Bukhori: Persoalan Wakaf di Indonesia Perkara Legalitas

(Foto: Istimewa)

Jakarta, MINA – Anggota Bukhori Yusuf mengungkapkan, salah satu persoalan di Indonesia adalah perkara legalitas.

Menurutnya, urgensi untuk merevisi UU tentang wakaf tidak akan memiliki makna signifikan ketika persoalan legalitas belum ditangani dengan tuntas.

“Kita memiliki jumlah tanah wakaf yang luar biasa luas. Termasuk potensi besar yang juga terdapat di dalamnya. Akan tetapi, dari sejumlah harta wakaf yang tersebar cukup banyak ini masih saja ditemukan harta yang belum jelas status wakafnya,” ungkap Bukhori di Webinar yang digelar Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) bertajuk “Urgensi Revisi dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional Pasca Covid-19,” Kamis (17/9).

Misalnya, lanjut dia, ada yang baru ikrar wakaf, ada juga yang secara penggunaan sudah bersertifikat wakaf. Namun, dari semua temuan tersebut, jumlah yang belum memiliki legalitas wakaf terbilang masih cukup banyak.

Berdasarkan data dari Sistem Informasi Wakaf (Siwak) Kemenag luas tanah wakaf di Indonesia mencapai 51.885,48 ha. Namun, luas tanah yang sudah disertifikasi baru mencapai 19.787,65 ha dan sebanyak 32.097,83 ha belum disertifikasi.

Sementara, terkait penggunaan tanah wakaf, mayoritas digunakan untuk pembangunan masjid (44,26%) dan musala (28,42%).

Selain itu, Ketua DPP PKS ini juga menyoroti pengetahuan masyarakat dalam kaitannya dengan wakaf. Ia menilai sebagian besar publik masih memiliki akses pengetahuan terbatas terkait wakaf sehingga mereka kerapkali mendefinisikan wakaf hanya sekadar wakaf tanah atau benda yang diukur secara fisik.

Bukhori mengatakan, keterbatasan pengetahuan masyarakat ini sebenarnya menjadi sebuah kerugian bagi potensi wakaf di Indonesia. Padahal, wakaf tidak selamanya dimaknai sebagai benda yang sifatnya tetap, akan tetapi juga menyangkut sesuatu yang bernilai.

“Selain itu, apabila dikembangkan, sebenarnya wakaf juga bisa dalam bentuk jasa, wakaf intelektual, wakaf tunai, dan sebagainya. Saya pikir mindset baru inilah yang perlu dikembangkan dan dikomunikasikan dengan baik dan masif kepada khalayak agar publik semakin tercerdaskan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Bukhori juga menyayangkan dukungan pemerintah yang seolah setengah hati dalam mengembangkan wakaf. Ia menganggap, sejauh ini paradigma pemerintah dalam melihat aset wakaf dari masyarakat adalah untuk menguasai. Semestinya, cara pandang yang dibangun adalah untuk mengembangkan.

“Sebagai ilustrasi, sejak runtuhnya dinasti Fatimiyah di Mesir, salah satu warisan wakaf yang tersisa dan mampu memberikan manfaat dalam jangka waktu yang lama bagi rakyat, bahkan tanpa campur tangan pemerintah, adalah Al Azhar. Tak ayal, kedudukan para Syaikh di Al-Azhar sangat kuat sehingga banyak pihak yang menitipkan wakafnya di Al-Azhar,” sambungnya.

“Akan tetapi, seiring bergantinya kekuasaan, mulai dari Gamal Abdel Nasser sampai Anwar Sadat, pemerintah Mesir secara perlahan mengkooptasi Al-Azhar sehingga kedudukannya kian terpuruk sampai saat ini,” tambahnya.

Perlu dicermati, lanjut Bukhori, dukungan pemerintah sangat penting. Walaupun demikian, kedudukannya bukan untuk menguasai, tetapi mengatur (regulator).

Selain melakukan fungsi regulasi, pemerintah juga harus mengambil peran dalam menyelesaikan persoalan apabila terjadi sengketa serta membantu legalitas tanah wakaf.

Mendayagunakan wakaf modern

Selanjutnya, apabila Badan Wakaf Indonesia (BWI) dianggap sebagai “Nadhir” nasional, maka konsekuensinya lembaga ini akan mengelola aset yang sangat besar.

Dia khawatir kewenangan tersebut akan membuatnya melampaui batas.

Oleh karena itu, Bukhori menganggap semestinya BWI tidak diletakan sebagai “Nadhir” nasional, akan tetapi bagaimana mendorong lembaga ini menjadi prototype Nadhir yang diprakarsai pemerintah untuk mendayagunakan wakaf modern supaya langkah BWI energik dan terukur.

“Selain itu, BWI juga harus mengoptimalkan perannya sebagai wakil pemerintah dalam membina para Nadhir yang ada di masyarakat,” pungkasnya. (R/R1/RI-1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Comments are closed.