perjalanan. Saya pun harus bertanya-tanya kepada orang asing dan staf tentang ke mana harus berjalan, ke mana harus meletakkan tas saya, dan di mana harus menunjukkan paspor saya.
Saya bersemangat tetapi gugup. Bersyukur bisa berwisata. Namun, saat berbicara dengan penumpang di sebelah saya, seorang pria Yordania berusia 30 tahuhan, saya menyadari bahwa seseorang yang tinggal di Gaza hanya dapat melakukan perjalanan sejauh ini. Saya masih belum bisa sepenuhnya memutuskan hubungan dari realitas kehidupan di Gaza.
Baca Juga: Tentara Cadangan Israel Mengaku Lakukan Kejahatan Perang di Gaza
Dia sedang dalam perjalanan ke Prancis bersama ibunya yang sudah lanjut usia, untuk merayakan ulang tahunnya. Saya ikut merasa senang untuk mereka. Walaupun agak pening juga saat memproses detail kecil dari semua itu.
Tampaknya begitu sederhana, bepergian ke luar negeri untuk merayakan ulang tahun. Itu begitu tak terduga bagi orang seperti saya dari Gaza. Jangankan untuk itu, perjalanan untuk perawatan medis yang menyelamatkan jiwa saja merupakan sebuah perjuangan luar biasa.
Saya kemudian mengerti betapa terhubungnya saya dengan penderitaan kami di Gaza. Bagaimana, bahkan di saat-saat yang baik, pikiran saya akan selalu berada di Gaza.
Damai sementara
Baca Juga: Jihad Islam Kecam Otoritas Palestina yang Menangkap Para Pejuang di Tepi Barat
Di Istanbul, saya berjalan-jalan di sekitar kota, berhenti di Taksim Square untuk mengagumi gedung-gedung modern, cakupan kehidupan kota yang luas. Ruang publik penuh dengan musisi dan orang-orang dari segala penjuru. Tamannya hijau dan menyenangkan, dengan taman dan danau untuk istirahat sejenak.
Tidak ada dengungan dari drone Israel, tidak ada ketakutan akan konflik. Di sini juga tidak ada suara pengingat para syuhada atau faksi politik.
Saya merasa damai selama jalan-jalan ini, meski hanya sementara. Setiap pengalaman baru ada rasa kegembiraan menyelimuti saya. Sebuah suara di dalam benakku akan keinginan baru yang telah lama kutahan.
Saya ingin terbiasa dengan listrik 24 jam. Saya ingin anak-anak saya memiliki tempat yang aman untuk bermain. Saya ingin hidup tanpa takut akan konflik. Saya ingin bepergian dengan bebas.
Baca Juga: Israel Larang Renovasi Masjid Al-Aqsa oleh Wakaf Islam
Saya ingin memiliki kehidupan yang normal
Sebagai seorang Muslim, saya yakin kita memiliki kehidupan yang terjaga. Setelah kita meninggal pun kita memiliki kehidupan baru. Tapi di Jalur Gaza, warga Palestina tidak memiliki kehidupan yang layak. Hanya kematian dan akhirat bagi kita.
Kami sering memuji kekuatan dan kesabaran kami. Kami kuat dan tangguh. Seolah-olah kita punya pilihan. Itu satu-satunya cara kami bertahan hidup.
Ketika perjalanan saya ke Turki berakhir, saya merasa seperti mengucapkan selamat tinggal pada tempat itu. Saya meninggalkan keberadaan yang lebih normal, di mana saya bisa menerima kedamaian.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Saya berharap suatu hari nanti, kehidupan normal ini adalah sesuatu yang dapat dimiliki warga di Jalur Gaza. (AT/ara/RS2)
Sumber : The Electronic Intifadha.
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis