Banda Aceh, MINA – Sebanyak 23 nelayan asal Aceh kembali ditangkap, kejadian ini belum lama setelah kasus penangkapan 16 orang nelayan Aceh oleh otoritas Myanmar pada November 2018 lalu. Nelayan asal Aceh Timur itu diduga melakukan pelanggaran batas wilayah negara dan melakukan pencurian ikan diperairan Myanmar.
Sebanyak 23 asal Aceh itu ditangkap oleh militer angkatan laut Myanmar pada tanggal 6 Februari 2019 dan mereka kini ditahan di Kawthoung, Myanmar.
Menurut Sekretaris Panglima Laot Aceh Miftah Cut Adek, kasus tersebut sudah direspon oleh pemerintah, saat ini Pemerintah Aceh sedang melakukan koordinasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yangon Myanmar untuk pembebasan nelayan tersebut.
“Para nelayan itu sudah diamankan di Pos angkatan laut Myanmar, posisinya sama saat 16 nelayan sebelumnya ditangkap. Kita sudah koordinasi dengan Pemerintah Aceh dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan. Sekarang sedang dilakukan upaya negosiasi,” kata Miftah di Banda Aceh, Jumat (22/2).
Baca Juga: Cuaca Jakarta Diguyur Hujan Selasa Siang Hingga Sore Ini
Menurut informasi yang ia dapatkan, nelayan asal Aceh itu berlayar dari Kabupaten Aceh Timur pada tanggal 28 Januari 2019. Ke 23 orang nelayan tersebut semuanya adalah warga Aceh Timut. Diperkirakan para nelayan ini masuk ke perairan Myanmar tanpa disengaja.
Miftah menambahkan, rusaknya alat navigasi menjadi penyebab para nelayan tersebut masuk ke wilayah Myanmar.
“Saat itu mereka sedang lempar pukat ke laut, tiba-tiba angkatan laut mendekat ke mereka dan ditahan,” kata Miftah.
Menurut data yang diperoleh Lembaga Adat Panglima Laot Aceh, sedikitnya ada empat kasus penangkapan nelayan Aceh selama tahun 2018, lantaran melanggar batas wilayah teritorial, jumlah nelayan yang ditangkap sebanyak 32 orang.
Baca Juga: Ketua MPR RI Salurkan Bantuan untuk Korban Erupsi Gunung Lewotobi
Miftah menyebutkan, saat ini masih ada empat nelayan Aceh di Langkawi Malaysia yang belum dibebaskan, pihaknya meminta pemerintah untuk segera merespon hal tersebut, dan melakukan negosiasi dengan pihak otoritas Malaysia.
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Cut Yusmaniar mengatakan, pemerintah Aceh akan mensosialisasikan kepada nelayan tentang penggunaan alat navigasi dan membekali boat-boat nelayan alat navigasi agar kasus serupa tidak lagi terjadi.
“Kami ada bantu GPS, tapi selama saya menjabat tahun ini kita bantu. Saya minta ke KKP mereka menyediakan peta antar batas agar bisa nelayan kita bawa ke lapangan. Memang secara aturan mereka ke laut harus punya VMS untuk memonitor. Tapi wilayah kita Aceh belum pakai itu, kalau di daerah lain kapal-kapal besar, mereka sudah pakai itu,” jelas Cut.
Selama ini, peran Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh selain mencegah nelayan asing mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia, namun juga menjaga nelayan Aceh agar tidak melewati batas teritorial.
Baca Juga: HGN 2024, Mendikdasmen Upayakan Kesejahteraan Guru Lewat Sertifikasi
“Kita terus melakukan patroli. Selain memonitor nelayan asing masuk ke wilayah kita, kita juga memonitor nelayan sendiri agar tidak melewati batas wilayah negara orang,” tambahnya.
Pengetahuan tentang batas wilayah perairan sangat penting untuk diketahui oleh semua nelayan Indonesia. Jangan sampai nelayan kita melakukan pelanggaran batas wilayah apalagi melakukan pencurian ikan di perairan negara lain, karena akan ditangkap dan diproses secara hukum tanpa ampun.
“Jika terbukti melanggar, akan sangat sulit untuk diproses, bahkan pemerintah Indonesia pun juga sulit untuk melakukan pembebasan,” pungkasnya. (L/AP/B05)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Hari Guru, Kemenag Upayakan Sertifikasi Guru Tuntas dalam Dua Tahun