Oleh Nur Abdillah, Staff Majelis Dakwah Jama’ah Muslimin (Hizbullah)
UMRAH bukan sekadar perjalanan fisik menuju Tanah Suci, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang mendalam. Setiap langkah yang diayunkan menuju Baitullah adalah ungkapan kerinduan kepada Allah, rasa syukur atas nikmat iman, dan keinginan untuk mendekat kepada-Nya.
Kenikmatan sejati umroh bukan hanya ketika kita melihat Ka’bah atau mencium Hajar Aswad, melainkan ketika hati kita benar-benar tunduk, jiwa kita bersih dari kesombongan, dan doa-doa kita penuh keikhlasan.
umroh/">Ibadah umroh bukan hanya membentuk pribadi yang taat secara individual, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai ketaqwaan sosial. Dalam suasana yang penuh keberkahan, jamaah dari berbagai negara berkumpul tanpa membedakan suku, bangsa, atau status sosial.
Baca Juga: Menumbuhkan Jiwa Santripreneur di Pesantren
Ini adalah wujud nyata ukhuwah Islamiyah. Ketika seorang jamaah membantu yang lain, tersenyum, dan saling mendoakan, maka lahirlah ketaqwaan sosial yang dicintai Allah. Firman Allah,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Maidah: 2)
Dan perlu kita sadari, pelaksanaan umroh atau haji bukan sekadar perjalanan biasa, tetapi undangan istimewa dari Allah kepada tamu-tamu-Nya. Betul, bekal biaya adalah syarat utama, tetapi tidak semua yang memiliki harta dapat segera berangkat, dan tidak semua yang dhoif selamanya tidak bisa hadir.
Baca Juga: Pentingnya Husnuzan: Melatih Pikiran Positif ala Nabi Muhammad SAW
Banyak kisah orang yang menabung bertahun-tahun, tetapi belum juga berangkat karena Allah belum mengizinkan. Sebaliknya, ada orang yang sama sekali tidak menyangka akan ke Baitullah, tetapi Allah mudahkan jalannya. Sungguh, Allah-lah yang mengatur siapa yang akan Ia undang untuk mencium tanah haram-Nya.
Sabda Rasulullah SAW, “Orang-orang yang berhaji dan berumroh adalah tamu Allah. Jika mereka berdoa kepada-Nya, Allah mengabulkannya. Jika mereka memohon ampun, Allah mengampuninya.” (HR. Ibnu Majah)
Pengorbanan di Tengah Khusyuk, Mendahulukan yang Lemah
Bayangkan seorang pemuda yang baru pertama kali umroh, menatap Ka’bah. Air matanya tumpah, hatinya bergetar. Ia ingin larut dalam dzikir, ingin khusyuk sepenuhnya beribadah kepada Allah baik di Makkah maupun di Masjid Nabawi Madinah.
Baca Juga: 5 Alasan Mengapa Umat Islam Harus Kaya, Bukan Miskin
Namun, di sampingnya ada seorang kakek yang tertatih-tatih, lemah, tidak mampu jalan cepat, bahkan harus berhenti untuk istirahat memulihkan lelahnya. Dalam sekejap, ia harus memilih: meninggalkannya untuk memenuhi kebutuhan ibadah pribadinya sehingga dapat terus berdoa atau menolong saudara seimannya.
Ia memilih yang kedua. Dengan sabar ia memapah kakek itu untuk bersama ke masjid, melakukan thawaf, menahan lelah, menahan keinginan untuk menempelkan keningnya lebih awal di shaf pertama.
Di saat yang lain bersegera meraih hajat pribadi, ia rela menunda kekhusyukan demi memastikan saudaranya mampu menyelesaikan ibadah. Beginilah Islam mengajarkan: kebaikan sosial tak kalah mulia dari ketaatan ritual.
Sabda Rasulullah SAW mengingatkan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Baca Juga: Dunia Makmur, Akhirat Terjaga: Rahasia Menjadi Bahagia dan Berhasil
Penyerahan Diri Total kepada Allah
Di tengah lautan manusia yang terus bergerak, ada kisah lain yang mengguncang hati. Seorang kakek dan ibu yang tersesat tidak bisa kembal ke tempat peristirahatannya. Jamaah berpencar, mencari ke setiap sudut Masjidil Haram, memanggil nama dengan suara bergetar.
Doa-doa dipanjatkan di setiap langkah, “Ya Allah, Engkau yang Maha Menjaga, kembalikan saudara kami dengan selamat, janjiMu di hadapan Ka’bah, do’a tidak dipungkiri”
Dalam momen itu, semua kekuatan manusia terasa kecil. Semua bergantung hanya kepada Allah. Rasa panik berubah menjadi doa, rasa cemas menjadi tawakal.
Baca Juga: Hidup Terlalu Singkat untuk Menyesal
Ketika akhirnya mereka bertemu kembali di depan pintu Ka’bah, air mata yang jatuh bukan hanya karena lega, tetapi karena sadar bahwa dalam setiap kesulitan, hanya Allah tempat bergantung.
Kita diingatkan dengan firman Allah terbukti nyata,
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkannya.” (QS. At-Talaq: 3)
Baca Juga: Tanpa Jasa Orang Lain, Kamu Hanya Nol Besar
Do’a untuk Palestina
Para jamaah umroh, di tengah kekhusyukan berdoa untuk diri dan keluarga, mereka tidak lupa mendoakan saudara-saudara kita di Gaza yang sedang ditindas oleh Zionis Yahudi.
Dengan cucuran air mata, mereka memohon kepada Allah agar umat Islam di sana diberi pertolongan dan kemenangan, agar Palestina segera merdeka. Inilah wujud nyata ukhuwah Islamiyah, meskipun jarak memisahkan, hati tetap terpaut dalam doa dan solidaritas.
Napak Tilas Perjuangan Rasulullah SAW
Baca Juga: Jamaah Umrah KBIH Al-Fatah Kunjungi Kota Badr, Kenang Perjuangan Rasulullah
Selain melaksanakan ibadah, perjalanan umroh biasanya disertai dengan ziarah ke tempat-tempat bersejarah yang menjadi saksi perjuangan Rasulullah SAW dalam menegakkan agama Islam. Ini bukan sekadar wisata religi, tetapi momentum untuk merenungi kegigihan beliau dan menjadikannya inspirasi dalam kehidupan kita.
- Pembersihan Jiwa di Gua Hira
Sebelum diangkat menjadi nabi, Rasulullah SAW mempersiapkan diri dengan cara yang luar biasa: mengasingkan diri di Gua Hira. Di tengah padang tandus yang panas menyengat, jauh dari keramaian kota, beliau menempuh perjalanan puluhan kilometer mendaki Jabal Nur.
Di sana, dalam kesunyian yang hanya ditemani desir angin dan gelap malam, beliau bertahan. Tidak ada kenyamanan, tidak ada pengaman, hanya dinginnya malam, teriknya siang, dan ancaman hewan buas yang mengintai.
Namun, semua itu tidak menyurutkan langkah beliau. Rasulullah memilih menjauh dari praktik jahiliyah yang rusak, menghindari pesta pora dan kemaksiatan, untuk mendekat kepada Allah dengan hati yang bersih.
Baca Juga: Indonesia Tegaskan Kedaulatan Hukum Produk Halal di Tengah Perang Dagang Amerika
Di dalam gua kecil itu, beliau melakukan tahannus—merenung, berzikir, dan membersihkan jiwa. Dari peristiwa ini kita belajar bahwa kemuliaan tidak datang tiba-tiba; ia harus ditanam sejak awal, dimulai dari diri sendiri, dengan introspeksi dan penguatan iman.
- Perang, Ketaatan, dan Kedamaian untuk Umat
Napak tilas juga mengingatkan kita pada peristiwa besar seperti Perang Badar, Uhud, dan Perjanjian Hudaibiyah. Semua ini bukan sekadar lembaran sejarah, tetapi sarat pelajaran tentang ketaatan kepada pemimpin, kesabaran dalam perjuangan, dan pengorbanan demi kepentingan bersama.
Rasulullah SAW selalu menempatkan keselamatan umat di atas kepentingan pribadi. Beliau mengajarkan bahwa persatuan dan persaudaraan jauh lebih penting daripada ambisi duniawi.
Umroh adalah miniatur kehidupan berjamaah yang ideal. Di sana, semua orang beribadah dengan tujuan yang sama, mengikuti aturan syariat, saling menjaga, dan saling tolong-menolong.
Baca Juga: Program Akselerator Dukung Startup Halal & Etis Tembus Pasar Global
Jika nilai-nilai ini kita bawa pulang ke tanah air, maka umroh tidak hanya menjadi ibadah ritual, tetapi juga melahirkan dampak sosial yang besar. Umat akan hidup dalam harmoni, terpimpin, saling membantu, dan menjaga persaudaraan.
umroh/">Hakikat umroh bukan sekadar thawaf dan sa’i, tetapi tentang belajar arti pengorbanan, kesabaran, kebersamaan, dan tawakal kepada Allah. Pulang dari Tanah Suci, jamaah bukan hanya membawa oleh-oleh, tetapi membawa hati yang lebih lembut, jiwa yang lebih peduli, dan iman yang lebih teguh.
Akhirnya, kami sampaikan ucapan terima kasih dan Jazakumullahu Khairan kepada KBIH Al-Fatah dan Farhana yang telah menyelenggarakan perjalanan umroh ini dengan penuh amanah sehingga semakin bernilai ibadah dan meningkatkan kesalehan sosial. Semoga KBIH ini terus maju, berkembang, dan selalu menjadi wasilah kebaikan bagi umat. []
Baca Juga: Bekraf Dukung Festival Budaya Masjid Pantai Bali 2025
Mi’raj News Agency (MINA)