Oleh: Imam Santoso, Dosen Komunikasi STAI Al-Fatah*
Sejak merebaknya Virus Corona atau Covid-19 menjadi wabah yang bersifat pandemik di Indonesia, ternyata yang terancam olehnya bukan hanya masalah kesehatan dan keberlangsungan nasib hidup manusia semata. Justeru yang sangat terpukul adalah sektor ekonomi dan bisnis, baik perusahaan skala besar hingga pengusaha skala mikro atau UMKM. Jika dibandingkan resesi ekonomi di tahun 1998, kondisi ini jauh lebih dahsyat karena imbasnya lebih dalam dirasakan hingga pengusaha mikro.
Resesi saat ini dirasakan secara merata di semua kalangan, sejak bulan Maret 2020 gelombang PHK sudah mulai terjadi di Indonesia dan sebagian bertahan hingga April dan maksimal di Juni 2020 jika pandemi tak kunjung usai. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) melalui Ketuanya Haryadi Sukamdani menyatakan sudah 698 hotel tutup, transportasi di daerah hanya berjalan 10 persen dan industri manufaktur kesulitan cash flow, minus atau bahkan penghentian produksi.
Jangan tanya soal UMKM, efek tutupnya pasar, terhentinya transportasi dan trafik manusia di luar rumah jelas sangat menghantam pekerja-pekerja harian lepas, pedagang kaki lima hingga pemulung.
Baca Juga: Hadiri Indonesia-Brazil Business Forum, Prabowo Bahas Kerjasama Ekonomi
Seperti dilansir dari Republika Online (1 April 2020), Ketua Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun menyatakan, saat ini hampir semua pelaku UMKM tutup. Mereka tak mampu bertahan ditengah wabah corona, dan hanya mampu menunggukapan berakhirnya wabah ini di Indonesia.”Karena usaha sudah tutup,” tutur Ikhsan.
Resesi memang tak dapat dihindarkan, dan itu sudah dirasakan oleh semua orang tanpa kecuali. Masa depan bisnis seolah berjalan gamang tanpa kepastian, pemilik uang memilih “Hold Cash” dengan menekan pengeluaran seminimal mungkin. Pos-pos yang dianggap tidak penting ditahan, termasuk juga anggaran periklanan dan marketing.
Branding Islam dan Peluangnya Saat Ini
Meski badai resesi menimbulkan dampak ekonomi yang sangat memukul, namun di sisi lain muncul dampak positif yang merubah pola dan gaya hidup masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya. Sejak pertama kali isu tentang Virus Covid-19 muncul yang disinyalir berasal dari konsumsi satwa liar dan hewan-hewan yang dalam ajaran Islam termasuk dilarang (haram) dikonsumsi, muncul kesadaran khususnya dikalangan publik yang beragama Islam untuk lebih berhati-hati mengkonsumsi makanan dan minuman dengan membatasi hanya pada yang halal saja.
Baca Juga: Rupiah Berpotensi Melemah Efek Konflik di Timur Tengah
Kondisi ini tentu menarik dan menjadikan peluang baik bagi brand–brand Islam untuk bangkit dalam situasi yang serba tidak menentu ini. Sebab menurut Baker Alserhan (2010:2), branding Islam didefinisikan sebagai: “Branding yang empatik terhadap nilai-nilai syariah, dengan mengingat tujuan akhir untuk melibatkan konsumen Muslim, mulai dari kedekatan syariah yang esensial hingga konsistensi syariah penuh di semua bagian karakter, perilaku, dan pertukaran merek. Mengungkapkan wawasan tentang islamisasi merek, diidentifikasi dengan merek global yang mencoba memasuki pasar Muslim atau melibatkan konsumen Muslim”.
Menurutnya juga, dengan adanya aturan Islam yang melindungi antusiasme semua transaksi, yaitu, pembeli, dealer, jaringan bisnis, dan kelompok masih tetap dipertahankan. Dalam ajaran Islam, umat manusia diharuskan untuk menjaga kelestarian dan keamanan alam, karena tidak ada mahluk lain yang dapat melakukan tugas ini.
Oleh sebab itu, penekanan tentang isu halal sebenarnya sedang berkembang. Konsepsi halal mempengaruhi bagaimana pemasaran terus dilakukan, sebagaimana situasi saat ini yang seharusnya dijadikan penekanan brand dalam melakukan pemasaran produknya.
Situasi wabah yang menimbulkan kesadaran publik muslim akan pentingnya megkonsumsi dan menggunakan produk yang terjamin halal, adalah peluang yang harus bisa ditangkap oleh brand-brand Islam agar mampu survive dari situasi resesi global saat ini, khususnya di Indonesia yang merupakan negara berpenduduk muslim terbesar. Ditambah lagi dengan kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan, keseimbangan hubungan manusia dan alam, serta pentingnya hidup dengan menjaga sanitasi yang baik yang merupakan ajaran utama dalam kehidupan seorang muslim.
Baca Juga: Komite Perlindungan Jurnalis Kutuk Israel atas Tebunuhnya Tiga Wartawan di Lebanon
Kondisi itu tentu sangat ideal agar sebuah brand masuk dalam “evoke list” publik atau menurut seorang Pakar Branding, Subiakto Priosudharsono disederhanakan sebagai daftar panggil “imagery” yang ada dalam pikiran manusia akan sebuah kategori market mereka. Dalam situasi di mana seseorang sangat butuh produk halal, sehat dan menjadi solusi aman dari penyakit, islam/">brand Islam harus tampil menjadi jawaban semua itu sehingga masuk secara dalam pada sistem pemikiran publik bahwa produk itulah yang akan dipilih jika mereka akan membutuhkan kategori tersebut.
Menjadi Brand Empatik
Sebagaimana disebutkan oleh Alserhan di atas, bahwa islam/">brand Islam adalah brand yang bersifat empatik berdasarkan nilai-nilai syariah. Maka dalam situasi wabah yang sangat memukul ekonomi ini, islam/">brand Islam harus menunjukan sikap empatik dan kepedulian dengan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan bukan semata mencari keuntungan bisnis saja. Sebab tujuan branding bukan hanya sibuk memasukan logo produk pada evoke list konsumen, namun juga harus memasukan unsur gairah atau emosi ke dalam evoke list di benak mereka yang merupakan calon konsumen.
Bagi perusahaan yang mempunyai dana Corporate Social Responsibility (CSR) cukup, inilah peluang terbaik bagi mereka untuk memaksimalkannya dengan melakukan kegiatan-kegiatan sosial atas nama brand itu dan hal ini sudah dilakukan oleh sebuah brand kosmetik ternama. Namun bagi perusahaan kecil, tentu saja tetap bisa melakukan kegiatan Branding Empatik dengan cara yang efisien sesuai dengan budget yang ada.
Baca Juga: OJK Dorong Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah untuk Santri di Kalteng
Intinya adalah, situasi wabah ini merupakan momentum terbaik agar brand bisa menyentuh sisi emosi atau gairah seseorang terhadap sebuah brand. Secara kebetulan juga, situasi cenderung menguntungkan bagi islam/">brand Islam atau brand yang ingin mengambil pangsa pasar muslim di Indonesia, maka langkah menjadikan brand yang peduli akan wabah dan dampaknya bagi masyarakat adalah tindakan yang tepat.
Kegiatan-kegiatan sosial seperti pembagian masker, handsanitizer, pembersihan sarana sosial bisa dilakukan dengan budget yang tidak terlalu besar namun efektif dalam branding. Bahkan perusahaan besar bisa melakukan kerjasama dengan UMKM terdampak agar tetap bertahan, bisa dengan melakukan pelatihan pemasaran secara online dan teknik-teknik lainnya yang membantu mereka tetap survive ditengah krisis pandemik ini.
Banyak cara dan kreatifitas branding dan marketing dapat dilakukan oleh branding Islam agar momentum emas ini tidak terlewatkan begitu saja, sebab ketika semua sudah kembali beranjak normal maka brand yang baru memulai aktif kembali akan tertinggal dengan korporasi yang memiliki alokasi dana besar untuk melakukan kegiatan branding.
Akhirnya, badai pandemik dan resesi bisa saja menghentikan aktifitas transaksi serta cash flow keuangan. Namun jangan pernah berhenti melakukan kegiatan branding produk anda, khususnya bagi brand-islam/">brand Islam karena inilah momentum yang terbaik agar brand bisa memenangkan persaingan masuk dalam evoke list konsumen.
Baca Juga: Wapres: Ekonomi Syariah Arus Baru Ketahanan Ekonomi Nasional
Bukankah Al-Quran juga sudah mengatakan: “Sesungguhnya dibalik kesulitan itu ada kemudahan, dibalik kesulitan ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah:5-6).(AK/R1)
Mi’raj News Agency (MINA)
*Penulis adalah Dosen Komunikasi STAI Al-Fatah, Magister Komunikasi Bisnis Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Ketua Bidang Tarbiyah Jama’ah Muslimin (Hizbullah) Wilayah Jabodetabek, Aktivis Peduli Branding Halal
Baca Juga: Ketum Muhammadiyah: Jadikan Indonesia Pusat Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah