Jakarta, MINA – Anggota Komisi Agama DPR RI Bukhori Yusuf angkat bicara soal beredarnya di masyarakat draf naskah Kamus Sejarah Indonesia yang menghilangkan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, dalam daftar tokoh yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Bukhori menyesalkan sikap gegabah tim penyusun yang mengabaikan kaidah historiografi Indonesia yang objektif, demikian keterangan pers yang diterima MINA, Selasa (20/4).
Menurutnya, kiprah ulama maupun tokoh Islam lainnya berhak memperoleh kedudukan yang proporsional dalam narasi sejarah bangsa. Pasalnya, eksistensi mereka, secara autentik, telah mewariskan sumbangsih signifikan bagi usaha pendirian republik.
“Insiden ini sangat fatal dan harus disikapi serius. Dengan kata lain, upaya melenyapkan profil Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dalam ingatan generasi tentang sejarah bangsa kita adalah perilaku ahistoris dan kontraproduktif bagi pengembangan wawasan kebangsaan kita. Tidak cukup sampai di situ, minimnya porsi ulama dalam narasi sejarah kita juga mengindikasikan historiografi kita yang diskriminatif dan kolonialistik,” ungkapnya.
Baca Juga: Cuaca Jakarta Diprediksi Turun Hujan Senin Sore Ini
Draf naskah Kamus Sejarah Indonesia yang menghilangkan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama menjadi polemik karena menuai protes dari banyak kalangan khususnya warga Nahdiyin.
Pemerintah melalui Kemendikbud akhirnya memberikan klarifikasi bahwa draf naskah softcopy yang disusun sejak 2017 itu adalah buku yang tidak pernah diterbitkan secara resmi oleh Kemendikbud.
Menghapus Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dalam memori intelektual kita, demikian Bukhori, adalah pengkhianatan terhadap amanat Bung Karno untuk tidak sekali-kali melupakan sejarah sekaligus bentuk pengabaian peran umat Islam dalam mendirikan dan mempertahankan republik.
Anggota DPR yang pernah menjabat sebagai Ketua IPNU Jepara ini juga mengkritik penulisan sejarah Indonesia yang tertuang dalam buku formal sekolah.
Baca Juga: Syaikh El-Awaisi: Menyebut-Nyebut Baitul Maqdis Sebagai Tanda Cinta Terhadap Rasulullah
Menurutnya, penulisan sejarah dalam buku tersebut tidak jarang berwatak Belanda-Sentris/Eropa-Sentris dan kurang kritis secara metodologi. Sehingga, ia mendorong terobosan baru dalam historiografi Indonesia.
“Fenomena ini akhirnya membuat kita datang pada suatu kesadaran untuk meninjau kembali Historiografi Indonesia yang tertuang dalam buku-buku formal di sekolah di mana sedikit sekali mengungkap peran ulama dan santri dalam perjuangan penegakan kedaulatan hingga mempertahankan NKRI,” imbuhnya.
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan ketuhanan, lanjutnya, tidak sepenuhnya sesuai dengan narasi sejarah yang dibangun dari konstruksi berpikir yang sekuleristik sebagaimana dituliskan oleh para sejarawan barat dan orientalis.
“Kendati begitu, bukan berarti kita anti terhadap narasi sejarah yang dituliskan mereka. Tetapi, cukup dimaknai sebagai pengayaan khazanah. Sementara, historiografi kita harus dibangun dari kajian yang kritis, referensi yang kuat, dan penulisan yang objektif dengan tidak mengesampingkan peran umat Islam sebagai salah satu isu krusialnya,” jelasnya.
Baca Juga: AWG: Daurah Baitul Maqdis, Jadi Titik Balik Radikal untuk Perjuangan Umat Islam
Narasi sejarah kita, demikian Anggota MPR ini melanjutkan, akan membentuk kepribadian bangsa kita. “Sebab itu, kita perlu adil sejak dalam pikiran. Termasuk pengakuan kita secara jujur bahwa para ulama dan santri adalah domain penting dalam historiografi Indonesia,” pungkas Bukhori.(T/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [WAWANCARA EKSKLUSIF] Ketua Pusat Kebudayaan Al-Quds Apresiasi Bulan Solidaritas Palestina