DI TENGAH penjajahan brutal dan genosida yang tiada henti, boikot, sanksi, dan divestasi (BDS) menjadi jalan perjuangan yang nyata. Ini bukan sekadar tindakan, tapi bentuk perlawanan bermartabat yang bisa dilakukan siapa saja, di mana saja.
Boikot adalah senjata paling mematikan, walau tanpa darah, tanpa peluru, tapi menghantam tepat ke jantung kekuatan perekonomian Zionis.
Boikot adalah sebuah aksi damai paling melumpuhkan, karena ia menyerang langsung ke akarnya, yakni kekuasaan ekonomi yang menopang penjajahan.
Boikot itu bukan sekadar memilih tidak membeli. Tapi boikot adalah pernyataan sikap moral, politik dan komitmen spiritual. Saat satu produk zionis ditinggalkan, itu bukan hanya kerugian materi, tapi itu adalah tamparan perlawanan dari hati nurani dunia.
Baca Juga: Merajut Jalan Indonesia Menuju Pusat Ekonomi Syariah Dunia
Karena itu, boikot sebagai bagian dari ‘Jihad Ekonomi’ dapat menjadi suara paling keras yang diucapkan dengan diam. Tindakan kecil yang berefek besar. Inilah mengapa zionis gemetar. Karena boikot tak bisa dibombardir, tak bisa dijajah, tak bisa dihancurkan dengan senjata.
Selain itu, boikot adalah aksi damai yang menakutkan. Boikot tak perlu tentara. Cukup kesadaran. Cukup keteguhan hati umat manusia yang menolak uangnya membiayai genosida.
Maka, saat kita memboikot produk-produk yang berafiliasi ke Zionis, itu artinya kita sedang menyalakan lentera harapan di Gaza, di Tepi Barat, di Al-Quds, di Al-Aqsa, di seluruh tanah Palestina.
Karena itu, boikot adalah keharusan, bukan sekedar pilihan. Sama seperti ketika kita membela Palestina melalui donasi dan doa.
Baca Juga: Zionisme Adalah Terorisme: Dunia Buta, Palestina Menderita
Boikot bukan sekadar tren. Boikot adalah pernyataan sikap. Ia adalah bahasa protes terhadap ketidakadilan. Dengan menolak membeli produk yang terafiliasi dengan penjajah zionis, kita tengah memotong aliran dana yang menyokong mesin perang Israel.
Jadi, ketika kita menolak membeli, memilih alternatif, dan menyuarakan keadilan, ini berarti kita sedang berpihak dan berdiri bersama rakyat Palestina. Boikot adalah keharusan. Sanksi adalah sikap. Divestasi adalah tekad. Bersama kita bisa menghentikan kejahatan dengan kekuatan moral dan kesadaran kolektif.
Boikot bukan sekadar menolak membeli. Ia adalah perlawanan tanpa darah. Ia adalah senjata moral yang melumpuhkan ekonomi penjajah. Ketika kita menolak produk-produk yang mendukung apartheid Israel, kita sedang memutus rantai pendanaan yang membunuh rakyat Palestina.
Lebih luas lagi, sanksi ekonomi, embargo senjata, dan pembekuan aset terhadap Zionis adalah langkah nyata yang bisa memaksa penjajah Zionis untuk berhenti melanggar hukum internasional. Jika mereka tak takut pada nyawa manusia, mungkin mereka akan takut pada kerugian materi.
Baca Juga: Mindset Tauhid, Dasar Kesuksesan Menurut Al-Qur’an
Demikian juga, bank, perusahaan, dan lembaga keuangan yang berinvestasi dalam pendudukan ilegal harus dihukum. Dana pensiun, asuransi, atau saham yang mengalir ke industri perang Israel harus dialihkan. Uang kita tidak boleh untuk membunuh sesama manusia.
Dengan menarik dukungan finansial, kita membuat penjajah kehilangan napas. Mereka kuat karena uang, dan kita bisa melawan dengan memotongnya. Kita punya daya beli, kita punya suara, dan kita punya solidaritas. Boikot adalah perlawanan tanpa kekerasan yang paling ditakuti penjajah, karena ia menggerus legitimasi dan kekuatan ekonomi mereka. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Mencintai Al-Aqsa: Identitas Muslim Sejati