Masooka berbaring di tempat tidur di pusat kesehatan yang dikelola pemerintah di Kutupalong. Dia pucat, tenaganya terkuras setelah melahirkan bayi pertamanya. Ibu mertua dan suaminya, terlihat sangat bahagia menatap bayi mungil yang tidur dengan tenang di sampingnya.
Suami Masooka, Shafi Alam, pria berusia 24 tahun itu mengatakan, dia merasa bahagia dan lega karena proses persalinan berjalan lancar. “Saya terkejut dengan pelayanan yang baik di sini,” katanya kepada Al Jazeera.
Mereka belum menamai bayinya. Shafi Alam mengatakan, dia tidak sempat memikirkan nama karena mereka terlalu sibuk berjuang untuk menyelesaikan kebutuhan pokok mereka sejak tiba di distrik Cox’s Bazar di Bangladesh pada 16 September 2017 dari Dhankhali, Maungdaw.
Mereka termasuk di antara 436.000 masyarakat Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar sejak 25 Agustus 2017 ketika militer melancarkan tindakan brutal terhadap kelompok etnis mayoritas Muslim tersebut.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Bidan Penyelamat
Ratusan desa Rohingya dibakar, dan lebih dari 400 Muslim Rohingya terbunuh.
Badan-badan bantuan kemanusiaan berjuang untuk memberikan perlindungan, makanan dan perawatan kesehatan kepada orang-orang putus asa, yang tidak dianggap sebagai warga negara oleh pemerintah Myanmar meskipun telah tinggal selama beberapa generasi.
Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) memperkirakan, dari hampir 150.000 wanita Rohingya yang berusia produktif (15-49 tahun), ada sekitar 24.000 orang hamil dan menyusui.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Cukup banyak bidan yang dilatih oleh UNFPA, datang membantu ibu hamil dan ibu muda, yang mencari layanan dari pusat kesehatan seperti di Kutupalong.
Tania Aktar, salah satu bidan yang bekerja di Kutupalong telah bekerja di Puskesmas Kutupalong sejak Februari 2017. Dia mengatakan, sejak masuknya orang Rohingya, pusat kesehatan tersebut menerima banyak pasien.
“Kami telah melakukan 12 pengiriman dalam 21 hari terakhir,” kata wanita berusia 24 tahun itu.
“Beberapa wanita Rohingya, yang datang untuk melahirkan, tanpa makanan berhari-hari, tidak memiliki pakaian yang layak, dan tidak memiliki uang untuk membeli kebutuhan lain. Mereka benar-benar tidak berdaya. Banyak dari mereka melahirkan bayi di pinggir jalan,” ujarnya.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Pusat kesehatan, yang juga melayani penduduk lokal ini menyediakan layanan antenatal (pemeriksaan kehamilan) dan juga pasca kelahiran.
Bebas Biaya
Wanita hamil seperti Arefa Begum misalnya, harus berlari selama berhari-hari untuk lolos dari kematian. Dia hamil sembilan bulan dan tiba di Bangladesh pada 13 September 2017 dari Bolibazar, Maungdaw.
“Saya harus berjalan bermil-mil dan tidak dapat beristirahat, saya tidak memiliki makanan dan hujan membuat keadaan menjadi lebih buruk. Saya sangat lelah, saya tidak bisa bernafas,” ujar Arefa, yang kaki dan tangannya bengkak.
“Tidak ada tempat dimana saya bisa merasa aman kembali di Myanmar. Saya merasa lebih baik di sini.”
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Arefa berada dalam antrian untuk berkonsultasi dengan bidan di Kutupalong. “Kami tidak memiliki akses ke fasilitas kesehatan di Myanmar. Saya senang berada di sini,” tuturnya.
Sementara itu, salah satu bidan lainnya, Najma Akter mengatakan, obat-obatan dan layanan di puskesmas bebas biaya.
“Kami mengunjungi masyarakat di dalam kamp pengungsian dan menasihati mereka untuk memanfaatkan layanan kami,” kata Najma.
“Di kamp, ibu memiliki tingkat gizi rendah, mereka menderita anemia, mereka tidak memiliki akses terhadap perawatan kesehatan sebelumnya,” tuturnya.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Najma (24) mengatakan, pusat kesehatan juga menawarkan layanan untuk pasien umum, termasuk anak-anak dan orang tua.
Salah seorang pengungsi, Asharu yang berusia 20 tahun juga datang untuk check-up. Bayinya dibawa ke puskesmas enam hari yang lalu. Dia mengeluh sakit badan dan pusing.
Dia mengatakan tidak ada fasilitas kesehatan seperti ini di desanya Sabraguna di Maungdaw. “Saya senang dengan layanan di sini,” tuturnya.
Sementara, Mohammad Ashraful Alam, Petugas Lapangan UNFPA mengatakan, organisasinya telah menyediakan 68 bidan di Cox’s Bazar, termasuk pusat kesehatan Kutupalong.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
“Saat ini kami menjalankan empat kamp medis dan berencana untuk mendirikan empat lagi,” katanya.
Selain itu, Priya Marwah, Koordinator Respon Kemanusiaan UNFPA mengatakan, mereka berusaha memperkuat layanan tersebut dengan bantuan pemerintah dan mitra lokal.
“Kami menyediakan layanan dan pasokan ke penyedia layanan kesehatan baik klinik yang dikelola oleh pemerintah maupun klinik yang dikelola oleh IOM atau klinik UNFPA yang dikelola oleh mitra lokal kami,” ujar Priya.
“Dua hari yang lalu kami menemukan seorang wanita yang melahirkan di pinggir jalan pada tengah malam. Dia dibawa ke salah satu pusat kesehatan kami dimana bidan kami dapat merawatnya dan bayinya, ”
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
“Cerita seperti ini terjadi setiap hari,” tuturnya.
Keluarga Berencana
Di kamp pengungsi Thaingkhali, sekitar 100 wanita hamil berkonsultasi dengan bidan di klinik keliling yang dikelola oleh UNFPA.
Priya mengatakan, mereka juga berfokus pada higiene menstruasi dan mendukung pasangan dalam membangun Women Friendly Spaces yang menawarkan dukungan konseling dan psikososial kepada banyak wanita yang mengalami trauma.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
“Mitra yang bekerja dengan kami di Women Friendly Spaces telah mendengar kasus di mana perempuan menjadi sasaran kekerasan berbasis gender, bukan hanya kekerasan seksual,” tuturnya.
Namun, ia mengaku perlu meningkatkan operasi untuk menjangkau lebih banyak wanita.
Tania yang juga seorang bidan UNFPA mengatakan, perempuan Rohingya sangat lemah karena memiliki banyak anak.
“Kami telah menemukan banyak ibu dengan 7-14 anak karena mereka tidak memiliki pengetahuan tentang keluarga berencana,” kata Tania.
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
“Kami mencoba berbicara dengan mereka dan meyakinkan mereka untuk menggunakan program keluarga berencana karena itu baik untuk kesehatan mereka,” tuturnya. (T/R05/P2)
(Penulis: Saif Khalid, Al-Jazeera)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud