Bil Jama’ah

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior MINA (Mi’raj News Agency), Duta Internasional Al-Quds, Direktur Ma’had Tahfidz DTI (Daarut Tarbiyah Indonesia)*

Selalu menjaga takwa adalah prioritas kegiatan setiap Muslim. Takwa tidak bisa diperoleh dengan sambilan, sambil lalu atau iseng-iseng. Tapi harus dengan benar, jujur, sungguh-sungguh dan terus menerus. Agar Allah berkenan mengampuni dosa-dosa kita, seperti janji-Nya di dalam ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهِ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

Artinya: “Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar. Dengan begitu, niscaya semua yang kalian lakukan hasilnya akan menjadi baik dan dosa-dosa kalian akan diampuni Allah. Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia memperoleh kemenangan yang sangat besar.” (QS Al-Ahzab [33]: 70-71).

Belajar takwa dan tawakkal, dari perjuangan hidup Siti Hajar, isteri Nabi Ibrahim, dan puteranya Ismail yang masih bayi, saat ditinggalkan tanpa siapa-siapa dan tanpa apa-apa di padang pasir di dekat Baitullah kala itu. Hanya dengan meninggalkan tempat makanan berisi sedikit kurma dan tempat minum berisi air.

Begitu Nabi Ibrahim hendak berangkat kembali ke wilayah Masjidil Aqsha, Ibrahim meninggalkan keduanya. Siti Hajar mengikutinya dan bertanya, “Hendak ke manakah engkau wahai Nabiyullah Ibrahim? Engkau meninggalkan kami di lembah yang tiada siapapun atau apa pun?” Hajar mengulang pertanyaannya beberapa kali.

Dilihatnya Nabi Ibrahim hanya diam dan tetap terdiam tanpa jawaban. Padahal betapa Nabi Ibrahim yang berhati lembut, penyantun lagi penuh kasih kepada keluarganya, isterinya dan anaknya Ismail yang masih bayi. Betapa ia tak kuasa menjawab pertanyaan itu dan tak tega melihat kedua manusia yang dicintainya itu, untuk memenuhi amanah, perintah Allah untuk berangkat dari Baitullah ke Al-Quds.

Lalu, dengan penuh keimanan pula, Siti Hajar pun akhirnya menyampaikan, “Apakah Allah yang menyuruh engkau berbuat demikian?” tanyanya. “Benar,” jawab Nabi Ibrahim. Hajar pun berkata, “Jika demikian, maka Allah tentu tidak akan menelantarkan kami.”

Belum selesai sampai di situ, beberapa hari Siti Hajar menyusui Ismail kecil dan minum dari tempat perbekalannya. Dan, setelah air itu habis, ia pun kehausan. Demikian pula anaknya. Siti Hajar memperhatikan anaknya yang berguling-guling kehausan. Ia tak tega. Dengan penuh cinta, ia beranjak pergi mendaki ke Bukit Shafa. Ia berharap ada orang yang akan menolongnya atau menemukan lokasi air. Ketika tak menemukan apa yang dicarinya, ia menaiki satu bukit lainnya, Bukit Marwah. Terus-menerus seperti itu sebanyak tujuh kali, sampai datanglah pertolongan Allah. Tiba-tiba air keluar dari bawah kaki Ismail kecil yang menangis karena kehausan, yang kemudian disebut dengan “air zam-zam”.

Karena itulah, sangat wajar seperti disebutkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebut Siti Hajar dalam sabdanya, “Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada ibunda Ismail, Siti Hajar. Jika ia membiarkan Zamzam atau jika ia tidak membuat kolam, niscaya Zamzam menjadi mata air yang mengalir.”

Setelah itu, jamaah umrah maupun haji, hingga kini 1,5 juta jamaah haji, dan entah sudah berapa miliar kaum Muslimin yang pergi ke Baitullah. Menapaktilasi sa’i antara Shafa dan Marwah dalam tujuh kali jalan kaki, sepanjang sekitar 450 meter kali 7 yaitu 3,15 km bolak-balik.

Sebuah penghormatan luar biasa dari Allah kepada Siti Hajar, sekaligus pembelajaran dan ibrah bagi kaum Muslimin. Begitulah sosok Siri Hajar yang patut diteladani, bukan hanya karena mencari air zamzamnya. Namun karena ketakwaannya, kesabaran jiwanya, ketabahan hatinya, keteguhan imannya, kethaatan amalnya, ketawakkalan upayanya, dan segala kebaikannya untuk kita teladani.

Ujian dan cobaan perintah Allah bukan hanya sampai di situ. Beberapa tahun setelah Nabi Ibrahim meninggalkan kawasan Baitullah menuju kawasan Al-Aqsha. Kemudian Allah perintahkan kembali beliau untuk melakukan long march perjalanan kaki menempuh ribuan kilometer dari Palestina menuju Arab Saudi untuk menengok keluarganya, isterinya Hajar dan lebih-lebih putaranya yang sudah mulai tumbuh besar sebagai anak shalih yang membahagiakan.

Sebelum meninggalkan Palestina, terlebih dahulu Nabi Ibrahim yang sangat dikenal sebagai hamba yang dermawan, penyantun, taqwa, dan cinta kepada Allah ; Beliau berqurban dengan 1.000 ekor kambing, 300 ekor lembu, dan 100 ekor unta. Hal ini membuat orang-orang dan para malaikat sekalipun terheran-heran.

Nabi Ibrahim berkata, “Setiap apapun yang membuat aku dekat dengan Allah, maka tidak ada sesuatu yang berharga bagiku. Demi Allah, jika aku mempunyai seorang anak, niscaya aku pun akan menyembelihnya ke jalan Allah. Jika itu bisa membuatku dekat kepada Allah.”

Lalu beliau pun berdoa:

رَبِّ هَبۡ لِى مِنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ

Artinya: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang termasuk orang-orang yang shalih.” (QS Ashshaffat [37]: 100).

Itulah wujud takwa, yaitu menjalankan perintah Allah dan meninggallkan larangan-Nya.

اِمْتِثَالُ اَوَامِرِ الله وَاجْتِنَابُ النَّوَاهه

Takwa, Tunduk, Labbaik

Selanjutnya, masih dari kisah Nabi Ibrahim. Di tempat yang luas, samudera padang pasir tanpa manusia itulah, ketika Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membangun kembali Baitullah, Nabiyullah Ibrahim Allah perintahkan untuk menyeru manusia agar mengunjungi tempat itu untuk berhaji.

Ketika mendapatkan perintah ini, Nabi Ibrahim pun kebingungan, bagaimana cara untuk menyeru agar manusia dapat menunaikan ibadah haji? Beliau pun mengeluhkan “Wahai Rabb, bagaimana saya dapat menyerukan sementara suara saya tidak dapat didengar mereka?” Maka Allah pun berkata kepada Ibrahim “Serulah, kami yang akan menyampaikannya.”

Nabi Ibrahim pun menyeru, “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan Baitullah, maka tunaikanlah ibadah haji.”

Setelah itu, gunung itupun tunduk dan menyebarkan seruan Nabi Ibrahim hingga seluruh manusia mendengarnya. Mereka pun kemudian menjawab “Labbaik allahumma labbaik” (Saya penuhi panggilanmu ya Allah. Saya penuhi panggilanmu).

Karena itu, ini marilah kita selalu menyeru kepada kebaikan, mengajak kepada yang haq, dan mencegah kemungkaran. Siapakah yang mau dan mengikuti seruan kita? InsyaAllah, Allah lah yang akan memberikan petunjuk-Nya.

Pada episode berikutnya, hari Arafah masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, saat beliau sedang melaksanakan wukuf di padang Arafah, bersama dengan sekitar 144 ribu para sahabatnya, ketika untuk pertama kalinya menjalankan ibadah haji tanpa bercampur dengan kaum musryikin.

Di Padang Arafah ini pula Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyampaikan Khutbatul Wada’, atau khutbah perpisahan, yakni tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah. Tahun berikutnya beliau wafat dipanggil Allah. Khutbah yang menggetarkan nilai-nilai kemanusiaan, betapa beliau sangat menghargai harga diri seorang Muslim yang tidak boleh tertumpah darah darinya dan betapa sesama Muslim adalah bersaudara.

Di antara kutipan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada hari khutbah Arafah itu adalah:

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ إِلَى أَنْ تَلْقَوْا رَبَّكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِى شَهْرِكُمْ هَذَا فِى بَلَدِكُمْ هَذَا.

Artinya : “Wahai manusia, sesungguhnya darah kalian dan harta kalian haram atas kalian hingga kalian bertemu Tuhan kalian (hari Kiamat) seperti keharaman hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negri kalian ini.”

وَإِنَّمَا النِّسَاءُ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ، لاَ يَمْلِكْنَ لأَنْفُسِهِنَّ شَيْئًا، وَإِنَّكُمْ إِنَّمَا أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، فَاتَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ وَاسْتَوْصُوا بِهِنَّ خَيْرًا.

Artinya: “Dan sesungguhnya perempuan (isteri) di sisi kalian ibarat tawanan, mereka sedikitpun tidak berkuasa atas diri mereka sendiri, dan sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menjadikan kemaluan mereka halal (untuk kalian) dengan kalimat Allah, bertaqwalah kalian kepada Allah di dalam urusannya perempuan (isteri), dan nasehatlah dengan baik kepada mereka.”

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ وَلاَ يَحِلُّ لامْرِئٍ مَالٌ لأَخِيهِ إِلاَّ عَنْ طَيِّبِ نَفْسٍ مِنْهُ

Artinya: “Wahai manusia, Sesungguhnya orang-orang iman adalah bersaudara, dan tidak halal bagi seseorang harta saudaranya kecuali disertai enak (ridhanya) diri”.

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

Artinya: “Telah aku tinggalkan di kalangan kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat selagi berpegang teguh pada keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabinya.”

أَيُّهَا النَّاسُ، أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ، وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلاَ لأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى.

Artinya: “Wahai manusia, ingatlah sesungguhnya Tuhan kalian itu satu, bapak kalian itu satu, ingatlah tidak ada keutamaan orang Arab melebihi orang A’jam (non-Arab), dan tidak ada keutamaan orang A’jam melebihi orang Arab, dan tidak ada keutamaan orang kulit merah mengalahkan orang kulit hitam, tidak ada keutamaan orang kulit hitam mengalahkan orang kulit merah, melainkan dengan sebab takwa.”

Setelah itu di tempat yang sama dan jarak waktu yang tidak lama baginda Nabi pun mendapat wahyu berupa ayat terakhir :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا

Artinya : “Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan aku sempurnakan atas kalian nikmat-nikmat-Ku, dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 3).

Bil Jama’ah

Kehidupan berjama’ah inilah yang kemudian dilanjutkan oleh Kepemimpinan yang mengikuti jejak-jejak kenabian atau Khilafah ‘Alaa Minhaajin Nubuwwah. Hingga kini dan akhir jaman. Tidak boleh terjadi kehormatan Islam dilecehkan, darah kaum Muslimin khususnya dan manusia pada umumnya tertumpah. Itu semua menjadi catatan betapa urgennya kehidupan berjamaah bagi kaum Muslimin.

Dengan bersatunya kaum Muslimin di bawah Pimpinan seorang Imaam atau Khalifah maka segala potensi kaum Muslimin akan tertata dalam memelihara peradaban dunia berdasarkan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Inilah agama tauhid seperti Allah sebutkan di dalam firman-Nya :

وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِي. فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُرًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ. فَذَرْهُمْ فِي غَمْرَتِهِمْ حَتَّى حِينٍ

Artinya : “Dan sesungguhnya (agama) tauhid ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertaqwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka menjadi terpecahbelah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu.” (Q.S. Al-Mu’minun [23]: 52-54).

Persatuan dan kesatuan umat Islam adalah kekuatan, sementara bertikai dan berpecah belah justru melemahkan perjuangan.

Seperti pada ayat lain Allah mengingatkan:

وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Artinya : “Dan ta`atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Anfal [8]: 46).

Adapun permusuhan dan kebencian sesama kaum Muslimin, merupakan bisikan dan ajakan syaitan. Seperti Allah peringatkan di dalam kalam suci-Nya :

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء…

Artinya : “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian …” (Q.S. Al-Maidah [5]: 46).

Allah pun menegaskan sekali lagi di dalam ayat:

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا وَاذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ

Artinya : “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah seraya berjama’ah, dan janganlah kamu berfirqah-firqah (bergolong-golongan), dan ingatlah akan ni’mat Allah atas kamu tatkala kamu dahulu bermusuh-musuhan maka Allah jinakkan antara hati-hati kamu, maka dengan ni’mat itu kamu menjadi bersaudara, padahal kamu dahulu nya telah berada di tepi jurang api Neraka, tetapi Dia (Allah) menyelamatkan kamu dari padanya; begitulah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu, supaya kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 103 ).

Wujud pengamalan persatuan dan kesatuan umat Islam itu adalah dengan mengamalkan syari’at Jama’ah Muslimin beserta Imaamnya, sebagaimana penjelasan tafsir dari surat Ali Imran ayat 103 itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan:

تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ

Artinya: “Tetapilah oleh engkau Jama’ah Muslimin dan Imaam mereka!” (Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim dari Hudzaifah bin Yaman).

Ibnu Katsir di dalam Tafsir Al-Quranul ‘Adzim menjelaskan, “Bahwa Allah telah memerintahkan kepada umat Islam untuk berjama’ah dan melarang mereka dari perpecahan. Demikian pula termaktub di dalam hadits-hadits yang memerintahkan umat Islam untuk berjama’ah”.

Untuk itu, marilah kita melipatgandakan ruhul jihad fi sabilillah dalam menegakkan kehormatan Islam dan muslimin. Sebab, tanpa adanya jihad fi sabilillah, maka begitulah nasib muslimin dihinakan, dilecehkan, dan dipinggirkan di mana-mana. Al-Aqsha dinodai, kaum Muslimin tertindas di Palestina, Rohingya, dan negeri-negeri lain di mana Islam merupakan minoritas. Sementara saudara-saudara kita masih dilanda konflik di negeri-negeri kawasan Timur Tengah seperti di Iraq, Suriah, Yaman dan lainnya. Semuanya insya-Allah hanya dapat diselesaikan jika kaum Muslimin bersatu dalam satu Jama’ah Muslimin beserta Imaamnya. Allahu Akbar!

Terlebih dalam era dunia yang saat ini penuh dengan ketidakadilan, penindasan, pelecehan, terlebih umat Islam bagai makanan di meja hidangan, dikeroyok dari berbagai penjuru. Terutama tampak sekali dari pemberitaan di media massa baik cetak, elektronik maupun online. Maka saatnyalah kita meningkatkan kewajiban berjihad fi sabilillah, sebagai puncak ibadah kita kepada-Nya.

Seperti disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

أَلاَ أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الأَمْرِ كُلِّهِ وَعَمُودِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ ؟ قُلْتُ : بَلَى يَا رَسُولَ الله . قَالَ : رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ ، وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ.

Artinya : “Sukakah aku kabarkan kepada engkau kepala segala urusan, tiangnya dan puncak ketinggiannya?” Saya (Muadz) berkata: “Pastilah, Duhai Rasulullah!” Jawab Rasulullah, “Kepala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncak ketinggiannya adalah Jihad.”(HR At-Tirmidzi).

لاَ يَدَعُ قَوْمٌ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ ضَرَبَهُمُ الله بِالْفَقْرِ

Artinya : “Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad fie sabilillah, melainkan Allah timpakan kefakiran terhadap mereka.” (HR Ibnu ‘Asakir).

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ ، وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ ، سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ .

Artinya : “Bila kalian berjual‑beli dengan ‘inah (yakni riba dan penipuan), mengikuti ekor‑ekor sapi, menyukai bercocok tanam, dan kalian meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan kehinaan ke atas kalian yang tidak akan dicabut sehingga kalian kembali kepada agamamu.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Hal ini seiring dan sejiwa dengan maklumat Jama’ah Muslimin (Hizbullah), wadah kesatuan umat Islam secara keseluruhan, sebagai perwujudan Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, yang benar-benar secara realita berada di tengah-tengah medan jihad fil ardh, bersama kaum muslimin lainnya.

Hal ini seperti yang dimaklumatkan pada awal ditetapinya Jama’ah Muslimin (Hizbullah) pada Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1372 H. / 20 Agustus 1953 yang antara lain berbunyi, “Bahwa Jama’ah Muslimin (Hizbullah) tegak berdiri di dalam lingkungan kaum muslimin, di tengah-tengah antar golongan, menyeru kepada kebajikan, menyuruh bebuat baik dan mencegah perbuatan munkar. Menolak tiap-tiap fitnah penjajahan, kedzaliman suatu bangsa di atas bangsa lain dan mengusahakan ta’aruf antar bangsa.”

Jama’ah Muslimin (Hizbullah) itu sendiri terlahir dari kandungan kaum muslimin, bersama kaum muslimin, menuju mardhatillah. Jama’ah Muslimin (Hizbullah) juru bicara kaum muslimin dalam menyampaikan amar maruf nahi mungkar ke seluruh permukaan bumi. Jama’ah Muslimin (Hizbullah) juga merupakan tali pengikat dan penghubung di antara kaum muslimin seluruh dunia. Jama’ah Muslimin (Hizbullah)juga merupakan pemanggil seluruh manusia menuju masyarakat yang adil, makmur dan damai, yang rahmatan lil ‘alamin.

Dengan persatuan dan kesatuan (Jama’ah Muslimin), bersaudara saling beramal shalih, inilah tanda-tanda kejayaan kaum Muslimin. (A/RS2/P1)

*Disampaikan pada Kajian Ta’lim Riyasah Jama’ah Muslimin (Hizbullah) Cikarang, Bekasi, Ahad, 4 November 2018.

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.