Oleh: Bahron Ansori*
Saudaraku…
Grafik kehidupan ini tak selamanya naik, adakalanya turun. Sebagai manusia beriman, tak selamanya perjalanan keimanan kita lurus. Menggapai ridha Allah itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Meraih sukses tak sekedar dengan duduk bersimpuh dan berdoa. Untuk meraih keimanan yang sempurna, pasti ada duri dan ranjau yang mesti kita lewati. Begitu juga untuk menggapai ridha Allah, pasti ada ujian yang mau tidak mau mesti kita hadapi. Sebab dengan ujian itulah kualitas iman kita terlihat; sudah menjadi emaskah atau baru sebatas tempaan besi.
Adakah di antara kita yang sudah merasa suci dan paling banyak amalnya? Adakah di antara kita yang sudah yakin mempunyai kebersihan hati? Adakah di antara kita yang merasa hidup ini tak perlu tambahan ilmu? Adakah di antara kita yang merasa menjadi yang terbaik? Adakah di antara kita yang merasa memiliki kekuatan untuk bersikap sewenang-wenang terhadap sesama?
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Adakah di antara kita yang sudah merasa nyaman dengan perbuatan dzalim kepada saudara sendiri? Adakah di antara kita merasa menjadi yang terbaik sehingga tak membutuhkan orang lain? Adakah di antara kita yang merasa paling benar sehingga orang lain pantas disalahkan? Atau, adakah di antara kita merasa kita adalah pewaris surga firdaus sementara mereka tak berhak sedikitpun?
Atau sebaliknya, kita benar-benar sadar bahwa hidup ini hanya sekejap desahan nafas, sehingga tak ada waktu bagi kita untuk melakukan sesuatu yang sia-sia? Kita merasa mempunyai banyak kelemahan sehingga membutuhkan masukan dan mesti banyak belajar dari orang lain? Mari bermuhasabah saudaraku…
Jika merasa diri ini berlumur dosa dan maksiat, maka segeralah membasuhnya dengan air taubat. Jika merasa diri ini serba paling; paling tahu, paling kuat, paling kaya, paling berpengaruh dan paling paling lainnya, maka segeralah introspeksi. Segeralah, jangan ditunda, sebab kita tak pernah tahu kapan keranda kematian itu akan membawa kita pada peristirahatan terakhir (liang lahat). Segeralah berlari kepada yang Maha Hidup, sebab Dia-lah yang mampu menerima segala keluh kesah kita. Dia-lah yang mampu mengampuni dan menghapus semua dosa dan maksiat yang pernah kita torehkan dalam kesucian hidup ini.
Bersihkan diri dengan bertaubat. Amatilah perjalanan yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani, dalam kitab Al Isti’dad Li Yaumil Ma’ad tentang 10 sikap yang harus dilakukan oleh seseorang yang bertaubat yaitu; mengucapkan istighfar secara lisan, menyesali perbuatan dosa di dalam hati, memutuskan prilaku dosa dari badan, bertekad untuk tidak kembali melakukan kemaksiatan, mencintai akhirat, membenci dunia, sedikit bicara, sedikit makan dan minum untuk menggali ilmu, banyak beribadah, dan sedikit tidur.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Menurut Ibnu Hajar, empat sikap pertama yakni; mengucapkan istighfar secara lisan, menyesali perbuatan dosa di dalam hati, memutuskan prilaku dosa dari badan, bertekad untuk tidak kembali melakukan kemaksiatan, merupakan syarat yang harus dilakukan oleh setiap Muslim yang ingin bertaubat. Sikap kelima dan keenam, yakni cinta akhirat dan membenci dunia adalah hasil yang wajar dan buah dari taubat yang bersih dan tulus kepada Allah. Cinta akhirat tanpa melupakan dunia adalah energi hidup yang mampu menajamkan mata hati, sehingga terlihat dengan jelas antara hak dan batil, antara jalan Allah dan jalan syaithan. Cinta akhirat adalah kekuatan untuk mengokohkan pijakan kaki di alam fana yang penuh godaan ini.
Orang yang bertaubat dengan benar kepada Allah adalah orang yang menggantungkan hatinya pada Ar Rahman, Pemberi Nikmat yang tak pernah terlintas dalam pikiran manusia. Karena itu, orang yang bertaubat pasti zuhud terhadap dunia. Ia takkan tertipu seperti sebelumnya. Ia tidak bersedih jika ditinggalkan dunia, tak merasa gembira jika di datangi dunia. Ini disebabkan karena dominannya perasaan tergantung pada akhirat dalam hatinya.
Sikap ketujuh, bukan berarti diam dan bisu tak berhubungan dengan manusia. Tetapi maksudnya adalah sangat hati-hati dalam melakukan apa pun yang dikeluarkan dan dimasukkan melalui mulut. Orang yang bertaubat tidak akan berbicara kecuali bila pembicaraannya bisa mendatangkan ridha Allah. Ia sangat takut kepada Allah setelah bertaubat. Ia senantiasa berusaha menjaga lisannya dari kejahatan-kejahatan lisan. Sebelum berbicara, ia mesti berfikir lebih dulu; apakah kata-kata yang akan diucapkannya itu akan mendatangkan murka dan kebencian dari Allah, atau sebaliknya.
Ibnu Hajar mengatakan, “Ia mungkin akan lebih banyak berzikir yang bisa mendatangkan cinta Allah karena ia merasa tidak punya waktu cukup untuk membicarakan selain-Nya.”
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Sikap kedelapan dan kesembilan, yaitu sedikit makan dan minum serta banyak beribadah, adalah sikap yang saling terkait. Sedikit makan dan minum adalah ciri perhatian orang yang memperhatikan kesehatan tubuhnya. Ia tahu bahwa orang yang sakit takkan mampu melakukan ibadah. Makanan adalah salah satu sebab yang menimbulkan penyakit, dan bila dilakukan tanpa kontrol akan mengurangi semangat beribadah. Dia tahu, banyak makan dan minum hanya akan mematikan hati dari kebenaran dan memperkuat syahwat.
Sikap terakhir, sedikit tidur, adalah karena orang yang bertaubat merasakan waktunya sangat sedikit dan usianya tidak panjang. Terlalu banyak waktu yang terbuang untuk memperbanyak tidur. “Maka orang yang berfikir akan memerangi tidur sejauh yang ia mampu melakukannya kemudian menyibukkan diri dengan memperbanyak amal ibadah dan taqarrub ilallah,” jelas Imam Ibnu Hajar.
Ibnu Qoyyim al Jauzi pernah menyebutkan ada orang yang diberikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala surga di dunia kemudian ia memiliki simpanan kenikmatan surga di akhirat. Mereka disebut Ibnu Qoyyim sebagai raja akhirat dan orang yang paling bahagia di dunia. Siapakah mereka?
Ibnu Qoyyim mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang hatinya memandang kefakiran menjadi kekayaan bersama Allah. Memandang kekayaan sebagai kefakiran tanpa Allah. Memandang kemuliaan adalah kehinaan tanpa Allah dan memandang kehinaan adalah kemuliaan bersama Allah. Memandang siksaan sebagai kenikmatan bersama Allah dan memandang kenikmatan sebagai siksaan tanpa Allah. Ia tak melihat kehidupan sebagai kebaikan kecuali bersama Allah. Sebaliknya, hidupnya akan menjadi kematian, kesedihan, kesengsaraan dan kegelisahan selama tidak bersama Allah. Inilah orang-orang yang mendapatkan dua surga. Surga dunia yang didahulukan dan surga akhirat.” (Al Fawaid / 252).
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
Saudaraku…
Dibutuhkan kebersamaan agar kita tak tersesat di alam fana ini. Untuk saling mengingatkan satu sama lain, maka kita harus bersama dengan orang-orang yang lurus dan membangun visi misi akhirat. Jangan tinggalkan mereka jika kita ingin selamat, karena orientasi mereka jelas: ridha Allah. Cintai mereka yang berpihak kepada Allah dan Rasul-Nya. Cintai setulus dan sepenuh hati karena iman, bukan karena dunia. Mencintai mereka berarti membangun jembatan menuju cinta Allah. Bukankah orang yang saling mencintai karena Allah akan mendapatkan naungan-Nya kelak dimana suat hari tak ada naungan kecuali naungan-Nya?
Simaklah beberapa sabda dari Nabi SAW yang kita cintai berikut ini, “Sesungguhnya Allah berfirman di hari kiamat, “Di mana orang-orang yang saling mencintai kerana Keagungan-Ku? Hari ini Aku naungi mereka dengan naungan-Ku di saat tak ada naungan lain kecuali naungan-Ku.” (HR Muslim). Pada kesempatan lain, Nabi SAW bersadba, “Siapa yang ingin merasakan manisnya keimanan, hendaklah ia mencintai seseorang, yang tidak ia cintai kecuali kerana Allah.” (HR Ahmad). Dan dalam hadis lain Nabi SAW bersabda, “Tidaklah seorang hamba Allah mencintai hamba Allah kerana Allah, kecuali ia akan dimuliakan oleh Allah.”
Agar Allah ridha kepada kita, mari berdoa, seperti doa Allahyarham, KH. Rahmat Abdullah, “Ya Allah, Jadikanlah kami orang-orang yang Atsbatuhum mauqiifan…Yang paling kokoh sikapnya, Arhabuhum shadran…Yang paling lapang dadanya, A’maquhum fikran…Yang paling dalam pemikirannya, Ausa’uhum nazharan…Yang paling luas cara pandangnya, Ansyatuhum’amalan…Yang paling rajin amal-amalnya, Aslabuhum tanzhiman…Yang paling solid penataan organisasinya, Aktsaruhum naf’an…Yang paling banyak manfaatnya.” Wallahua’lam.(R2/E02)
Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina
*Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?